Wednesday, May 25, 2016

Rambut Sering Rontok, Waspadai Penyakit Lupus

Tak mudah mengenali gejala lupus karena tidak ada gejala khusus. Namun, sekarang ada gejala lain yang bisa membantu mengenali gejala-gejala lainnya, yakni rambut rontok. Tentu saja, gejala ini harus disinkronkan dengan gejala lain.

"Untuk rambut rontok, dulu tidak masuk. Kini masuk. Malah sekarang penting. Kalau terjadi kerontokkan pada rambut, waspada," kata dr Najirman SpPD KR, dokter spesialis penyakit dalam-reumatologi, kepada wartawan, saat jumpa pers Update Management in Haematology and Medical Oncology Patients, di Bagian Penyakit Dalam RSUP M Djamil Padang.

Di samping kerontokan rambut, sebut Najirman, gejala yang patut dicurigai itu sering demam yang tak jelas. Kalau pun sudah berlanjut, wajah penderita seperti kemerah-merahan dan sepintas lalu seperti alergi kosmetik. "Tapi tidak gejala yang khas dari mengidap penyakit Lupus ini," ujarnya.

Najirman mengatakan penyakit Lupus ini terhitung penyakit autoimun. Memang ada kelainan pada imun tubuh. Artinya, selagi tubuh ada selagi itu pula dia ada. "Cuma, dia tidak aktif. Gejalanya menghilang atau membaik tetapi penyebabnya masih ada. Kita mengatakan dia remisi," sebutnya didampingi dokter spesialis penyakit dalam Dr dr Irza Wahid SpPD KHOM FINASIM.

Remisi ini bisa dicapai, kata Najirman, dengan pengobatan teratur, menjaga kondisi tubuh tidak cepat letih, tidak gampang terkena infeksi. "Kalau terkena infeksi akan kambuh lagi atau makin parah," ujar Najirman seraya mengatakan puncak penyakit ini pada usia 24 tahun.

Untuk penderita Lupus di Sumbar sendiri, sebut Najirman, dari kunjungan ke RSUP M Djamil dan swasta cukup banyak. Bahkan mereka juga memiliki organisasi penderita Lupus. "Untuk Padang sendiri meski organisasi yang belum dikukuhkan tapi sudah aktif saling berkomunikasi. Kalau ada yang curiga penyakit Lupus maka mereka langsung perhatian. Tapi secara pasti berapa angkanya, saya belum punya," tutur Najirman.

Irza Wahid menambahkan penyakit lupus ini salah satu materi yang akan dibahas dalam simposium yang diadakan Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) di Hotel Mercure, Sabtu 23 Apri 2015. Di samping juga membahas tentang transfusi darah, leukemia, thalasemia, limfadenopati, kemoterapi dan diatesis hemoragik.

"Narasumber simposium ini diantaranya menghadirkan pemateri nasional yakni Dr dr Djumhana Atmakusuma SpPD KHOM dan Prof Dr dr Arry Haryanto Reksodiputro SpPD KHOM," ungkap Irza.

Irza berharap dengan simposium ini, tenaha kesehatan pada pelayanan kesehatan primer dapat menangani kasus penyakit hematologi dan onkologi pada tahap awal. "Di samping sebagai ajang ilmiah yang dapat menambah pengetahuan dalam pengembangan ilmu kedokteran terutama bidang hematologi dan onkologi medik bagi sejawat di layanan kesehatan primer," harap Irza

Tari Tradisi Basangai Dibaliak Talang

Penonton telah memadati tribun tempat duduk gedung pertunjukan Manti Manuik pada Selasa, 3 Mei 2016 malam. Lampu ruangan Gedung Pertunjukan Manti Manuik Ladang Tari Nan Jombang menyala netral. Usai MC membacakan sinopsis tari, penari bersiap-siap masuk panggung untuk membawakan tarian yang berjudul 'Basangai Dibaliak Talang'. Kelompok tari Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 1 Batu Batupang Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Povinsi Sumatera Barat

Laporan : Julnadi Inderapura, Padang
Tari Tradisi dimainkan para penari, berada di pojok kiri panggung seraya bersiap-siap masuk panggung sebagai teknik muncul. Para penari tersebut masuk panggung dan menuju garis tengah panggung yang didahui oleh musik sebelumnya. Mereka membentuk formasi dalam pola gerak tari yang dinamis. Tarian yang ditampilkan tersebut merupakan tari kreasi.

Tarian tersebut berkisah tentang anak-anak yang bermain saat membuat 'lamang'. Tarian tersebut mencerikan tradisi perempuan minang membuat 'lamang' ketika masuk lebaran hari raya idul fitri dan hari raya qurban (hari baiak, bulan baiak). Kemudian, pada saat membuat 'lamang' tersebut anak-anak membaru para ibu untuk membuat 'lamang'. Kemudian, sembari membantu orang tua memasak 'lamang' mereka pun senda gurau bersama. Mereka pun bermain-main sembari menunggu 'lamang' masak.

Penari cilik tersebut cekatan dan sangat energik menari di pentas dengan pola-pola tarian serta komposisi yang teratur. Mereka bersorak-sorai di atas pentas serta berjingkrak membawa potongan bambu sebagai properti pendukung tarian. Penonton yang menyaksikan pun terkesima, matanya melotot dan ada pula yang mengabadikan momon tersebut dengan gadgetnya. Tarian yang berdurasi kurang lebih 10 menit itu mendapat apresiasi dari pentonton dengan riuhnya tepuk tangan dalam ruangan.

Zulfadilah, Pelatih kesenian kelompok tari Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 1 Batu Batupang Kecamatan Kubung Kabupaten Solok merupakan ekstra sekolah. Kelompok tari tersebut telah ada sejak tiga tahun lalu. Sebelum dirinya melatih anak-anak merari, kelompok tari ekstra sekolah tersebut telah ada sebelumnya. Namun dirinya tidak mengetahui kapan persis kolompok tari ekstra sekolah itu ada.

Kemudian, lanjutnya, anak-anak yang menari telah menyiapkan diri untuk latihan sejak tiga bulan lalu. Semua penari yang tampil tersebut merupakan murid kelas IV SD Muhammadiyah 1. Anak-anak tersebut latihan sekali dalam seminggu. Kemudian jadwal latihan menari, setelah selesai jam belajar, artinya anak latihan menari setelah pulang sekolah barulah anak-anak latihan menari. Karena tari tersebut merupakan tarian yang bersifat ekstra sekolah, maka latihan anak-anak pun dilakukan di sekolah.

