oleh: Julnadi Inderapura
Julnadi Inderapura |
Teater
kemudian berkembang untuk tidak selalu berada dalam posisi tunggal antara
kenyataan dan penonton. Prosedur-prosedur dialektika mempersentasi konflik,
tidak lagi dilangsungkan sebagai wilayah tunggal dalam kenyataan itu sendiri.
Penonton mulai ditarik kewilayah lain, wilayah komunikasi yang semata-mata
tidak dibangun lewat aksi-reaksi, tapi juga lewat peristiwa yang sebagian besar
penuh dengan aksi melulu.
Teater
kian didekatkan pada kata kerja dan setiap kata sifatnya yang teaterikal. Aktor
masih sering terperangkap dalam jerat tokoh-tokoh tipikal yang harus
direproduksi dari naskah, atau dari cara-cara penyutradaraan yang mengalami
kesulitan personifikatif dalam menyiapkan aktor-aktornya.
Penalaran
justru memiliki persoalan pada prosedur individualisasi yang dijalaninya
ditingkat personifikasi peran. Menutup wajah aktor dengan topeng misalnya, sama
dengan menutup sebuah realisme dengan realisme lain. Dan menghilangkan aktor
dari kata, sama dengan menghilangkan pusat identifikasi realisme dari cerita.
Sementara
itu, dunia teater kini juga tidak lagi semata melakukan kerja sintaksis kata
dalam personifikasi pemeranannya, tetapi juga kerja sintaksis tubuh dan ruang. Sehingga
proses kerja kreatif aktor adalah seni yang harus dinikmati secara sosial.
Identifikasi (ritme bercerita) tubuh aktor dapat terpahami meski minim kata,
meski yang bermain (menjadi aktor) adalah manusia.
Manusia
bukan lagi soal aktor-aktor yang tampan atau cantik, yang bisa menarik penontonnya
hanya dengan senyuman dan lirikan juga bukan lagi semata-mata aktor yang
memerankan tokoh besar dari sejarah-sejarah besar. Namun aktor bagian dari
peristiwa sosial yang memiliki karakter. Sehingga untuk menentukan kehendak
tubuh secara realis mesti di kaji pisikologis aktor, fisiologis dan
antropologis pemeran. Pada hakikatnya sutradara tidak dapat mengcover aktornya
dengan tatanan yang baku. Ia akan terus berkembang sesuai dengan jarak dan
lamanya proses latihan.
Konsekuensi
itu tidak berarti dunia teater telah terkunci dalam naskah yang dipentaskannya.
Teater justru lebih bergantung kepada bagaimana naskah direpresentasikan dalam
pertunjukan. Merepresentasikan naskah perlu analisis yang bertubi-tubi dan
pengkajian mendalam oleh dramaturg. Teman cerita (dramaturg) sutradara inilah
yang nantinya akan membantu menterjemahkan teks-teks naskah. Kemudian
diungkapkan melalui tubuh aktornya pada Parade Teater pada 8 Oktober 2012 lalu di
Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumbar.
Kecenderungan dan hipotesa naskah
Teater
memiliki kemungkinan menghancurkan naskah yang buruk menjadi pertunjukan yang
baik atau sebaliknya menjadikan naskah yang baik menjadi pertunjukan yang buruk
karena penggarapannya yang buruk. Maka penting juga kirannya pembedahan naskah
dengan berkala. Menumbuhkan semangat baru bagi pekerja kreatif terdapat
bermacam pemaknaan terhadap naskah. Apalagi menyangkut hubungan kultur tipologi
masyarakat dalam teks naskah.
Mengubah
budaya masyarakat sedemikian rupa hingga mereka kehilangan identitas. Teater
sebagai cermin kenyataan dan sebagai pencarian estetik dalam memberi arti dan
warna pada kebudayaan. Nah, arti penting penilaian individu dalam gerombolannya
adalah peristiwa yang dibawa ke atas panggung. Isu-isu sosial, politik dan
ekonomi kerap terjadi diluar panggung dengan pemaknaannya lebih luas, diangkat
pada peristiwa panggung dalam arti sempit “dipentaskan” atau dipertunjukan.
