Friday, February 13, 2015

SETTING PANGGUNG TEATER DAN PENONTON

Oleh: Julnadi Inderapura
Teater Sumatera Barat dalam “Alek Teater 2011” menunjukan intensitas karya seni pertunjukan.  Hal ini merupakan pondasi awal bagi seniman muda Sumatera Barat untuk berkarya. Alek teater yang diikuti oleh 12 grup teater ini adalah event temu karya teater bagi penggiatnya. Seni pertunjukan ini justru mendapat “konflik” tersendiri dalam karya seni pertunjukan. Berbagai ide telah dikemas dalam aspek interdinisme masing-masing grup oleh sutradara. Seni perjunjukan ini semakin menarik perhatian antara konsep pertunjukan realis.

Alek teater 2011 yang diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Sumbar memilih konsep pertunjukan yang “Penggarapannya Realis”. Seni pertunjukan realis menjadi kontroversi oleh sutradara teater terhadap ide yang akan dikembangkan. Penggarapan yang realis justru membutuhkan biaya dan setting yang mahal. Sehingga dalam perjunjukan elemen panggung seakan tidak berobah, setting yang “minimalis simbolis”. Ini membuktikan bahwa penggarapan set yang minimalis simbolis kelihatan tidak sempurna.

Sebuah set panggung harus dapat memberi tempat gerak-laku. Setting panggung yang akrab dengan pemain. Tetapi dalam pertunjukan minggu lalu justru tidak mendapat ruang. Setting panggung malah terkesan seadanya walaupun ada yang serius tetapi belum sempurna. Hal ini menjadi tolak ukur bagi para penikmatnya terhadap kehadiran setting panggung.

Yang paling ideal untuk sebuah set panggung adalah setting yang bisa diterima sebagai satu-satunya skenik yang masuk akal. Sementara skenik itu, semua elemen-elemen visual yang mengitari pemeran dalam pertunjukan di atas panggung. Sehingga lebih menyatu dengan keadaan sebenarnya dalam realita kehidupan. Tata ruang set adalah seorang yang dipilih oleh sutradara untuk membantunya. Sehingga, penonton mampu mengusung visual efek set panggung untuk menikmatinya. Tugas setting panggung memang diperlukan bagi seni pertunjukan. Visual panggung akan hidup dan terpenuhi dalam kolaborasi dengan para pemain.

Panggung yang kosong oleh berbagai personifikasi settingnya. Panggung menjadi tidak fokus kepada kepentingan penggarapan. Ini terjadi pada proses penggarapan yang dikembangkan oleh sutradara. Ide-ide dibangun berdasarkan apa yang ada dalam teks naskah kemudian dihadirkan di atas pentas. Ternyata kemasan itu terasa belum maksimal, melainkan hanya bentuk-bentuk fisik set yang hadir di panggung.

Ketika pintu gedung pertunjukan mulai dibuka, para penonton berduyun-duyun masuk ruangan. Mengisi buku-tamu sembari mengambil booklet atau pun liflet, bahwa pertunjukan akan dimulai. Para pengunjung dan penonton melewati lorong menuju tempat duduk sesuai dengan petimbangannya masing-masing. Apakah tempat duduk yang didukukinya itu simetris dengan panggung atau tidak. Kemudian, para penonton digiring penglihatannya pada panggung yang penuh dengan peralatan, perabotan rumah tangga dan kedai rokok.  

Ide sutradara lebih penting. Ide-nya itu akan memberikan nilai pikir bagi penonton. Kenapa ada perabotan rumah tangga dan kedai rokok diatas panggung? Atau ruang tamu dengan kursi sofa? Apa yang akan terjadi di atas panggung. Peristiwa panggung telah membawa penontonnya masuk ke dalam alam pikirnya. Tontonan yang membungkam penontonnya dari setting panggung. Kehidupan nyata seakan hadir di atas panggung, dan akan terjadi dalam realitas panggung. Kehidupan yang membuat para penonton berpikir dengan setting yang dibangun di atas panggung yang proscenium.

Ide-ide para sutradara tersebut menjadi pilihan sebagai pentas pertunjukan yang realis. Penonton yang menyaksikan panggung tersebut akan terlibat dengan sendirinya. Sehingga penonton menjadi penting bagi sebuah pertunjukan. Tanpa adanya penonton pertunjukan akan menjadi gagal. Apakah pertunjukan membutuhkan penonton. Jawabnya “ya”. Siapa saja penonton pertunjukan teater. Ini menjadi penting untuk dibicarakan lebih lanjut dan lebih matang.

