Saturday, October 29, 2016

Sejarah Wayang Kulit Kota Sawahlunto, Paguyuban Jawa Tampilkan Wayang

Sabtu 22 Oktober 2016 malam kerlap-kerlip lampu kendaraan melewati kota tua tambang. Ibu-ibu berjalan kaki mengendong anaknya menuju garase pada acara Paguyuban Adikarsa Raharja. Janur-janur pun telah di pasang di gerbang masuk dalam rangka perayaan penyambutan 1 Muharram 1438 Hijriyah sekaligus ulang tahun Paguyuban Adikarsa Raharja. Paguyuban Adikarsa Raharga merupakan perhimpunan masyarakat Jawa di Kota Sawahlunto. Ratusan penyungjung pun hadir menyaksikan paguyuban tersebut. Mereka tidak hanya dari warga Jawa, namun terdiri dari masyarakat kota Sawahlunto.

Kegiatan yang didahului tarian lenong Jawa untuk penyambutan tamu yang hadir Waka Polda Sumatera Barat, Kombes Pol Nur Afiah, Beserta Ali Yusuf Walikota dan Wakil Waliko Sawahlunto Ismed menunju tempat duduk yang telah disediakan sembari menyaksikan kegiatan keseniaan Jawa, seperti tari, musik keroncong dan Wayang Kulit.

"Wayang merupakan semacam kesenian kebudayaan yang dikembangkan oleh agama Hindu dan Budha. Jadi, makanya di India ada wayang India, Karena penyebarannya melalui agama hindu dan budha di bawa ke Indonesia. Jadi wayang itu perkembangan diperkirakan pada abad ke dua telah Setelah Islam Masuk," ungkap Purwoko, Ketua Umum Paguyuban Adikarsa Raharja Kota Sawahlunto, kepada Penulis, Sabtu 22 Oktober 2016 usai meberikan kata sambutan.

Ia menyebutkan sejarah perkembangan wayang di kota Sawahlunto sesuai perkembangan kota Sawahlunto. Sebelum Sawahlunto berkembang menjadi kota seperti saat sekarang ini, sebelumnya sepi dan orang tidak ingin tinggal di Sawahlunto. Semenjak Penjajahan Belanda barulah Sawahlunto tersebut mulai dihuni terutama karyawan tambang batubara dan adapula pekerja paksa yang dikenal dengan Orang Rantai. Lama-kelamaan terus berkembang karena banyaknya penduduk sehingga menjadi perkampungan kemudian menjadi kota yang dikenal kota Sawahlunto.

Karyawan batu bara tersebut awalnya didatangkan dari pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia dalam bentuk tahanan politik, tahan kriminal. Tahanan tersebut 'dibuang' ke Sawahlunto dan dikenal dengan 'orang rantai'. Sebab para tahanan tersebut semua kaki mereka di rantai. Selain tahanan ada pula orang Jawa yang memang harus dipaksakan ke Sawahlunto menjadi buruh.

Semenjak itu, para tahanan tersebut semakin berkembang dan banyak dengan memiliki keturunan, baik anak dari orang rantai itu sendiri maupun orang Jawa yang didatangkan khusus ke Sawahlunto.

Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda, berfikir bagaimana supaya buruh yang bekerja ke Sawahlunto bisa betah. Sehingga dipakailah sarana budaya dengan artian apa yang enak dan senang bagi karyawan tambang, maka hal itulah yang diberikan pemerintah Kolonial menghidupakan pusat kesenian. Sehingga, disetiap asrama ada Gedung Pertemuan Buruh (GPB), kemudian berobah nama menjadi Gedung Pertemuan Karyawan (GPK).

"Nah, GPK itu lah menjadi pusat menampilkan budaya salah satunya Infobox Lubang Tambang saat ini merupkan bekas GPK. Karyawan tersebut diberikan semacam sarana untuk berkesenian seperti Wayang, Keroncong, Tayub, Kuda Kepang, Reok dan sebagainya. Ada pula sarana-sarana perjudian yang ada di setiap asrama karyawan. Perjuadian tersebut seakan-anak di perbolehkan dengan tujuan bagaimana karyawan tersebut betah tinggal di Sawahlunto," jelasnya.

Purwoko, menyebutkan kesenian tersebut selalu  berkembang sehingga buruh mulai bertahan dan betah tinggal di Sawahlunto. Setelah kemerdekaan RI setelah Kolonial hengkang dari Indonesia bertepatan pada pergerakan G30/S-PKI, maka seluruh pelaku seni atau seniman dilibatkan menjadi anggota PKI. Gerakan PKI tersebut dibubarkan pada tahun 1965, maka, pelaku seni dan seniman tersebut ditahan dan diproses. Selanjutnya ada yang tidak berproses namun telah di cap sebagai PKI. Maka timbulah dari itu timbuhan rasa tidak senang dan rasa sakit hati sehingga dihancurkan segala pelaratan kesenian seperti Gemelan, karena mereka ingin menghilangkan jejak.

"pada tahun 1996-1997 terpanggil mengumpulkan dan menghimpun kembali orang Jawa keturunan serta Jawa Asli tergabung dalam suatu wadah perhimpunan Paguyuban. Ketika itulah mulai menggagas dan membangkitkan kembali seni tradisi," jelasnya singkat.

Selanjutnya, pada tahun 1998 dirinya diangkat dan dipercayakan untuk memimpin Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia Sawahlunto. Maka, mulailah dihidupkan dan dikembangkan kembali kesenian yang ada di Sawahlunto termasuk kesenian Jawa, salah satunya Wayang Kulit.

"Wayang kulit tersebut memiliki banyak tokoh dan bergantung pada cerita yang ingin disampikan ke pada penonton atau penikmat. Karena literatur dalam kesenian wayang tersebut banyak, seperti tokoh Pendawa Lima. Lima orang kakak beradik dan kelimanya laki-laki," katanya.