Meskipun manusia banyak terlibat secara langsung ditengah-tengah gerombolan
ras, suku, agama dan budaya masyarakat. Hal ini penting bagi dasar individual
laku teater.
Teater
tidak bisa menciptakan manusia tanpa pengalaman individual dalam kenyataan yang
dihadapi. Ia memantulkan pengalaman antropologis individu ditengah-tengah
manusia sebagai gerombolan. Tanpa pengalaman individu tersebut, maka peristiwa
teater yang terjadi hanyalah sebagai penjual cerita dari teks naskah yang
dipertontonkan.
Masyarakat
kehilangan strategi untuk melakukan pembacaan dan pemaknaan. Basis untuk
imajinasi dan ekspresi kehilangan aksesnya. Tubuh merupakan alasan pertama
manusia membuat peradaban dan kebudayaan. Peran dan peristiwa membuat cerita
lewat kata dan tubuh. Tubuh menjadi kaya sebagai bahan mentah untuk menyusun
kembali bahasa tubuh yang melahirkan bahasa dan media. Sedangkan tubuh itu sendiri
mesti memiliki pengalaman antropologis, sehingga pemeranan dan peristiwa lebih
akrab bagi actor.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tubuh dan kata terkesan sebagai dua hal yang berbeda.
Tetapi dalam teater, keduanya mengalami internalisasi sebagai tubuh yang harus
dikatakan, dan sebaliknya sebagai kata yang harus mendapatkan tubuh untuk
personifikasi peran yang dijalankan dalam teater. Pemeranan ini tubuh justru
mendapatkan penolakan dari realisme
kemudian menjadi tubuh yang “mapan” sebagai media.
Sedangkan
kecenderungan pada naskah “Tanah Ibu” ini justru merespon interlokal fungsional
seperti kepala pemerintah, para datuk dan penghulu. Respon yang sentilannya
pada pembaharuan digambarkan dalam teks naskah. Kemudian respon tersebut
diangkat menjadi idium-idium bagi tubuh aktor. Tubuh ini lebih representative
dengan ritme tubuh yang dikembangkan oleh aktor. Pola gerak yang terlahir
dipentas dapat mengangkat efek verbalitas kekuasaan yang angkuh. Tubuh-tubuh
menyatu dengan ruang imajinasi penonton.
Semantara
benda-benda memiliki peran tersendiri yang member identitas pada ruang.
Demikian halnya dengan pertunjukan “Tanah Ibu (episode tanah asal)” oleh KSST
Noktah naskah/sutradara Syuhendri yang menghadirkan manekin diatas panggung.
Simbolik (manekin) ini memperlihatkan kultur budaya yang modernis dari sejarah
besarnya.
Menggugat Tanah Ibu
Akibat
reflektif dari pertunjukan ini adalah tumbuhnya arus gerak baru dalam diri
penonton ketika melihat visualitas yang gamblang pada tubuh aktor. Hal ini
terjadi pada kenyataan yang lebih komplit terhadap perubahan sosial. Sehingga
reflektifitas penonton digiring pada suasana hati yang “bunkam” dari kasat
mata. Untuk itu, seni yang harus dinikmati secara sosial. Sebab berita tentang
perubahan mesti menyeluruh bagi penikmatnya.
Sejarah
diberlakukan sebagai berita yang seakan-akan terjadi saat ini disini, ketika
mitologi sedang berlangsung sebagai peristiwa dalam pertunjukan. Jalur-jalur dalam
teks mitologi dan sejarah yang harus bergerak tanpa akhir. Strategi teks tidak untuk
melayani struktur cerita dalam naskah, melainkan sebuah arsitektur yang
membangun ruang dalam teks sejarah dan mitologi.
Penggabungan
akulturasi budaya pikir dikembangkan dari sosok laku Malinkundang dari rantau
dalam naskah Tanah Ibu, lebih kapitalis hingga mengalahkan sejarah besar dari
gerombolan (kaum Malinkundang). Sehingga kur anak-anak bermain-main
per-adegan-nya memaksa tubuh realisme “bentrok” dengan mitologi.
