Wednesday, November 27, 2013

Pendekatan Kontemporer Seni Tradisi

Seolah-olah kita merasa kepala dibentur ke tembok raksasa cina dengan sangat keras. Terkadang kita juga merasa seakan berada di candi Borobudur duduk meditasi pada warisan dunia, atau melayang seperti layang-layang berekor panjang. Hal itulah yang terasa saat ini dengan berbagai polemik di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Namun, benturan yang sangat keras tersebut justru kita tidak pernah merasakan sakit secara harfiah tanpa ada memar yang membekas. 

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,

Jikapun benturan yang keras membuat kepala kita membiru atau memar tentulah sakit yang sangat luar biasa yang mempengaruhi ketenangan kita. Atau pun kita diam seperti orang meditasi dengan khusuk dan tidak mempedulikan hal-hal sekitar. Atau pun kita bereforia dengan melayang tinggi dengan kesombongan yang tidak melihat hal-hal yang terendah dari sisi kehidupan bermasyarakat. Benturan itu mulai terasa karena banyak hal (Sebut saja seni budaya). Kenapa ada hal-hal dan kenapa pula orang-orang bicara tentang hal-hal?

Namun hal itu mulai dikumpulkan dan di garap menjadi sebuah pertunjukan. Dimainkan di atas pentas, dengan materi-materi tentang kehidupan sosial kemasyarakatan. Mengangkat kejadian-kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kemudian di angkat dalam peristiwa panggung. Sehingga terbentuklah pementasan yang di lengkapi dengan setting panggung. Pada mulanya panggung di warnai dengan lampu-lampu yang bewarna. Lampu-lampu yang bewarna tersebut mampu mensugesti penontonnya masuk dalam suasana pentas prosenium dengan penontonnya.

Hal yang pertama yang ingin disampaikan adalah mengenai seni pertunjukan yaitu teater. Teater merupakan peran yang ada dalam interaksi sosial kemudian diangkat dalam realitas panggung, teater tidak hanya sebatas dunia panggung hiburan, tetapi teater dapat memberikan perubahan laku pemainnya sendiri kemudian para penontonnya melalui pesan-pesan yang disampaikan. Kedua memilih berteater. Kemudian timbul pertanyaan baru kenapa berteater? karena berteater adalah pilihan, belajar estetik laku peranan orang lain yang dimainkan dalam proses pengaktualan diri baik di atas pentas maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kenapa pilihannya tidak tari atau sebagai penari, ini juga akan kembali pada pilihan kita atau orangnya. Kemudian pertanyaannya siapa itu penari. Penari adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam menari. Menari-nari adalah orang yang menari, yang telah dikonsep oleh kreografer tari yang tidak latah sebagai penari dalam arti kata tidak meniru tanpa ada pencarian yang lebih mendalam.

Sementara Latah adalah kebiasaan yang diluar nalar dan tidak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dilingkungannya dan “mentah” dalam estetika ruang gerak dalam realitas kehidupan bermasyarakat dengan menentukan arah tindakan kearah yang lebih baik berdasarkan perhitungan. Nah, untuk menyikapi “latah” tersebut maka muncul istilah Kontemporer (kekinian). Ada pembongkaran terhadap sesuatu terhadap ide-ide dan gagasan yang lebih dekat dan akrap dengan kekinian (up to dead).

Pendekatan kontemporer 
Pendekatan kontemporer dengan menyikapinya mengacu pada pemikiran yang personal dan bersifat otonom oleh kreator. Gerak dasar silek laumbek misalnya tidak lagi di pandang sebagai silat tradisi Pariaman, tetapi hanya di pandang sebagai sumber penghasil gerak yang secara jelas dapat dieksplorasi menjadi “tarian”. Salah satu contoh adalah pemeran tokoh malin Deman dan malin Kundang dalam pertunjukan “Tanah Ibu (episode tanah asal)” naskah sutradara Suhendri yang mengeksplorasi laumbek pada personifikasi dramatik emosi pemain yang di pentaskan di teater utama taman budaya november 2012 lalu.

Penafsiran kembali dari sesuatu yang sudah, untuk diwujudkan dalam penggarapan yang utuh oleh kreator kemudian mewujudkannya kedalam bentuk yang baru. Gerak yang dimainkan dalam bentuk yang ada dihayati, diresapi esensinya, kemudian diimajinasikan dan dicari kemungkinannya untuk diolah menjadi gerak tubuh yang baru bagi aktornya. Sesuatu yang sudah ada ini diolah dan diaktualisasikan (direalisasikan) dalam bentuk wajah yang berbeda-beda dengan bentuk asalnya. Inilah yang di sebut tafsiran kontemporer.

