Oleh: Julnadi Inderapura
Teater Sumatera
Barat dalam “Alek Teater 2011” menunjukan intensitas karya seni pertunjukan. Hal ini merupakan pondasi awal bagi seniman
muda Sumatera Barat untuk berkarya. Alek teater yang diikuti oleh 12 grup
teater ini adalah event temu karya teater bagi penggiatnya. Seni pertunjukan
ini justru mendapat “konflik” tersendiri dalam karya seni pertunjukan. Berbagai
ide telah dikemas dalam aspek interdinisme masing-masing grup oleh sutradara.
Seni perjunjukan ini semakin menarik perhatian antara konsep pertunjukan
realis.
Alek teater 2011
yang diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Sumbar memilih konsep pertunjukan
yang “Penggarapannya Realis”. Seni pertunjukan realis menjadi kontroversi oleh
sutradara teater terhadap ide yang akan dikembangkan. Penggarapan yang realis
justru membutuhkan biaya dan setting yang mahal. Sehingga dalam perjunjukan
elemen panggung seakan tidak berobah, setting yang “minimalis simbolis”. Ini membuktikan bahwa penggarapan set yang
minimalis simbolis kelihatan tidak sempurna.
Sebuah set
panggung harus dapat memberi tempat gerak-laku. Setting panggung yang akrab dengan
pemain. Tetapi dalam pertunjukan minggu lalu justru tidak mendapat ruang.
Setting panggung malah terkesan seadanya walaupun ada yang serius tetapi belum
sempurna. Hal ini menjadi tolak ukur bagi para penikmatnya terhadap kehadiran
setting panggung.
Yang paling ideal
untuk sebuah set panggung adalah setting yang bisa diterima sebagai
satu-satunya skenik yang masuk akal. Sementara skenik itu, semua elemen-elemen
visual yang mengitari pemeran dalam pertunjukan di atas panggung. Sehingga
lebih menyatu dengan keadaan sebenarnya dalam realita kehidupan. Tata ruang set
adalah seorang yang dipilih oleh sutradara untuk membantunya. Sehingga,
penonton mampu mengusung visual efek set panggung untuk menikmatinya. Tugas
setting panggung memang diperlukan bagi seni pertunjukan. Visual panggung akan
hidup dan terpenuhi dalam kolaborasi dengan para pemain.
Panggung yang
kosong oleh berbagai personifikasi settingnya. Panggung menjadi tidak fokus
kepada kepentingan penggarapan. Ini terjadi pada proses penggarapan yang
dikembangkan oleh sutradara. Ide-ide dibangun berdasarkan apa yang ada dalam
teks naskah kemudian dihadirkan di atas pentas. Ternyata kemasan itu terasa
belum maksimal, melainkan hanya bentuk-bentuk fisik set yang hadir di panggung.
Ketika pintu
gedung pertunjukan mulai dibuka, para penonton berduyun-duyun masuk ruangan.
Mengisi buku-tamu sembari mengambil booklet
atau pun liflet, bahwa pertunjukan akan dimulai. Para pengunjung dan penonton melewati lorong menuju tempat duduk
sesuai dengan petimbangannya masing-masing. Apakah tempat duduk yang
didukukinya itu simetris dengan panggung atau tidak. Kemudian, para penonton digiring
penglihatannya pada panggung yang penuh dengan peralatan, perabotan rumah
tangga dan kedai rokok.
Ide sutradara
lebih penting. Ide-nya itu akan memberikan nilai pikir bagi penonton. Kenapa
ada perabotan rumah tangga dan kedai rokok diatas panggung? Atau ruang
tamu dengan kursi sofa? Apa yang akan terjadi di atas panggung. Peristiwa
panggung telah membawa penontonnya masuk ke dalam alam pikirnya. Tontonan yang
membungkam penontonnya dari setting panggung. Kehidupan nyata seakan hadir di
atas panggung, dan akan terjadi dalam realitas panggung. Kehidupan yang membuat
para penonton berpikir dengan setting yang dibangun di atas panggung yang
proscenium.
Ide-ide para
sutradara tersebut menjadi pilihan sebagai pentas pertunjukan yang realis.
Penonton yang menyaksikan panggung tersebut akan terlibat dengan sendirinya. Sehingga
penonton menjadi penting bagi sebuah pertunjukan. Tanpa adanya penonton
pertunjukan akan menjadi gagal. Apakah pertunjukan membutuhkan penonton.
Jawabnya “ya”. Siapa saja penonton pertunjukan teater. Ini menjadi penting
untuk dibicarakan lebih lanjut dan lebih matang.