Kemudian, pentas tari yang pernah dilakukan anak-anak hanya pentaskan tari di kabupaten Solok dan di Padang. Sebab, tari ini sebenarnya adalah hanya untuk kepentingan sekolah saja, terutama jika ada acara perpisahan di sekolah, maka anak-anak inilah yang menari. Makanya tidak ada agenda khusus untuk mentas keliling.

Selanjutnya, kendala yang dihadapi saat melatih anak-anak secara menyeluruh tidak ada. Namun, yang terpenting adalah memperhatikan mut anak-anak. Sebab, terkadang mereka letih sepulang sekolah, kemudian dilanjutkan dengan agenda latihan menari yang menguras tenaga. Maka, hal tersebut perlu jadi perhatian, agar anak-anak latihan tidak dalam keadaan terpaksa. Anak-anak perlu di ajak bergurau dulu, bermain-main sembari latihan. Jika mut anak-anak sedang baik, tidak ada masalah dan kendala, kemudian latihan pun menjadi enak, santai dan enjoy.

Erma Suryani Kepala Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 1 Batu Batupang Kecamatan Kubung Kabupaten Solok menyebutkan bahwa pertamakali kelompok tari ekstra sekolahnya baru pertamakali mentas di Ladang Tari Nan Jombang. "Ada lima orang penari tersebut yakni, Nalina, Vika, Azi, Dea Sukma dan Aisah," katanya.

Ia mengaku, kelompok tari tersebut pernah mendapat juara II lomba tari se Kabupaten Solok yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Kelompok tari ekstra sekolah ini, lahir karena untuk mengikuti iven tahunan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan yakni FLS2N. Untuk jadwal pentas keliling anak-anak sebenarnya tidak mempunyai agenda.

Ia berharap kedepan eksrta sekolah ini bisa berkembang lebih baik. Sekolah mendukung kreatifitas anak-anak agar bisa berkembang untuk mengasah bakat mereka. "Kostum anak-anak yang menari tersebut memang dirancang sendiri. Kontum tersebut tetap mengacu pada budaya minang, yakni ada warna hitam, warna kuning dan warna merah. Belum semua idiom budaya yang dapat diangkat ke permukaan, seperti kearifan lokal yang masih banyak dan belum tergarap secara baik. Kedepan kita akan mencoba mengangkat kesenian lain. Sebab, tari 'Basangai Dibaliak Talang' merupakan salah satu diantara yang benyak," harapnya.

Ia menyebutkan, untuk menumbuhkan bibit baru pada generasi berikutnya, terutama pada adik kelasnya. Latihan menari tersebut, jika telah kelas VI tidak dibenarkan. Tapi, untuk menyambung estafet maka perlu ada penyisipan dan pencabutan dari adik kelasnya. Sehingga, tari tersebut tetap ada dan tidak mengulang dari awal. Sebab, sebagai penari pemula bisa mengikuti kakak kelanya yang telah duluan belajar.

Angga Mefry, Direktur Festival Ladang Tari NanJobang Tanggal 3 mengatakan bahwa FNJT3 telah masuk pada tahun keempat penyelenggaraannya. FNJT3 ini dilaksanakan setiap bulan pada tanggal 3 terfokos pada seni-seni tradisi. Hal itu tidak terlepas dari bentuk terimaksih Nan Jombang pada seni-seni tradisi. Kegiatan ini pun di dukung oleh Djarum Fondation.

"Terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya FNJT3 ini. Terimakasih juga pada penonton setia FNJT3 yang berkesempatan hadir, serta para sastrawan, pemerhati budaya dan tamu undang yang selalu mendukung kegiatan ini," katanya

Friday, May 20, 2016

Basijobang Pewaris Tunggal Tanpa Generasi

Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 menampilkan Basijobang Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Asrul Datuak Kodo, cemas Basijobang tenggelam dimakan usia. Sebab, hingga saat ini tidak adalagi generasi penerus Basijobang. Meskipun ia telah membuka diri pada siapa saja yang ingin belajar dan mendalami Basijobang. Tapi tidak ada yang berminat untuk belajar.
 
Laporan : Julnadi Inderapura

Asrul Datuak Kodo : Basijobang
Ia duduk diatas tikar rotan. Tikar itu selebar tikar sajadah shalat. Ia duduk dengan melipat kaki kanannya. Sementara tangan kiri berada di telinga untuk menahan leking suara ke telinga. Sebab, antara telinga, hidung dan tenggorokan berhubungan. Makanya kerapkali orang bersuara keras sering menutup telinga, agar suara tersebut tidak berpengaruh pada telinga, sebab pita suara berada di tenggorokan.

Sedangkan siku tangan kanan ditumpu pada lutut kaki sebelah kiri. Ia duduk seperti duduk seorang pendeka di Ranah Minang. Sementara tangan kanan mengatur tempo musik perkusi yang dimainkan dengan satu set korek api. Basijombang menggunakan media korek api sebagai alat musik perkusi.

Ia memang sudah tua, sehingga hela nafasnya sangat keras terdengar, saat melakukan selisih nafas menyatukan pernafasan dengan (nada /suara) Dendang (senandung / nyanyian). Gigi serinya pun telah habis dimakan usia, terlihat saat ia lagi tertawa. Ia orang yang kocak dan suka bercanda serta mudah akrab dengan siapa saja. Sesekali ia pun mendekur untuk mengatur suara saat berdendang agar suaranya tidak sumbang.

Ia bergitu khusuk berdendang serta irama yang dinamis. Ia memakai cincin besi di jari manis pada jari tangan kanannya. Ia memakai Kopiah (Kopiah / Peci / Topi / tudung kepala atau Songkok untuk menutup kepala) beludru warna hitam yang bermotif. Kopiah para datuak-datuak disebagian nagari di Ranah Minang.

Ia berpakaian serta hitam dengan rendo ( motif ) warna kuning dari benang emas. Sementara salempang songket warna biru benang perak tersangkut di pundaknya, kemudian pinggang diikat dengan kain songket warna merah dan memakai galembong.