Wayang Kulit merupakan permainan dan tokoh atau lakon dalam cerita digambarkan dalam bentuk lempengan kulit. Orang yang memaikan wayang kulit atau pencerita disebut Dalang. Dalang tersebut berlaku sebagai sutradara dan sekaligus bercerita. Dalang harus mengerti dan faham karakter siapa yang dimainkan. Kalau misalnya, dalang memegang tokoh begatotkaca, maka dalang mengibaratkan dirinya seperti begatotkaca. kalu dalang memegang Limbung, tokoh perempuan, maka dalam harung mengibaratkan menjadi perempuan. Dalang harus memiliki multi karakter untuk menyampaikan cerita dan harus dikuasainya.

"Sama halnya dengan mendongeng. Maka, di kenal sebagai wayang kulit. Tetapi masing-masing totoh memiliki karakter sesuai dengan cerita atau naskah yang diingin disampaikan," terangnya.

Sementara itu, lanjut dia, jika ditelusuri dari sejarah kesenian wayang kulit dilihat dari alur cerita lebih banyak bercerita (Naskah) atau menyampaikan pesan kerajaan. Kemudian sesuai perkembangan zaman ketika wayang kulit itu dibawa oleh agama hindu maka banyak bercerita tentang hindu dan kerajaannya.

"Setalah Agama Islam masuk kepulau Jawa maka wayang kulit tersebut dimanfaatkan untuk berdakwa. Hal itu dikembangkan oleh Sunan Kalijogo merupakan Walisongo semenjak Islam masuk ke pulau Jawa," akunya.

Selanjutnya untuk memainkan Wayang Kulit tersebut diirigi oleh musik seperti gamelan. Gamelan itu sendiri terdiri dari dua jenis nada, yakni Pelog dan Selendro. Pelog merupakan nada-nada tertentu, tetapi nada dari nada itu tidak ada di nada Selendro. Tidak sama dengan nada musik yang lain mempunyai tangga nada seperti do, re, mi, fa, so, la, si, do. Kalau nada Selendro seperti 1-do, 2-re, 3-fa, 5-la dan 4-so tidak ada dalam Selendro.

"Alat musik yang digunakan dalam wayang kilit barmacam-macam seperti Saron, Kempul, Kendang, Gong, Gender dan seperangkay alat gamelan lainnya," tutupnya.

Sejarah Keberadaan Wayang Kulit di Sawahlunto

Sumiyar, 83, tokoh Pengrawit di Sungai Durian Kota Sawahlunto pada 18 Oktober 2010 lalu, menyebutkan bahwa Wayang Kulit di Sawahlunto pertama kali dipentaskan pada tahun 1901. Pada tahun tersebut eksistensi wayang bersamaan dengan eksisnya penambangan batubara Sawahlunto. Artinya sebelum tahun 1901 tersebut Wayang Kulit telah dikenalkan di kota Sawahlunto untuk menghibur tamu dan pekerja tambang. 

Kemudian, pada perkembangannya pewayangan di Sawahlunto terdapat banyak pelaku seni (Dalang) yang memperkenalkan wayang kepada masyarakat. Dalang Dalang yang pernah eksis dalam pelestarian dan pengembangan wayang kulit di Sawahlunto antara lain pada tahun 1901-1951 adalah Dalang Ki Raden Ardjo Purwoko. 

Kemudian, pada tahun 1951 tersebut untuk mementaskan atau mempertunjukan Wayang Dalang Ki Raden menggunakan perangkat gamelan milik Saniman. Nama gamelan serta Paguyuban tersebut adalah Paguyuban Langen Kridha Utama (LKU) yang pernah eksis di Sawahlunto. Selanjutnya, kegiatan wayang tersebut mentas setiap minggu di Ombilin Sawahlunto. 

Selanjutnya pada tahun 1930-1946, wayang dipentaskan oleh Dalang Ki Jenggot. Kemudian pada tahun 1935-1968 di pentaskan Dalang Ki Sukiman di Kampung Surian. Selanjutnya tahun 1939-1976 dipentaskan Dalang Ki Rono di kampung Surian. Pada tahun 1946-1950 dipentaskan Dalang Ki Suradi di Asrama Durian. Kemudian pada tahun 1966-1994 dipentaskan Dalang Ki Karjo di Sungai Durian. 

Selanjutnya, pada tahun 2005 hingga sekarang dipentaskan oleh Dalang Ki Slamet yang merupakan Paguyuban Bina Laras. Tahun 2008 hingga sekarang dipentaskan oleh Dalang Ki Bandung Sriyanto dari Paguyuban Bina Laras. 

Wayang Kulit kuno ini terdapat di Sungai Durian tempatnya di rumah Sajiman berjumlah 87 buah. Tiga buah Wayang Kulit Sawahlunto dengan tokoh Adipati Karno, Arjuno dan Kresno telah masuk menjadi dokumentasi di Museum Wayang Jakarta. 
Sementara itu, Ali Yusuf Walikota Sawahlunto menyebutkan bangsa yang besar adalah memperhatankan mempertahankan budaya. Sehingga kota Sawahlunto di tahun 2020 akan menjadi kota Tambang wisata dan berbudaya. Paguyuban Adikarsa Raharja berperan dalam hal mendorong pembangunan kota serta eksistensi budaya.

"Kita bangga menjadi orang sawahlunto karena beragam budaya tetap terpelihara dengan baik. Hal ini tetap perlu ditumbuh kembangkan dan menjadi persatuan serta kesatuan kota akan terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan menjadikan kota Sawahlunto menjadi Kota Tambang Berbudaya," ungkapnya.



No comments:

Post a Comment