Fakta kontemporer kehidupan “negative” seni pertunjukan di minangkabau. Ada berberapa hal yang perlu kita cermati bersama bahwasanya nilai budaya yang makin menurun dari pertumbuhannya. Seni tradisi tidak dinikmati oleh masyarakatnya melainkan oleh orang-orang tertentu. Misalkan seni tradisi ditampilkan dalam acara-acara resmi kepemerintahan atau pun acara-acara resmi lainnya. Kenapa seni tradisi tidak lagi tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan gelanggangnya? kenapa hal ini bisa terjadi?

Tradisi seni merupakan bagian dari kehidupan harian masyarakat nagari-nagari yang menyelingi rutinitas pekerjaan di ekonomi pertanian. Bertolak pada sejarah bawasanya kesenian itu tumbuh di tengah masyarakat adalah peristiwa anak nagari. Sepulang mereka bekerja dan bertani baru mereka berkesenian. Padi manguniang jaguang mangupiah. Ini lah yang di lakukan oleh orang terdahulu untuk proses keseniannya. Sebut saja “Tari Panen” yang bercerita tentang proses menyabit padi, “tari piriang” syukuran setelah panen kemudian randai yang mempunyai pesan-pesan dan cerita.

Proses pelestarian nilai budaya melalui penyampaian dan ajaran langsung dari tetua adat masyarakat mendapat kaba, cerita rakyat, gurindam, dan anggota masyarakat akan mengalami transmisi nilai budaya dan apresiasi terhadap berbagai ajaran sosial yang diungkapkan dalam pertunjukan.
Secara asumtif, kesenian merupakan elemen dalam kebudayaan terintegrasi sebagai sumber nilai estetis, ekspresif, kognitif dan hasrat serta emosi (passion). Maka nilai-nilai yang terkandung didalamnya adalah jiwa kebuayaan itu sendiri. Sebut saja budaya pemain atau aktor di atas pentas sebagai medianya.

Actor dan dirinya memiliki pengertian posisi dengan segala perlengkapan dirinya baik secara fisik ataupun non fisik. Proses penciptaan pengkaryaan gerak tubuh aktor atau pemain dipentas yang berpijak dari penggunaan idiom-idiom gerak (silek laumbek) bagi pembentukan dan tubuh aktor berakar tradisi yang bentuk dan struktur tradisi sangat jelas sekali. Namun ide-ide penggarapannya masih berada pada lingkaran-lingkaran gelek silek laumbe yang dikembangkan.

Sebab, aktor media utamanya adalah dirinya sendiri, tubuh dan sukmanya, disana ada panca indera, anggota tubuh, peratan suara atau vocal. Dalam sukma actor ada semangat, kemauan, imajinasi, emosi, daya ingat dan itelegensia. Actor sesegera mungkin melakukan ekplorasi tubuhnya dengan baik dan tidak terhalang oleh pikiran-pikiran takut salah untu berbuat sesuatu. Bukankan keberhasilan itu berawal dari “kesalahan-kesalahan”?

Maka tidak ada salahnya kita perlu memahami ungkapan Soekarnao presiden pertama RI ini bahwa “apa bila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat sesuatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun. Dalam hal ini apa yang di seput “proses kreatif” dengan maksud kebaikan kenapa harus takut dan malu. Maka dalam ajaran agama ditegaskan pula ”sampaikalah olehmu jika satu ayat”. Pesan ini jelas pada tatanan nilai kerja keras tanpa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu kebaikan.

Tugas dan tanggung jawab utama seorang pemeran adalah membawakan peran sesuai dengan persi yang tersedia untuknya, baik yang diarahkan oleh sutradara atau berdasarkan penemuan-penemuan sendiri dari hasil eksplorasi dan latihan yang kontinyu.

Sebagai pemeran ia adalah sebagai penyampai gagasan, pikiran, ide-ide atau opini-opini yang harus disampaikan kepada public (audience). Pada tingkatan tertentu pemeran bisa saja se-imbang dengan Agamawan yang menyampaikan pesan pada umat, seorang Negarawan kepada rakyatnya. Sehingga kedudukannya dalam seni pertunjukan pemain harus mampu menyuarakan pembaharuan-pembaharuan bagi kepentingan kemanusiaan.

Pemainn tidak hanya sekilas sebagai pemeran, tetapi sebagai seniman (kreator) yang bertanggung jawab kepada masyarakat pendudungnya. Sebagai seorang creator ataupun pemain harus mampu mengembangkan imajinasinya, tetapi nalar untuk pencapaian tujuan dan titik tertentu demi kepentingan personifikasi ruang di atas pentas. Maka tolak ukur nalar tidak akan mencapai bentuk dari personifikasi setting di atas pentas sehingga memotret sisi ruang pentas yang lebih imajinatif pada pengamatan penontonnya.