Ia tampil Basijobang pada Selasa, 3 Mei 2016 malam di iven Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 di gedung pertunjukan Manti Manuik memakai pakaian kebesaran, yakni pakaian Datuak ( Datu : Raja ). Menurut dia, setiap pertunjukan yang dilakukan tidak harus memakai pakaia datuak. Tidak ada aturan yang mengharuskan berpakaian datuak. Setiap pertunjukan Basijobang boleh memakai pakaian biasa, asalkan pakaiannya sopan.

Ia bernama Asrul bergelar Datuak Kodo, merupakan gelar pusako kaum. Ia kelahiran Sei Tolang Kecamatan Guguak, Kabupaten 50 Kota tahun 1952 lalu. Kini ia telah berumur 64 tahun. Ia saat ini tinggal di simpang Sugiran Kecamatan Guguak Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Ia dikaruniai dua orang anak bernama Armiati dan Andrianto dengan isteri pertama Nurbaiti (alm). Kemudian, ia menikah lagi dengan isterinya yang kedua bernama Neldi Warnis, namun pernikahan mereka berdua belum dikaruniai anak karena telah tua.

Ia menyebutkan Basijobang telah ada sejak dulu, namun ia tidak mengetahui kapan tahun persis Basijobang tersebut berada. Tetapi ia mengenal Basijobang sejak masih kecil, sebab orang tuanya bernama Rasyid merupakan pemain tradisi Basijobang. Kemudia ia sendiri belajar Basijobang kepada Munin yang merupakan gurunya. Sementara itu, Munin sendiri merupakan murid dari Rasyid ayahnya.

Datuak Kodo memainkan empat jenis dendang ( lagu / nyanyian ) Basijobang yang dimainkan. Pertama, dendang Pasambahan, kedua, dendang Sei Tolang, ketiga ( dendang concang ini sendiri terbagi menjadi dua, yakni dendang concang Sijobang dan dendang Siana), keempat, dendang Pariaman ( Daerah Pesisir Pantai Sumatera Barat ).

Basijobang bercerita tentang kisah Anggun nan Tungga. Apa alasan dinamakan Basijobang, dikarenakan pemainnya (tukang dendang / penyanyi / orang menyanyi ) hanya sendiri dan tidak ditemani dengan pemain pendukung lainnya. Oleh karena itu, para tertua ninik moyang dulu, memberikan nama Basijobang.

Kemudian, nama Basijobang juga dikenal dengan nama lain seperti Basijontiak, ( menjentik korek api ). Ada pula daerah lain mengenal Basijombang dengan nama lain yang dikenal dengan Basitunggao. Istilah ini di kenal di daerah Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat.

"Urang sorang banamo tigo, dek ketek basiroman, alah godang banamo sijobang sati, imbaunyo anggun nan tungga" (orang pada usia kecil memiliki tiga buah nama yang serupa, setelah dewasa bernama Sijobang Sakti, Panggilannya Anggun Nan Tungga), begitulah ia memberi istilah pada Basijobang.

Basijobang, bercerita tentang kisah Anggun Nan Tungga, ada banyak tokoh dalam kisah anggun nan tongga tersebut, seperti Cintopomai, Sabirullah, Panduko Rajo. Kemudian, Anggun nan Tungga sendiri merupakan cerita dan kisah asal pesisir pantai, kenapa hal itu berkembang di Payakumbuh. Sementara di Pesisir Pantai ( Pariaman ) sendiri cerita Anggun nan Tungga tidak begitu populer dan bahkan banyak yang tidak mengetahuinya.

Hanya saja Rajo Tiko Pariaman semasa itu, dikenal dengan Nan Tungga Magek Jobang. Jadi, kenapa di darek ( Daerah Pedalaman ) cerita Anggun Nan Tungga justru berkembang. Sebab, Luhak Nan Tigo ini justru telah dibagi dan memiliki keahlian masing-masing. Luhak Agam, merupakan ahli bermain Saluang ( musik alat tiup yang terbuat dari bambu ).

Luhak 50 Koto, Payakumbuh ahli kaba ( kaba : cerita ), sehingga pada waktu itu banyak seni tradisi yang berkembang seperti Randai ( Randai disebut juga dengan Teater Rakyat). Randai berkembang di Payakumbuh, karena disana memiliki keahlian bakaba ( bercerita ) untuk diceritakan dalam seni tradisi Randai. Sementara itu, daerah Pariaman ( asal kaba Anggun Nan Tungga) memiliki keahlian dalam menari.

Ia menceritakan alasan kenapa Basijobang, Basijontiak, Basitunggao, sebagai media alat musiknya menggunakan korek api. Ia menyebutkan, hal itu disebabkan karena tidak ada alat musik yang dimainkan untuk mengiringi dendang ( Basijobang ) ketika itu. Makanya, menggunakan korek api sebagai alat musik bantu sebagai isian dendang.

Menggunakan korek api juga suatu yang telah baru berkembang. Padahal Basijobang telah ada sejak catuih api. ( Batu api yang digesek dengan besi disertakan bubuk, sehingga mudah terbakar. Hal itu cara yang diyakini untuk mendapatkan api ). Tapi dirinya tidak mengetahui sebelum korek api ada, apa media Basijobang dimainkan untuk isian dendang. Sebab, Basijobang yang ia kenal telah menggunakan media korek api sebagai musik isian dendang. 

Kemudian, Basijobang juga mengalami perkembangan dengan menggunakan musik Kecapi ( Alat musik Kecapi Payakumbuh ) sebagai pendukung isia dendang. Ia mengaku mulai menekuni Basijobang sejak tahun 1970-an. Sehingga, hasil Basijobang ia kumpulkan untuk berkurban pada hari raya qurban. Ketika itu, ungkapan orang kampung kepadanya bahwa dengan uang Basijobang ia berqurban, apakah halal uangnya.

Ia kemudian mencari ulama besar ahli tafsir dan dapat dipercaya dengan keahlian ilmu dimilikinya untuk bertanya. Kepada ulama tersebut ia mengaku bahwa dirinya berqurban dari hasil uang nyanyi ( dendang ) Basijobang. Apakah uang yang didapatkan tersebut dengan cara Basijobang halal atau tidak.

