Wednesday, December 16, 2015

Pertunjukan Posmo Tradisi Tanpa Kata Ranah Performing Art Compeny



Pertunjukan Ranah Performing Art Compeny berjudul Mite Kudeta Direktur Artistik S Metron Masdison, Kaba Festival 2 pada Sabtu, 12 Desember 2015 malam di Gedung Pertunjukan Manti Manuik Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru Kuranji Padang. 

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang

S Metron Pimpinan Ranah Performing Art Company
...Apuang-ampuang si tinjau lauik, tampak nagari mudiak si gudang garam, hiduik bak namo si limau hanyuik, indak tantu tampek diam...

Begitulah dedang disampaikan pekaba dalam pertunjukan Ranah Performing Art Compeny. Pertunjukan yang berdurasi kurang lebih 45 menit itu sungguh menguras tenaga para pemain. Pertunjukan yang minim kata itu, dieksplorasi pada musik. Interpretasi kata dan dialog telah diwakilkan pada musik. Kata dan lialog tidak dimunculkan melainkan melalui musik serta gerak tubuh para pemain di atas pentas.

Setelah semua lampu ruangan pertunjukan mati, lalu tiba-tiba muncul sebilah cahaya. Panguatan simbol yang dipakai saat pertunjukan berlangsung dengan menghidupkan lilin. Direktur Artistik S Metron Masdison memulai pertunjukannya pada sebuah cahaya kecil dari lilin.

Ada metafor baru dari menghidupkan lilin, bahwa kehidupan baru saja dimulai. Cahaya kehidupan baru saja berlangsung jika di tilik dari perjunjukan Ranah Performing Art Compeny. Seperti kembali pada masa lampau saat listik belum ada. Satu persatu lilin dinyalakan sebagai penerang ruangan saat malam hari.

Sementara itu, disisi kanan panggung, seorang pelakon duduk di kursi. Ia menjadi simbol dari penghulu rajo yang menyaksikan anak-kamanakan belajar randai. Randai sendiri merupakan pamainan anak nagari dalam kehidupan bermasyarakat minangkabau.

Namun, dalam pertunjukan S Metron Masdison berjudul Mite Kudeta seolah-olah randai menjadi lain. S Metron Masdison mencoba menggambarkan sesuatu yang lebih "maju" terhadap randai. Artinya, randai dimainkan tidak lagi dalam sebuah lingkaran. Namun tetap pada konsep randai itu sendiri didalamnya ada unsur dendang, musik dan tari. Kemudian tapuak galembong "dipindahkan" pada properti pendungkung permainan seperti kursi-kursi panjang dari bambu. Sehingga muncul perkusi musik yang dinamis.

S Metron Mardison menginginkan bentuk randai yang tidak menjadi tradisi. Jika melirik dari perkembangan seni teater saat ini tidak hanya terpatok kedalam kata saja. Namun, telah melingkup seni seutuhnya seperti teater, musik, tari. Menurut S Metron Mardison, pertunjukan tersebut sesungguhnya merupakan randai. Tetapi tidak mengikuti randai pada umumnya seperti yang dikenal sayarakat. Jika mengikuti tradisi tersebut, maka pertunjukan malam ini akan menjadi randai tradisi. S Metron Masdison menggambarkan pertunjukannya sebagai randai  Postradisi, sesuatu yang berangkat dari tradisi kemudian berangkat dan bergerak maju.

S Metron Masdison mencoba menjadikan narasi sejarah yang dicoba untuk postradisi. Sebab, kaba yang merupakan sastra lisan harus dilanjutkan pula oleh pekaba selanjutnya. Kemudian bagaiman cara pandang masyarakat minang terhadap narasi kaba tersebut. Apakah kaba sebagai pedoman hidup, kaba sebagai jalan kehidupan, atau justru kaba hanya sekadar igau saja, bahwa kaba menjadi pedoman hidup dan tempat belajar dalam kehidupan sehari-hari. Sastra lisan, kaba ini tetap dipertahankan di tengah masyarakat minang.

S Metron Mardison menginginkan farian terbaru terhadap randai, sebagai sumbangsih terhadap kaba itu sendiri. Sebab, menurut S Metron sebagai seniman hari ini, dirinya telah membaca kaba, inilah kaba saat ini yang harus disampaikan dalam pertunjukan tersebut.

Namun pada dasarnya pertunjukan tersebut tetap dipengaruhi oleh pertunjukan sebelumnya "Sandiwara Pekaba". Pertunjukan "Sandiwara Pekaba" sebelumnya juga beranjak dari tradisi, artinya tradisi yang posmo. Makanya pertunjukan "Mite Kudeta" ini sesungguhnya berakar dari "Sandiwara Pekaba" bukan dari tradisi tulen, sehingga ada kemiripan dan kesamaan.

Selanjutnya dalam pertunjukan "Mite Kudeta" juga syarat dengan metafor. Sehingga ruang perak pertunjukan serta ekplorasi melalui gerakan menghadirkan persepsi baru. S Metron Mardison melalui pemainnya di atas pentas mencoba mengagret perdebatan tentang kekuasaan. Eksplorasi yang diangkatkan dalam peristiwa pertunjukan disampaikan melalui musik saat pertunjukan. Musik tersebut hanya dapat dinikmati. Namun tidak dalam pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.
Hal itu, terlihat dari cara pergantian teks dialog kepada musik. Meskipun musik itu menjadi sebuah cara komunikasi, karena saat mendengarkan musik, emosi kita akan berubah saat mendengarkannya. Artinya musik merupakan alat komunikasi, sehingga pada saat mendengarkan musik hati terkadang pilu, bahagia, sedih. Berbagai ekspresi dimunculkan oleh kekuatan musik pada saat mendengar. Namun, pencapaian terhadap musik sebagai dialog penganti yang diinginkan oleh S Metron Mardison tidak sampai kepada penonton.

S Metron sejatinya harus mendalami kembali musik tersebut agar pesan yang ingin disampaikan dapat terpahami oleh penonton melalui musik. Musik yang dihadirkan tidak hanya tapuak galembong yang "dipindahkan" (musik) atau terkesan tempelan kepada pendukung artistik yang lain. jika bahasa teks dialog digantikan tentu harus menyesuaikan dengan musik. Apabila marah, kecenderungan musiknya seperti apa.

Pertunjukan "Mite Kudeta" merupakan pertunjukan yang berat dengan memindahkan teks dialog ke pada musik perkusi. Sebab dalam pertunjukan tersebut tidak ada dialog. Antar pemain hanya mengandalkan musik perkusi dengan memukul properti yang ada didepan mereka masing-masing. Properti sebagai pendukung atistik juga melahirkan musik. Pertunjukan "Mite Kudeta" akan lebih menarik lagi apabila menghadirkan ekpresi dan ekplorasi musik sesuai kebutuhan pertunjukan. Termasuk kebutuhan tesk menjadi musik. Sebab, pada teks dialog juga terdapat emosi. Apalagi teks dialog "dialihkan" pada musik. Antara teks dialog dan musik, keduanya sama-sama memiliki emosi. 

Misalnya, seorang utusan memberikan sebuah "kotak" kepada Cindua Mato. Kemudian kota tersebut di interpretasikan sebagai bayi Dang Tuanku dan Puti Bunsi. Sejatinya "kotak" yang menjadi simbol bayi tersebut adalah diberikan kasih sayang. Apa padanan musik yang lebih dekat terhadap "kasih sayang". Namun, "kotak" tersebut justru dipukul dengan keras. Hal, ini contoh kecil yang harus dipertimbangkan lagi Ranah Performing Art Compeny.

No comments:

Post a Comment