Friday, February 13, 2015

REFLEKSI PERTUNJUKAN TANAH IBU (Episode Tanah Asal) DALAM ESTETIKA PANGGUNG

oleh: Julnadi Inderapura
Julnadi Inderapura
Naskah berfungsi mencari manusia-manusia yang mau melakukan pembaharuan dalam sejarah-sejarah besar. Sejarah menjadi legitimasi bagi model-model individu yang mau ditawarkan untuk pembaharuan.

Teater kemudian berkembang untuk tidak selalu berada dalam posisi tunggal antara kenyataan dan penonton. Prosedur-prosedur dialektika mempersentasi konflik, tidak lagi dilangsungkan sebagai wilayah tunggal dalam kenyataan itu sendiri. Penonton mulai ditarik kewilayah lain, wilayah komunikasi yang semata-mata tidak dibangun lewat aksi-reaksi, tapi juga lewat peristiwa yang sebagian besar penuh dengan aksi melulu.

Teater kian didekatkan pada kata kerja dan setiap kata sifatnya yang teaterikal. Aktor masih sering terperangkap dalam jerat tokoh-tokoh tipikal yang harus direproduksi dari naskah, atau dari cara-cara penyutradaraan yang mengalami kesulitan personifikatif dalam menyiapkan aktor-aktornya.

Penalaran justru memiliki persoalan pada prosedur individualisasi yang dijalaninya ditingkat personifikasi peran. Menutup wajah aktor dengan topeng misalnya, sama dengan menutup sebuah realisme dengan realisme lain. Dan menghilangkan aktor dari kata, sama dengan menghilangkan pusat identifikasi realisme dari cerita.

Sementara itu, dunia teater kini juga tidak lagi semata melakukan kerja sintaksis kata dalam personifikasi pemeranannya, tetapi juga kerja sintaksis tubuh dan ruang. Sehingga proses kerja kreatif aktor adalah seni yang harus dinikmati secara sosial. Identifikasi (ritme bercerita) tubuh aktor dapat terpahami meski minim kata, meski yang bermain (menjadi aktor) adalah manusia.

Manusia bukan lagi soal aktor-aktor yang tampan atau cantik, yang bisa menarik penontonnya hanya dengan senyuman dan lirikan juga bukan lagi semata-mata aktor yang memerankan tokoh besar dari sejarah-sejarah besar. Namun aktor bagian dari peristiwa sosial yang memiliki karakter. Sehingga untuk menentukan kehendak tubuh secara realis mesti di kaji pisikologis aktor, fisiologis dan antropologis pemeran. Pada hakikatnya sutradara tidak dapat mengcover aktornya dengan tatanan yang baku. Ia akan terus berkembang sesuai dengan jarak dan lamanya proses latihan.

Konsekuensi itu tidak berarti dunia teater telah terkunci dalam naskah yang dipentaskannya. Teater justru lebih bergantung kepada bagaimana naskah direpresentasikan dalam pertunjukan. Merepresentasikan naskah perlu analisis yang bertubi-tubi dan pengkajian mendalam oleh dramaturg. Teman cerita (dramaturg) sutradara inilah yang nantinya akan membantu menterjemahkan teks-teks naskah. Kemudian diungkapkan melalui tubuh aktornya pada Parade Teater pada 8 Oktober 2012 lalu di Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumbar.

Kecenderungan dan hipotesa naskah
Teater memiliki kemungkinan menghancurkan naskah yang buruk menjadi pertunjukan yang baik atau sebaliknya menjadikan naskah yang baik menjadi pertunjukan yang buruk karena penggarapannya yang buruk. Maka penting juga kirannya pembedahan naskah dengan berkala. Menumbuhkan semangat baru bagi pekerja kreatif terdapat bermacam pemaknaan terhadap naskah. Apalagi menyangkut hubungan kultur tipologi masyarakat dalam teks naskah.