Synopsis cerita dalam naskah-teater telah dibacakan. Pertunjukan dimulai. Lampu penerang ruangan telah dimatikan. Para penonton bertepuk tangan. Setelah itu, suasana hening seketika. Lampu perlahan menyala menerangi sosok laku di atas pentas. Ia adalah para pemain. Berbagai ide “teknik muncul” telah dihadirkan dalam penggarapannya oleh sutradara. Taknik muncul ini tentu menjadi pilihan bagi sutradara  memulai pertunjukan.  Menggiring penontonnya untuk terlibat dengan tontonan yang maksimal.

Peristiwa demi peristiwa di atas pentas dari gerak-laku para pemain dapat memancing emosi penontonnya. Pononton teater tidaklah sama dengan menonton pertandingan. Perlunya yel-yel untuk menyemangati pemainnya. Berbeda dalam hal menonton teater. Menonton teater memerlukan konsep pikiran dari masing-masing penontonnya. Sehingga ide dari sutradaralah yang mendapat tempat dari penonton untuk berpikir.

Pencapaian tersebut perlu  bagi sutradara menentukan bentuk arena pentas, yang mendukung  suasana ruang penonton. Sehingga, penonton dapat berkomunikasi yang imajinatif dengan elemen panggung. Pertunjukan akan penuh dengan nilai-nilai yang berkonotasi pada apa yang dipertontonkan. Tontonan ini dimulai dari penggarapan semua perspektif ruang setting panggung.  Apabila sebuah kelompok teater sudah menentukan bentuk pentas,  arena yang akan dipergunakan sebagai tempat pertunjukan.  Maka, sutradara melalui setting-man kemudian harus segera membuat rencana pentas.

Rencana pentas mestinya harus sesuai dengan keadaan panggung. Ternyata ruang pertunjukan menjadi proscenium. Ruang proscenium itulah yang mengikat para penontonnya berada pada posisi garis pandang yang horizontal atau vertikal sekalipun. Apabila permasalahan garis pandang ini sudah dapat diatasi oleh seorang penata pentas (setting-man). Maka tidaklah berhenti begitu saja. Dan kita sebagai penonton melihat panggung sebagai visual dari layar kaca. Setting panggung dapat membobol ruang pandang dan pikiran penontonnya.  Pilihan ini menjadi penentu gerak para pemain dari sisi pandang penontonnya. Para pemain di atas panggung mestinya memilih nilai/etika panggung. Sehingga visual lingkungan gerak-laku sebuah lakon menjadi dinamis.

Rencana gerak atau berjalan (movement) pemeran yang biasanya disebut blocking. Blocking para pemain ini menjadi nilai estetik yang dipertontonkan. Bagaimana seorang aktor merperkokoh pemeranan lawan mainnya dalam berbagai unsur. Dinamika gerak dan irama dialog pun mesti berimbang antara keduanya. Hal ini belum terlihat maksimal dari beberapa kelompok teater dalam Alek Teater. Pemain menjadi gagap dan akhirnya dialog atau teks naskahnya terkesan tidak hafal.

Persoalan gagap dalam pentas pertunjukan tentu memancing penonton pada “ide-ide” dari sutradaranya. Kenapa hal itu sampai terjadi. Bagaimana sutradara perlu pempertahankan permainan para pemainnya agar tidak kaku. Sehingga, para pemainnya menjadi enjoy dalam bermain. Tentu sutradara mendapat tantangan untuk membentuk dan mendidik para pemainnya. Karena dalam naskah kekuatannya pada teks-teks. Tapi “kekuatan” penyutradaraan tergantung pada ide-ide yang peng-aplikasiannya pada panggung dan unsur-unsurnya.

Kemudian, pemain juga mesti harus meng-akrabi panggungnya. Supaya pertunjukan tidak terkesan kaku dari pemain-pemainnya yang datar tanpa klimaks. Menghidupkan ruang di sekitarnya sehingga pause-pause lebih berimbang antara aktor dengan lawan mainnya. Parian blocking akan menjadi lebih dinamis dan akrab oleh pemainnya. Sehingga, dalam suatu adegan peralatan menciptakan hubungan yang langsung dan akrab dengan gerak-laku manusiawi adegan. Komposisi adegan dari para pemain di atas pentas, mendukung gerak-laku dari hukum panggung yang ada.

No comments:

Post a Comment