Jika uang yang didapatkan tersebut halal dan tidak bertentangan dengan hukum agama, maka ia akan melanjutnya. Tatapi apabila uang yang didapatkan tersebut dengan cara Basijobang, bertentangan dengan agama dan haram hukumnya, ia berjanji berhenti pada saat itu juga.

Namun, ulama tersebut menyebutkan bahwa tidak ada larangan dalam agama dan tidak ada pertentangan dalam Islam ( Hukum Islam ). Ia beralasan bahwa pada saat pemanggilan ke suatu tempat untuk memainkan Basijobang tentu ada perhitungan ( kesepakatan ) kedua belah pihak terlebih dulu. Kemudian, diberikan uang karena kemampuan ilmu seni Basijobang yang dimiliki. Hal itu, menjadi dasar pikiran dan berpijak baginya untuk terus mempertahankan Basijobang.

Namun, jika hiburan ( Basijobang ) tersebut menyuruh atau mengajak untuk membuat maksiat, maka penghasilan yang didapatkan tersebut bertentangan dengan agama dan haram hukumnya. Ulama tersebut menyebutkan, bahwa dirinya ( Datuak Kodo ) di bayar Jasanya karena kemampuan dan keahlian seni yang ia miliki. Maka, uang jasa tersebut dibolehkan dalam syariah Islam. Mendapat pencerahan seperti itu, barulah ia berkomitmen menpertahankan Basijobang hingga saat ini.

Ia mengakui perjalanan serta pengalaman mentas yang pernah dijalaninya adalah mentas di taman Ismail Marzuki. Ia mentas saat membawakan pertunjukan Teater 'Mambakik Batang Tarandam' pada tahun 1984. Ketika itu ia membuat teater di UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1984, ia mementaskan basijobang di tempat yang sama ( Taman Ismail Marzuki ).

Ia mengakui bahwa untuk pentas Basijobang tersebut boleh dimainkan pada acara pesta perkawinan, Sunatan Rasul, Syukuran dan doa pergi ke Makkah. Tetapi yang lebih diutamakan adalah Alek Penghulu ( Tagak Penghulu : Pemberian Gelar Penghulu / Raja Kaum / Suku di Minangkabau ). Alek ( pesta ) pengangkatan penghulu ini ada dua pilihan seni tradisi yang ditampilkan yakni Basijobang atau Randai.

Pada tahun 1975-1990-an pernah mentas setiap malam dan selama satu bulan berturut-turut ia tidak pernah tidur karena banyaknya permintaan untuk memainkan Basijobang. Ia tidak tidur karena banyak mentas keliling, misalnya malam ini Basijobang di Padang, kemudian malam berikutnya di Batu Sankar dan seterusnya hingga satu bulan berturut-turut. Hal itu tidak membawa pengaruh pada dirinya, sebab jika hal tersebut telah terbiasa maka tidak akan membawa dampak apa-pun pada dirinya.

Ia menyebutkan bahwa seni tradisi Minang yang berada di Luhak nan Tigo, sering dimainkan pada saat malam hari. Seni tersebut dimainkan setelah waktu shalat Isya sampai waktu Shalat Shubuh. Memainkan ( Basijobang ) untuk satu kisah Anggun Nan Tungga saja tidak selesai hanya satu malam saja. Sebab, kisah ( cerita ) Anggun nan Tungga sangat panjang.

Untuk menjaga serta merawat Basijobang agar tidak hilang di tengah masyarakat, Ia sendiri pernah merekam kisah Anggun Nan Tungga di AkademiSeni Karawitan Indonesia ( ASKI ) Padangpanjang saat ini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang sebanyak 64 kaset ( episode ). Satu kaset ( episode ) dengan panjang durasi 90 menit. Maka, untuk menguraikan kisah Anggun nan Tungga tersebut menghabiskan waktu selama 9 hari dan belum bisa terselesaikan.

Konon kabarnya kaset yang telah direkam tersebut telah rusak dan tidak dapat di putar lagi dengan baik. Suaranya tidak jelas lagi terdengar, sebab kaset tersebut telah lama tersimpan. Kemudian media pemutarnya pun juga tidak adalagi sesuai dengan perkembangan teknologi. Kaset tersebut berupa kaset vidio, tahun 1990-an.

Ia mengakui bahwa pernah ditemui ilmuan dari berbagai negara untuk penelitian tentang Basijobang. Tamu yang sekaligus datang untuk mewawancarai asal mula Basijobang. Tamu tersebut diantarnya dari Jerman, Skotlavia, Ceko, Belanda, datang menemuinya untuk merekam kembali Basijobang tersebut.

"Ketika orang Jerman datang menemui saya, untuk meneliti seni tradisi minang Basijobang, namun ada dua orang anak muda menertawakan apa itu Basijobang. Kok lah punyo awak nde, ndak tontu de apo Basijobang," katanya dengan suara serak, lalu raut wajahnya pun berubah. "Astaghfirullah" ia istighfar mengingat kembali perlakukan generasi saat ini.

Orang Jerman sendiri mengetahui apa itu Basijobang, mereka sangat mengenal Basijobang, namun pengetahuannya tentang Basijobang melalui internet dan sosia media (sosmed). Di sosmed banyak membahas Basijobang, termasuk tentang dirinya yang ditulis oleh penulis. Orang Jerman tersebut langsung menemuinya dan bertanya banyak tentang Basijobang. Sementara itu, Basijobang itu sendiri tidak diketahui generasi suda, malahan Basijobang jadi cemoohan oleh generasi saat ini.

Ia menjadi sedih karena hingga saat ini belum ada generasi penerus Basijobang yang merupakan seni tradisi Tuo ( seni tradisi Kuno) dan langka. Termasuk anaknya sendiri juga tidak ingin belajar Basijobang. Sebab, anaknya yang laki-laki telah di panggil buya di kampung jadi ia enggan berlajar Basijobang. Ia sedih karena tidak ada lagi pewaris Basijobang.

Jika dibandingkan dengan orang dari negara luar saja datang ke Sumatera Barat ( kepadanya ) untuk mencari tahu dan belajar Basijobang. Namun, generasi muda ( putra-putri ) Minang sendiri tidak mengetahui apa yang di sebut Basijobang. Untuk mengetahui Basijobang saja itu lebih dari cukup, begitulah harapannya. Hal itulah yang membuat kekhawatirannya semakin mendalam, sebab, saat ini dirinyalah salah satu-satunya pewaris Basijobang yang masih hidup.