Mitologi
menjadi simbol dari tubuh aktor. Dalam ejaan teks kata, tubuh aktor menjadi
media. Pesan yang disampaikan melalui geliat pembongkaran sejarah besar hidup
manusia. Pembongkaran sejarah itu memungkinkan tubuh aktor lebih peka terhadap
ruang gerak tubuh. Maka tubuh dapat dipastikan sebagai penggugat sejarah laku
manusia.
Melalui
tubuh aktor ditandai dengan “gerak” parabek
(gerak dasar silat) sebagai dasar yang melekat pada tubuh aktor. Sementara
sinonim tubuh aktor serakah dengan idium-idium kapitalisme yang menggadai dan
menjual tanah ibu. Tubuh aktor tidak lagi menjadi realis melainkan karakter
dari Malin kundang dengan mengembaraan pikirnya. Akibatnya, tanah ibu kemudian
menjadi sasaran gugatan hak milik tanah yang mendatangkan infestor asing. Ada
pemberontakan pembaharuan dari sosok Malinkundang dengan penyeberang pola pikir
maju. Isu dan ide kongres pergantian adat yang lama kepada adat yang baru pun
menjadi konflik tersendiri bagi Malin. Transporma imajinasi kepada pikiran
disampaikan lelalui tubuh yang artistik.
Matrilineal
dalam kultur budaya Minangkabau, ibu menjadi hak atas penjaga atau pengelola
tanah. Tetapi tidak menjadi hak milik bagi perempuan sehingga, sejarah besar
ini menjadi mitologi dalam perkembangan zamannya. Hal ini tecermin pada laku
Malinkundang yang menggugat dan ingin menguasai tanah ibu. Sosok laku antropologis
aktor yang dibawanya dari rantaw telah menjadi akulturasi budaya pikir
kapitalisme.
Koor
tubuh aktor dalam penggarapannya oleh sutradara lebih simbolik dari peristiwa
kekinian. Sehingga tanah tidak lagi menjadi sesuatu yang “sakral” dalam budaya.
Tetapi malah menjadi pusat perdagangan (pasar dan mol), yang dialihkan
fungsinya oleh kapitalis. Geliat tubuh menjadi sinonim kata. Perpaduan emosi
dan tubuh berefek pada pesan moral yang disampaikan. Perpaduan dari kedua ini
tentu tidak mudah dipahami dibandingkan dengan bahasa tulisan. Maka setiap kur punya
projek tersendiri dengan verbalitas kata.
Tanah
Ibu (episode tanah asal) naskah/sutradara Syuhendri dalam penggarapannya
dipandang sebagai “surialis konfensional” yang kemudian dilengkapi dengan
simbolik yang akrab dengan penontonnya. Kejelian teks-teks naskah ini merespon
persoalan-persoalan yang artificial kemudian di identifikasi sebagai
pemberontakan. Pencitraan “tanah ibu” hanyalah bagi matrilineal. Disinilah sisi
lain muncul sebagai tokoh Malinkundang syarat dengan imajinasi penonton.
Suasana
perkampungan yang kental dari sosok ibu dan anak-anak saling bercengkrama
dengan kegirangan alhasil dari tanah ibu. Menjemur padi dan menampi seakan
menjadi rutinitas sehari-hari. Namun dalam perkembangannya tanah itu telah
dijual. Sosok ibu kemudian naratif dari teks pada pembaharuan sejarah. Ibu yang
dedikasinya bukan lagi seorang ibu dari anaknya melainkan ibu dalam konteks
“tanah” itu sendiri.
Jamua takaka di halaman
orang-orang bekerja disawah meneruka demi
menuai hasil. Tetapi tanah itu tidak ada lagi, diatas tanah itu telah dibangun
gedung-gedung megah yang menjadi pusat perdagangan. Artinya sosok tubuh aktor
(Malinkundang) terperangkap dalam dunia kapitalis yang kemudian mendatangkan
infestor. Sehingga mitologi Malinkundang sebagai kapitalis yang tidak
menghargai tanah. Maka bukan asal mula kejadian manusia dari tanah. Oleh karena
itu hargailah tanah, jika tidak tanah akan mengutuk.
No comments:
Post a Comment