Synopsis cerita
dalam naskah-teater telah dibacakan. Pertunjukan dimulai. Lampu penerang
ruangan telah dimatikan. Para penonton bertepuk tangan. Setelah itu, suasana
hening seketika. Lampu perlahan menyala menerangi sosok laku di atas pentas. Ia
adalah para pemain. Berbagai ide “teknik muncul” telah dihadirkan dalam
penggarapannya oleh sutradara. Taknik muncul ini tentu menjadi pilihan bagi
sutradara memulai pertunjukan. Menggiring penontonnya untuk terlibat dengan
tontonan yang maksimal.
Peristiwa demi
peristiwa di atas pentas dari gerak-laku para pemain dapat memancing emosi
penontonnya. Pononton teater tidaklah sama dengan menonton pertandingan.
Perlunya yel-yel untuk menyemangati pemainnya. Berbeda dalam hal menonton
teater. Menonton teater memerlukan konsep pikiran dari masing-masing penontonnya.
Sehingga ide dari sutradaralah yang mendapat tempat dari penonton untuk
berpikir.
Pencapaian tersebut
perlu bagi sutradara menentukan bentuk
arena pentas, yang mendukung suasana
ruang penonton. Sehingga, penonton dapat berkomunikasi yang imajinatif dengan
elemen panggung. Pertunjukan akan penuh dengan nilai-nilai yang berkonotasi
pada apa yang dipertontonkan. Tontonan ini dimulai dari penggarapan semua
perspektif ruang setting panggung. Apabila
sebuah kelompok teater sudah menentukan bentuk pentas, arena yang akan dipergunakan sebagai tempat
pertunjukan. Maka, sutradara melalui
setting-man kemudian harus segera membuat rencana pentas.
Rencana pentas
mestinya harus sesuai dengan keadaan panggung. Ternyata ruang pertunjukan
menjadi proscenium. Ruang proscenium itulah yang mengikat para penontonnya
berada pada posisi garis pandang yang horizontal atau vertikal sekalipun. Apabila
permasalahan garis pandang ini sudah dapat diatasi oleh seorang penata pentas
(setting-man). Maka tidaklah berhenti begitu saja. Dan kita sebagai penonton
melihat panggung sebagai visual dari layar kaca. Setting panggung dapat
membobol ruang pandang dan pikiran penontonnya. Pilihan ini menjadi penentu gerak para pemain
dari sisi pandang penontonnya. Para pemain di atas panggung mestinya memilih
nilai/etika panggung. Sehingga visual lingkungan gerak-laku sebuah lakon
menjadi dinamis.
Rencana gerak
atau berjalan (movement) pemeran yang biasanya disebut blocking.
Blocking para pemain ini menjadi nilai estetik yang dipertontonkan. Bagaimana
seorang aktor merperkokoh pemeranan lawan mainnya dalam berbagai unsur. Dinamika
gerak dan irama dialog pun mesti berimbang antara keduanya. Hal ini belum
terlihat maksimal dari beberapa kelompok teater dalam Alek Teater. Pemain menjadi
gagap dan akhirnya dialog atau teks naskahnya terkesan tidak hafal.
Persoalan gagap
dalam pentas pertunjukan tentu memancing penonton pada “ide-ide” dari
sutradaranya. Kenapa hal itu sampai terjadi. Bagaimana sutradara perlu
pempertahankan permainan para pemainnya agar tidak kaku. Sehingga, para
pemainnya menjadi enjoy dalam bermain. Tentu sutradara mendapat tantangan untuk
membentuk dan mendidik para pemainnya. Karena dalam naskah kekuatannya pada
teks-teks. Tapi “kekuatan” penyutradaraan tergantung pada ide-ide yang
peng-aplikasiannya pada panggung dan unsur-unsurnya.
Kemudian, pemain
juga mesti harus meng-akrabi panggungnya. Supaya pertunjukan tidak terkesan
kaku dari pemain-pemainnya yang datar tanpa klimaks. Menghidupkan ruang di sekitarnya
sehingga pause-pause lebih berimbang antara aktor dengan lawan mainnya. Parian blocking
akan menjadi lebih dinamis dan akrab oleh pemainnya. Sehingga, dalam suatu
adegan peralatan menciptakan hubungan yang langsung dan akrab dengan gerak-laku
manusiawi adegan. Komposisi adegan dari para pemain di atas pentas, mendukung
gerak-laku dari hukum panggung yang ada.
No comments:
Post a Comment