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan Basijobang pada generasi muda, ia membuka diri bagi siapa saja yang ingin mendalami dan belajar Basijobang. Ia siap mengajarkan Basijobang pada siapa saja yang ingin belajar dengan mendatanginya. Saat ini tidak adalagi pemain Basijobang, termasuk daerah lain. Ialah satu-satunya pemain Basijobang yang tersisa saat ini.

Sebelumnya ada banyak pemain Basijobang yang ada di kabupaten 50 kota Sumatera Barat. Seperti Suir, Basijobang asal Tobek Panjang yang ia kenal, namun saat ini ia telah meninggal. Kemudian Maruman, Bakharuddin, Munin merupakan gurunya juga telah meninggal. Sementara itu, di Gadut Kabupaten 50 Kota juga ada tiga orang pemain Basijobang, namun semuanya telah meninggal.

Ia berharap semoga saja ada generasi yang terangsang untuk belajar Basijobang. Namun jika tidak ada yang ingin belajar Basijobang maka tidak ada lagi generasi penerus Basijobang. Keterpurukannya semakin memuncak jika membayangkan Basijobang akan hilang di telan zaman. Terlihat dari raut wajah serta air mukanya berubah tiba-tiba.

Sementara itu, upaya pemerintah menjaga dan melestarikan seni tradisi dalam pengamatannya sangat minim serta jauh dari harapan. Ketika ada kebutuhan dan kepentingan dari pemerintah barulah pemerintah mencari seni tersebut ( termasuk Basijobang ). Tapi jika tidak adalagi kepentingan pemerindah didalamnya, maka ia tinggalkan dan seakan tidak peduli lagi dengan kesenian ( tradisi ).

Selain itu, lanjut dia, dari kalangan akademisi pun juga demikian. Akademisi itu sendiri juga tidak ada yang ingin belajar Basijobang. Mereka hanya sekedar bertanya-tanya saja, namun tidak ada yang belajar Basijobang. Terlebih lagi generasi muda saat ini, apabila ketika ingin ujian dan menulis karya ilmiah Skripsi, barulah mereka mencari tahu tentang seni tradisi Basijobang.

Apalagi mereka kuliah pada jurusan sastra, barulah mereka mencari dirinya ( Datuak Kodo ) untuk bertanya dan mencari tahu tentang Basijobang. Tetapi, tidak ada yang secera sengaja untuk belajar sungguh-sungguh tentang Basijobang padanya. Melainkan karena kepentingan serta untuk mendapatkan gelar sarjana saja. 

Ia menyebutkan bahwa yang paling menarik dari cerita Basijobang tersebut jika dihayati selama bertahun-tahun baru terasa manfaatnya dan pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya. Suatu kebanggaan baginya telah dikunjungi beberapakali oleh orang nomor satu di Ismail Marzuki, yakni Tom Ibnur. Serta tamu dari berbagai negara untuk mencari tahu tentang Basijobang.

Ia menjelaskan untuk belajar Basijobang tentu memiliki syarat dan rukun tertentu yang harus dilengkapi. Namanya saja pergi 'ba-guru' ( belajar kepada se orang guru ) harus melengkapi syarat dan rukun. Apa yang dikatakan syarat adalah sebagai persiapan sebelum melakukan suatu pekerjaan yang akan dikerjakan.

Miasalkan seseorang ingin belajarkan ke sekolah, maka ia harus melengkapi perlengkapan untuk sekolah, serperti buku tulis, pensil dan seterusnya. Kemudian jika seseorang yang jauh tempat tinggalnya dan tidak sanggup berjalan kaki sendiri untuk datang ke sekolah harus memiliki kendaraan sendiri, itulah yang dikatakan syarat untuk belajar ( baguru ). Kemudian, setelah syarat terpenuhi barulah melengkapi rukun. Sementara rukun itu sendiri menjadi bagian dalam suatu pekerjaan. Maka, rukunnya adalah menuntut ilmu ke guru atau belajar ke pada guru.

Sebelum menuntut ilmu ke guru, lengkapi syarat ( alat ) yang harus di penuhi diantaranya, Kain Putih, Ayam Biriang ( Ayam berbulu kuriak / totol ) dengan kaki warna kuning, Pisau Tajam, Lado ( cabe ) secukupnya, Garam, Beras Satu Gantang ( 1,5 kg ), Uang Rp10 ribu, Siriah agak sacabiak ( Sirih secukupnya ), Pinang agak sagatok ( buah pinang satu potong ). Tujuannya ialah untuk persiapan sebelum melakukan suatu pekerjaan.

Ia mengaku untuk belajar menghafal kisah ( cerita ) Anggun Nan Tungga dengan panjang 64 kaset ( episode ) tersebut dengan cara mendengarkan apa yang dikatakan guru. Ia harus mendengarkan dengan serius dan saksama perkataan guru. Semua ungkapan guru tersebut telah tertanam di dalam pikirannya termasuk kisah Anggun Nan Tungga. Ia mengaku tidak pernah mencatat sama sekali apa yang dikatakan guru melainkan mendengar lalu mencoba kembali.

"Kok mudo anggunan tongga,
amangkuto jirek dalimo,
kok mudo bangun lah ba a,
sampan ka tapi nan lah tibo,

Sabaralun kasiah da olu,
Nan tungga landaian ka tali timbo,
Nan mudo bangun da olu,
Sampan ka tapi nan lah tibo,"

"Baitulah guru manorangkan. Den de yo mandonga jo nye guru mengecek, a lokek dikapalo, (Seperti itulah guru menerangkan / menceritakan. Saya hanya mendengarkan guru berbicara dan masih melekat diingatan hingga saat ini)," tutupnya.

Tuesday, May 3, 2016

Group Indang Tuo Balai Belo Syarat dengan Pesan Agama


Sorak-sorai penonton yang kagum menyaksikan pertunjukan Indang Tuo. Para pemain berkostum warna-warni indah di pandang mata. Meskipun gedung teater Utama Taman Budaya pada Kamis, 28 April 2016 malam itu tidak semua kursi di penuhi penonton. Namun, gedung teater utama tersebut terasa ramai karena apresiasi penonton dalam iven Festival SeniTradisi se Sumatera Barat, Teater Utama UPTD Taman Budaya Sumatera Barat.