Mengubah budaya masyarakat sedemikian rupa hingga mereka kehilangan identitas. Teater sebagai cermin kenyataan dan sebagai pencarian estetik dalam memberi arti dan warna pada kebudayaan. Nah, arti penting penilaian individu dalam gerombolannya adalah peristiwa yang dibawa ke atas panggung. Isu-isu sosial, politik dan ekonomi kerap terjadi diluar panggung dengan pemaknaannya lebih luas, diangkat pada peristiwa panggung dalam arti sempit “dipentaskan” atau dipertunjukan. Meskipun manusia banyak terlibat secara langsung ditengah-tengah gerombolan ras, suku, agama dan budaya masyarakat. Hal ini penting bagi dasar individual laku teater.

Teater tidak bisa menciptakan manusia tanpa pengalaman individual dalam kenyataan yang dihadapi. Ia memantulkan pengalaman antropologis individu ditengah-tengah manusia sebagai gerombolan. Tanpa pengalaman individu tersebut, maka peristiwa teater yang terjadi hanyalah sebagai penjual cerita dari teks naskah yang dipertontonkan.

Masyarakat kehilangan strategi untuk melakukan pembacaan dan pemaknaan. Basis untuk imajinasi dan ekspresi kehilangan aksesnya. Tubuh merupakan alasan pertama manusia membuat peradaban dan kebudayaan. Peran dan peristiwa membuat cerita lewat kata dan tubuh. Tubuh menjadi kaya sebagai bahan mentah untuk menyusun kembali bahasa tubuh yang melahirkan bahasa dan media. Sedangkan tubuh itu sendiri mesti memiliki pengalaman antropologis, sehingga pemeranan dan peristiwa lebih akrab bagi actor.

Dalam kehidupan sehari-hari, tubuh dan kata terkesan sebagai dua hal yang berbeda. Tetapi dalam teater, keduanya mengalami internalisasi sebagai tubuh yang harus dikatakan, dan sebaliknya sebagai kata yang harus mendapatkan tubuh untuk personifikasi peran yang dijalankan dalam teater. Pemeranan ini tubuh justru mendapatkan penolakan dari realisme  kemudian menjadi tubuh yang “mapan” sebagai media.

Sedangkan kecenderungan pada naskah “Tanah Ibu” ini justru merespon interlokal fungsional seperti kepala pemerintah, para datuk dan penghulu. Respon yang sentilannya pada pembaharuan digambarkan dalam teks naskah. Kemudian respon tersebut diangkat menjadi idium-idium bagi tubuh aktor. Tubuh ini lebih representative dengan ritme tubuh yang dikembangkan oleh aktor. Pola gerak yang terlahir dipentas dapat mengangkat efek verbalitas kekuasaan yang angkuh. Tubuh-tubuh menyatu dengan ruang imajinasi penonton.

Semantara benda-benda memiliki peran tersendiri yang member identitas pada ruang. Demikian halnya dengan pertunjukan “Tanah Ibu (episode tanah asal)” oleh KSST Noktah naskah/sutradara Syuhendri yang menghadirkan manekin diatas panggung. Simbolik (manekin) ini memperlihatkan kultur budaya yang modernis dari sejarah besarnya.

Menggugat Tanah Ibu
Akibat reflektif dari pertunjukan ini adalah tumbuhnya arus gerak baru dalam diri penonton ketika melihat visualitas yang gamblang pada tubuh aktor. Hal ini terjadi pada kenyataan yang lebih komplit terhadap perubahan sosial. Sehingga reflektifitas penonton digiring pada suasana hati yang “bunkam” dari kasat mata. Untuk itu, seni yang harus dinikmati secara sosial. Sebab berita tentang perubahan mesti menyeluruh bagi penikmatnya.

Sejarah diberlakukan sebagai berita yang seakan-akan terjadi saat ini disini, ketika mitologi sedang berlangsung sebagai peristiwa dalam pertunjukan. Jalur-jalur dalam teks mitologi dan sejarah yang harus bergerak tanpa akhir. Strategi teks tidak untuk melayani struktur cerita dalam naskah, melainkan sebuah arsitektur yang membangun ruang dalam teks sejarah dan mitologi.

Penggabungan akulturasi budaya pikir dikembangkan dari sosok laku Malinkundang dari rantau dalam naskah Tanah Ibu, lebih kapitalis hingga mengalahkan sejarah besar dari gerombolan (kaum Malinkundang). Sehingga kur anak-anak bermain-main per-adegan-nya memaksa tubuh realisme “bentrok” dengan mitologi.