Alber Einstein tokoh filsfat ini membenarkan tentang Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B namun imajinasi membawa anda dari A kemanapun. Jadi, sebagai kreator penting kiranya mengolah imajinasi dengan latihan-latihan yang kreatif dengan cara mengeksplorasi tubuh sebagai media, meng-ekplorasi benda-benda, baik benda mati ataupun benda hidup sebagai pendukung kekuatan pertunjukan dalam pentas.

Pandangan terhadap seni
Secara konseptual, seni atau kesenian merupakan salah satu unsure dalam kehidupan sosial yang tengah memberikan ruang ekspresi dan emosi yang di wujudkan dalam media ekspresi dan penyampai. Media itu sediri adalah tubuh para pelakunya di pentas. Sehingga lebih kominikatif terhadap para penontonnya. Kesenian itu mendapat tempat atau media tersendiri bagi penontonnya. Maka seni itu dapat dinikmati oleh orang banyak dengan ragam sudut pandang.

Meskipun seni itu universal namun tidak sema individu mampu mewujudkannya, oleh karena sifat khasnya membutuhkan percakapan tertentu yang harus dipelajari dan juga di ajari kepada talenta seseorang. Seni dalam tataran sosiologis merupakan media kreatif dan komunikatif dalam intraksi dan integrasi sosial sehingga menjadi saluran ekspresi individu dalam kelompok dan mental kelompok yang cenderung berkaitan dengan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan. Seni adalah realitas yang universal yang spesifik dan ideografis yang berwujud berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain yang dipandang secara eksistensialis.

Secara praktis, profesi seni tidak dapat dilaksanakan secara independen namun bersifat lintas media (cross-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai elemen masyarakat ke masyarakat, seni ini di pandang secara eksitensialis. Maka dalam seni banyak perumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (seolah-olah hidup). Sebagai contoh pertunjukan KSST Noktah “Tanah Ibu (epidod tanah asal”karya/sutradara Syhendri yang banyak memakai simbol-simbol (personifikasi).

Nah, Pertunjukan ini seolah-olah membenturkan kepala kita pada aliran filsafat yang mengajarkan bahwa setiap pengetahuan pada hakikatnya adalah penafsiran belaka yang dapat menajak para penontonnya lebih persuasive dari pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui pertunjukan. Secara praktis, posisi seni tidak dapat dilakukan secara independen, namun bersifat lintas media (ceoss-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai elemen masyarakat dan di tunjang oleh berbagai unsure dalam masyarakat, seperti Agama, teknologi, pendidikan, politik, ekonomi dll. 

Berdasarkan pemahaman ini seni (kesenian) selalu merupakan kajian tak terpisahkan dalam berbagai sendi kehidupan manusaia dan masyarakat pearan kesenian dalam masyarakat adalahan untuk mengekspresikan, menyampaikan dan mewariskan nilai-nilai dalam kebudayaan dan sekaligus untuk melestarikan tradisi. Ada sudut pandang lain tentang seni oleh pakarnya menurut Meriam, 1990 :229 seni dipahami sebagai wujud dari suatu wujud dari suatu bahasa simbolik. Ada ungkapan yang lain dari seni untuk mengatakan sesuatu. Seperti rupa, musik, tari dan teater dengan menggunakan idiom-idiom dan personifikasi dalam seni.

Seni tradisional minangkabau memiliki kekayaan konsep yang kekuatannya berada pada filsafat estetika kauniyah (kosnologi) yang mensisihkan orang minang arif membaca tanda-tanda alam. Alam takambang jadi guru. Membaca tanda-tanda alam yang memungkinkan untuk sebuah kajian ilmu. Samapai-sampai stuktur bangunan rumah gadang bertuah dari alam misalnya. Kenapa tiang rumah gadang miring. Belajar dari kemiringan pohon kelapa dipesir pantai yang menyongsong angin. Kenapa bergonjong dan runcing, konon gonjong tersebut adalah sebagai penakar petir. Dan banyak hal-hal lain yang belum semuanya di tafsirkan.

Nah, dalam hal ini apakah seni itu akan terjadi akulturasi budaya, dalam pemahamannya atau tidak berubah sama sekali. Salah satu aspek perbedaan kultur yang dapat di amati yang mendapat perhatian besar adalah: perilaku non-verbal. Kultur dapat di bedakan dari sinyal non-verbal para anggota sejati, sentuhan, kontak mata, gerak tubuh dan kedekatan (John McLeod:2008:282) maka tidak ada salahnya jika seni di Minagkabau dapat berkembang sesuai dengan kehendak dan analisis yang mendalam bagi kreatornya asalkan tidak keluar dari koredor yang telah di sepakati secara sosial.