Laporan : Julnadi Inderapura, Padang

Goup Indang Tuo Balai Belo
Bunyi musik perkusi, rebana saling tingkah meningkah dengan tempo teratur. Sebelas orang penari masuk di sela wing panggung dengan berbaris membentuk pormasi dan komposisi. Mereka mengarah ketengah panggung menjadi komposisi pangsung yang lebih pas. Mereka duduk bersila saling berdekatan. Sementara, seorang yang di sebut tukang dikia duduk di belakang para pemain yang lain. Pertunjukan tersebut berlangsung kurang lebih 15 menit.

Jeni Aulia Sutan Nurdin pemain Indang Tuo mengatakan bahwa Indang Tuo, merupakan indang yang disampaikan untuk penyebaran agama islam. Indang ini semula berkembang di Aceh, kemudian menyebar nagari Koto Kaciak. Selanjutnya, Nagari Koto Kaciak tersebut termasuk Jorong Balai Belo Kecamatan Tanjuang Raya, Kabupaten Agam.

Namun, meskipun Indang Tuo ini keberadaannya cukup lama dan telah berkembang di Jorong Balai Balo, sejak nenek moyang, tetapi hingga saat ini keberadaan Indang Tuo tersebut belum terlacak siapa nama pembawa Indang Tuo dari Aceh. Selanjutnya, keberadaan Indang Tuo pun tidak di ketahui kapan petama kali diperkenalkan di Jorong Balai Belo Kabupaten Agam.

Ia menyebutkan bahwa Kipas yang terbuat dari kertas warna warni menggambarkan suasana yang dialami setiap orang tidak akan sama. Kipas warna warni tersebut kiasan dari sesuatu perasaan hati seseorang untuk memperjuangkan penyebaran Islam. Suasana sedih, gembira, sulit sekalipun berpadu dalam personifikasi pada kipas yang dimainkan para Indang.

Selanjutnya, dari segi dendang atau berzanji yang disampaikan ada tiga tahapan, yakni dumulai dari gerak tangan pertanda sambah-manyambah. Kemudian, dilanjutkan dengan dendang pembuka Indang Tuo, setelah itu barulah dilanjutkan pengkajian ajaran agama disamaikan dengan cara berdendang lantuanan irama kuno. Usai pengkajian ajaran agama dilanjutkan dengan Indang penutup.

Meskipun indang tersebut terbilang sangat singkat, hanya tiga sub bagian dendang saja, namun untuk penyampaiannya sangat panjang dan bisa memakan waktu berhari-hari untuk pengkajian agama.

Sebelumnya, untuk belajar (pengajian Indang) tersebut biasanya didalami di surau. Namun, saat ini belajar dan berlatih indang memakai fasilitas umum, seperti memanfaatkan sekolah dan juga pesantren. Indang Tuo tersebut disiapkan untuk regenerasi, sesuai permintaan masyarakat bahwa seni tradisi Indang Tuo sempat fakum puluhan tahun. Meskipun pernah fakum pulutahan tahun, tetapi para senimannya masih banyak yang pandai dan berpengalaman.

Diakuinya, bahwa para pemain Indang Tuo tersebut banyak dari orang yang telah tua. Sebab, Indang Tuo telah lama fakum dan baru kembali disemarakan, serta generasi muda masih banyak yang belum pandai. Makanya, para pemain Indang Tuo tersebut dimainkan oleh orang tua.

Ada sebanyak 11 orang pemain Indang Tuo dan satu orang berzanji, badikia atau selawatan. Untuk pemain yang memainkan Indang Tuo harus dengan bilangan ganjil. Asalkan para pemainnya berjumlah dengan bilangan ganjil di perbolehkan. Baik itu sembilan orang, tujuh orang pemain, lima orang pemain tidak ada masalah dan dibolehkan dalam memainkan Indang Tuo. Tapi pada umumnya Indang Tuo banyak dimainkan 11 orang pemain.

Sementara itu, Metrizon Datuak Kayo selaku pembina Group Indang Tuo Balai Belo mengatakan bahwa Indang Tuo telah didapati sejak turun menurun dari nenek moyang. Indang Tuo yang memakai rebana sebagai bunyian, bertujuan untuk ma-imbau (memanggil) orang.

Kemudia, komposisi pemain yang ditampilkan sesuai kebutuhan dan kaya makna. Gerakan-gerakan yang ditampilkan untuk pun memiliki makna dan simbol tersendiri. Komposisi pemain berdiri dan bergoyang, sama halnya suasana hati mereka sedang riang. Hati mereka riang karena penyebaran agama telah barhasil.

Selanjutnya, gerakan duduk dalam porsi duduk rapat atar sesama pemain seraya persaf dan saling mengunci agar tidak ada yang terjatuh ataupun terlempar pada saat melakukan gerakan. Gerakan duduk dipahami sebagai bentuk analogi adab dan tata tertib serta kesopanan. Tertib tersebut seperti tertibnya diwaktu beribadah dalam posisi duduk.

Kemudian, gerakan tidur diartikan beribadah dan berbuat kebaikan dalam kondisi apapun. Misalkan beribadah melaksanakan shalat, dilaksanakan dengan cara berdiri tegak lurus bila mampu. Kemudian, apabila tidak mampu maka melaksanakan dengan cara duduk, bila tidak mampu juga dilaksanakan dengan cara tidur. Sebab, shalat itu wajib dilaksanakan dalam kondisi apapun.

Selanjutnya, media yang dinakan adalah selendang sebagai properti tarian dalam pertunjukan Indang Tuo tersebut. Selendang tersebut dimaknakan sebagai, percampuran budaya dari penyampaian Indang Tuo dengan Adat Minang. Maka, selendang tersebut adalah pakaiannya perempuan minang.

Kemudian, media pendukung lainyanya sebagai properti pertunjukan adalah Kipas warna-warni. Kipas warna-warni tersebut adalah bentuk lika-liku perjalanan Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Bagaimana nabi mengembangkan agama islam, tentu banyak tentangan dan rintangan yang dilakui. Selanjutnya, selendang tersebut dalam gerakannya dieksplorasi, mempragakan menjadi sebuah pagar. Artinya, perjuangan menyebarkan agama teramat sulit, namun demi menyampaikan kebenaran dan menyebarkan islam, pagar itu harus di tembus.