Mitologi menjadi simbol dari tubuh aktor. Dalam ejaan teks kata, tubuh aktor menjadi media. Pesan yang disampaikan melalui geliat pembongkaran sejarah besar hidup manusia. Pembongkaran sejarah itu memungkinkan tubuh aktor lebih peka terhadap ruang gerak tubuh. Maka tubuh dapat dipastikan sebagai penggugat sejarah laku manusia.
Melalui tubuh aktor ditandai dengan “gerak” parabek (gerak dasar silat) sebagai dasar yang melekat pada tubuh aktor. Sementara sinonim tubuh aktor serakah dengan idium-idium kapitalisme yang menggadai dan menjual tanah ibu. Tubuh aktor tidak lagi menjadi realis melainkan karakter dari Malin kundang dengan mengembaraan pikirnya. Akibatnya, tanah ibu kemudian menjadi sasaran gugatan hak milik tanah yang mendatangkan infestor asing. Ada pemberontakan pembaharuan dari sosok Malinkundang dengan penyeberang pola pikir maju. Isu dan ide kongres pergantian adat yang lama kepada adat yang baru pun menjadi konflik tersendiri bagi Malin. Transporma imajinasi kepada pikiran disampaikan lelalui tubuh yang artistik.
Matrilineal dalam kultur budaya Minangkabau, ibu menjadi hak atas penjaga atau pengelola tanah. Tetapi tidak menjadi hak milik bagi perempuan sehingga, sejarah besar ini menjadi mitologi dalam perkembangan zamannya. Hal ini tecermin pada laku Malinkundang yang menggugat dan ingin menguasai tanah ibu. Sosok laku antropologis aktor yang dibawanya dari rantaw telah menjadi akulturasi budaya pikir kapitalisme.
Koor tubuh aktor dalam penggarapannya oleh sutradara lebih simbolik dari peristiwa kekinian. Sehingga tanah tidak lagi menjadi sesuatu yang “sakral” dalam budaya. Tetapi malah menjadi pusat perdagangan (pasar dan mol), yang dialihkan fungsinya oleh kapitalis. Geliat tubuh menjadi sinonim kata. Perpaduan emosi dan tubuh berefek pada pesan moral yang disampaikan. Perpaduan dari kedua ini tentu tidak mudah dipahami dibandingkan dengan bahasa tulisan. Maka setiap kur punya projek tersendiri dengan verbalitas kata.
Tanah Ibu (episode tanah asal) naskah/sutradara Syuhendri dalam penggarapannya dipandang sebagai “surialis konfensional” yang kemudian dilengkapi dengan simbolik yang akrab dengan penontonnya. Kejelian teks-teks naskah ini merespon persoalan-persoalan yang artificial kemudian di identifikasi sebagai pemberontakan. Pencitraan “tanah ibu” hanyalah bagi matrilineal. Disinilah sisi lain muncul sebagai tokoh Malinkundang syarat dengan imajinasi penonton.
Suasana perkampungan yang kental dari sosok ibu dan anak-anak saling bercengkrama dengan kegirangan alhasil dari tanah ibu. Menjemur padi dan menampi seakan menjadi rutinitas sehari-hari. Namun dalam perkembangannya tanah itu telah dijual. Sosok ibu kemudian naratif dari teks pada pembaharuan sejarah. Ibu yang dedikasinya bukan lagi seorang ibu dari anaknya melainkan ibu dalam konteks “tanah” itu sendiri.

Jamua takaka di halaman orang-orang bekerja disawah meneruka demi menuai hasil. Tetapi tanah itu tidak ada lagi, diatas tanah itu telah dibangun gedung-gedung megah yang menjadi pusat perdagangan. Artinya sosok tubuh aktor (Malinkundang) terperangkap dalam dunia kapitalis yang kemudian mendatangkan infestor. Sehingga mitologi Malinkundang sebagai kapitalis yang tidak menghargai tanah. Maka bukan asal mula kejadian manusia dari tanah. Oleh karena itu hargailah tanah, jika tidak tanah akan mengutuk.

No comments:

Post a Comment