Makanya, dalam syair dan Indang tersebut disampaikan dalam bentuk seni. Seperti kisah Siti Ramuna, seorang ibu yang berjuang melawan tatangan dalam perjalanan kebaikan. Hasan Meminum Racun karena mencarian tentang keagamaanya, sebab ia tidak mempelajari ajaran Islam.

Selanjutnya, Indang Tuo tersebut terdapat beberapa unsur, Tari Indang, Tari Kipas, Tari Salendang. Sebab, tari Indang tersebut berasal dari aceh serta memiliki kesamaan. Indang Tuo sendiri di bawa oleh seorang pemuda asal Aceh. Ia orang yang pandai mengaji, kemudian belajar dengan orang minang untuk saling berbagi ilmu dan bertukar pikiran tentang agama islam di Jorong Balai Belo Nagari Koto Kaciak Kecamatan Tanjuang Raya Kabupaten Agam.

Festival Seni Tradisi se Sumatera Barat, Teater Utama UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat, malam itu menampilkan Gandang Tasa dari Kabupaten Agam, kemudian Tari Piriang dari Kabupaten Solok, selanjutnya Alang Suntiang Panghulu dari Kabupaten Agam, Tari Nelayan dari Kabupaten Solok, Sampelong Kabupaten 50 Kota dan Si Jombang Kecapi dari Kabupaten 50 Kota, serta Tari Buai-Buai dari Kota Padang.

Rajin Ibadah, Meninggal Akibat Minuman Oplosan

Pagi itu langit cerah. Rumah tinggal almarhum uncu tampak sepi. Tenda beratapkan terpal orange itu masih berdiri didepan rumah. Sementara kursi-kursi plastik warna orange tersusun rapi dan bertingkat di sudut bagian kiri plapon rumah, Erwandi, korban minuman oplosan di jalan Purus III RT3 RW 3, Kelurahan Purus.

Laporan : Julnadi Inderapura

Pagi itu Senin, 25 April 2016 melihat dua orang yang sedang duduk di palanta samping rumah tinggal Erwanda, 61, akrab di panggil Uncu. Palanta itu berada di bawah pohon besar di samping kanan rumah tinggalnya. Dua orang lelaki paruh baya tersebut merupakan tetanggal sekitar.

Tidak lama datanglah seorang perempuan muda, Despita Nora,40, RT3 RW 3 jalan Purus 3 merupakan ponaan kelima Erwandi. Ia didampi oleh suaminya bernama Iwan. Ia mengatakan bahwa Uncu telah lama tinggal di rumah ini sejak pisah dengan istrinya. Uncu sebelum meninggal minta dishalatkan di masjid Alwustha. Karena uncu merupakan jemaah masjid yang rajin shalat berjamaah di masjid tersebut.

Selain itu, terang dia, uncu juga sering membersihkan WC mesjid minimal 3 kali dalam seminggu. "Unculah yang sering membersihkan WC masjid tersebut. Uncu juga seorang yang rajin shalat, tahziah masih berlangsung dan nanti malam merupakan malam ke tiga. Pada malam ke tiga ini akan ada doa-doa di rumah," aku perempuan yang berbaju kaos itu. Ia juga tidak ingin bicara banyak dan menyarankan untuk bertanya langsung ke pada Nunuk yang merupakan anak uncu. Sebab, anak uncu lah yang lebih mengetahui uncu."Anak beliaulah yang membawanya kerumah sakit dan mengetahui lebih banyak tentang ayahnya," ungkapnya sembari berdiri dan pergi kerumahnya. 

Terpisah, pagi itu pula penulis bertemu dengan seorang perempuan di kening dan hidungnya menempel salompas. Perempuan baya itu di ketahui bernama Mardalia, 48, jalan RT3 RW 3 Purus 3 nomor 31 merupakan mantan istri Erwandi. Mereka pisah sejak 10 tahun yang lalu, sehingga Erwandi kembali pulang ke rumah gadang dan tinggal di rumah ponaannya.

"Kalau udah meninggal artinya udah habis dan tidak usah di bahas lagi," kata ibu 5 orang anak ini. Ia sedikit emosi dan sensitif saat ditanyakan tentang kebiasaan mantan suaminya itu. Setelah dibujuk akhirnya, ibu berbadan dan berkulit sawo matang itu akhirnya menceritakan romantis masalalunya dengan sangsuami.

Ia mengatakan bahwa suamnya itu suka memasak sambal sesuai dengan seleranya. Ia memang lihai memasak. "Masakannya enak dan membuka selera," katanya seraya tersenyum, wajahnya pun tiba-tiba cerah.

Ia mengaku semasa hidup rukun membina rumah tangganya itu, masakan kesukaan suaminya itu adalah gulai sampadeh ikan dan sambal kentang di campur bada. "Untuk soal makanan ia tidak pernah memilih, apapun yang sambal dirumah dimasak tidak pernah komplen dan tetap memakannya. Tetapi yang paling ia gemari adalah sampadeh ikan dan sampal kendang campur bada," akunya sembari berdiri dan pindah tempat duduk. Sebab, kursi yang diduduki sebelumnya tanpa sandara.

Sembari bersandar ia pun kembali bercerita, bahwa suaminya juga senang memakan gulai kambing. "Ia sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Sebelumnya ia memiliki kapal untuk melalut, namun kapalnya pecah oleh gelombang saat parkir di bibir pantai saat gelombang laut tinggi. Akibatnya kapalnya di hantam umbak dan berbentur di batu grib. Sehingga kapalnya pecah berkeping-keping dan tidak dapat di manfaatkan lagi," sebutnya perempuan nenek 5 orang cucu ini. Sebari mengibas lalat yang hinggap di wadah ikan cumi-cumi baru saja di pesianginya.

Di warung tetangga depan rumahnya itu, Ia menceritakan bahwa Erwandi memiliki bersaudara empat orang, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Sementara Erwandi merupakan si-bunsu dari empat saudara. "Ia memang suka mabuk dan pernah berhenti minum. Tapi karena, banyak kawan dan lingkungan sehingga ia kembali mabuk," akunya sebari membakar rokok. Ia sendiri menyebutkan telah merokok sejak berumah tanggal.

Ia berharap pemerintah harus mengusut tuntas pelaku yang menjual minuman oplosan tersebut. Pemerintah harus menangkap para pedagang yang menjual minuman terjual bebas. "Udah banyak korban di Purus ini akibat minuman beralkohol. Termasuk minuman oplosan. Kapan perlu tangkap penjual minuman tersebut," dengan nanda agak keras.

Tak lama, datanglah Rahmalina, 26, orang-orang sekitar menyapanya Nunuk. Ia merupakan anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan Mardalia, 48, dan Erwandi, 61.

Rahmalina, 26, menyebutkan bahwa ayahnya dikenal orang purus dengan sebutan uncu mami, karena ia merupakan anak mami. Sebab, ia memanggil orang tua perempuannya dengan sebutan mami. Maka, dikawasan purus ini banyak lebih akrap di banggil uncu mami.

"Ayah suka menanam bunga kalau dirumah. Ayah juga suka makan gulai kambing, karena ponaan ayah menyediakan katering, ayah sering meminta gulai kambing pada ponaannya. Selain itu, ayah juga seorang yang pintar pintar memasak ayah juga seorang yang rajin shalat," kata ibu tiga orang anak ini.

Ia mengaku sehari sebelum ayahnya meninggal, ayahnya sempat berpesan sebari canda-canda. "Ayah memang yang suka mabuk dan suka bercanda," akunya.

Ia menyebutkan bahwa pesan yang masih terngiang dalam ingatannya adalah apabila berbuat baik pada orang lain janganlah di ingingat kembali kebaikan tersebut. "Ayah mem-umpamakan bahwa berbuat baik itu seperti buang air besar. Jika membuang air besar, seperti apa warnanya dari apa yang dimakan, tetapi tidak pernah melihat seperti apa warnanya. Serta tidak pernah mengingatnya kembali. Seperti itulah ayah memberikan perumpamaan," sebut perempuan yang berbaju kaos hitam itu.

Ia mengaku kejadian yang menimpa ayahnya itu karena masih di jual bebas memimum alkohol. "Harapannya pemerintah meminta untuk di usut tuntas pelaku menjual menuman keras. Minuman yang di jual bebas di warung dan di kedai. Alah banyak kejadian yang sama memakan korban," akunya.

Ia menjelasnya, ayah mengikuti acara orgentunggal pemuda sebagai acara pesta pemenang selaju sampan. "Purus menjadi pemenang selaju sampan dan dengan hadiah dua ekor kambing dan satu ekor sapi. Ayah di undangan dalam acara sukuran tersebut. Ayah bersama temannya membeli munuman oplosan dan ayah ikut minum," katanya sembari mengenang kebiasaan ayahnya itu.

Ia menyebutkan ayah dan mama pisah sejak 2002. Semenjak pisah, kisah mereka berdua tak ubah seperti kisah film. "Ketika melihat mama, ayah sinis. Ketika mama melihat ayah, mama juga sinis. Tapi mereka berdua tidak sadar telah memiliki lima orang anak," sebutnya seraya tersenyum melihat hubungan mereka berdua semenjah pisah.

Terpisah, Salman, Lurah Purus mengaku prihatin atas meninggal dua orang warganya itu akibat memimum minuman oplosan. Ia berharap memerintah dan aparat hukum bisa menindak tegas pelaku penjual minuman keras tersebut.

"Tangkap penjual minuman yang tidak memiliki izin, termasuk penjual minuman di luar izin alkohol yang di jual bebas di warung-warung," katanya saat di temui di ruang kerjanya.

Ia mengaku kejadian yang menimpa warganya itu terjadi pada Sabut, 23 April 2016. Kejadian meninggalnya dua warga tersebut bukan pada saat perta syukuran menang selaju sampan. "Perayaan dan sukuran menang selaju sampan tersebut dalam iven Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2016 dan Western Pasifick Naval Symposium (WPNS) 2016. Purus menjadi pemenang partama selaju sampan dengan hadian dua ekor kambing dan satu ekor sapi. Perayaan dilakukan pada Kamis, 21 April 2016 lalu sebagai pertas syukuran tersebut. Saya sangat menyangkan perayaan tersebut berujung pada korban meninggalnya dua orang warga akbibat meminum minuman oplosan. Meskipun kejadiannya tidak bersamaan dengan perta tersebut," akunya

Lifya, Guru SLB Penulis 35 buku Sentuh Murid dengan Kasih Sayang


Tak mudah untuk menjadi guru di sekolah berkebutuhan khusus. Namun bukanlah penghalang untuk mengabdi dan mencerdaskan anak berkebutuhan khusus itu. Kuncinya, ikhlas dan sentuh dengan kasih sayang. Inilah yang diemban Lifya, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Padang, Sumatera Barat


Laporan : Julnadi Inderapura

Lifya Guru SLB
Sekolah Luar Basa (SLB) Negeri 1 Padang seperti biasa, tampak lengang Rabu, 20 April 2016. Berbeda dengan sekolah pada umumnya. Suasanya menjadi lain. Mereka tidak ada yang berteriak-teriak dan berbicara keras-keras. Tidak ada anak-anak yang berlarian di halaman sekolah seperti sekolah biasanya. Hanya tampak seorang lelaki paruh baya duduk di teras sekolah sembari mendekap putranya seraya merileksasi jemari mungil putranya. Sebab, mereka sedang belajar dalam kelas dan sibuk.

Pria paruh baya itu menunggu guru anaknya untuk di terapi. Tak lama menunggu ibu guru yang ditunggu pun datang menemui anak berkebutuhan khusus tersebut. Ibu guru membawanya keruang terapi seraya membimbing anak tersebut ke runagan. Ibu guru pula yang menggendong anak berkebutuah khusus tersebut untuk naik ke atas bansal di ruang terapi.

Anak tersebut selalu di gugah dan di ajak komunikasi. Anak tersebut mengalami tuna grahita gangguan intelektual. Meskipun anak tersebut tidak dapat bicara namun ibu guru tersebut selalu berusaha menghibur anak tersebut dengan tulus dan ikhlas. Setelah diketahui anak bernama Rino tersebut berkebutuhan khusus, hiperaktif, sulit bicaya, pandangan yang tidak fokus.

Ibu guru paruh baya itu, menyayangi anak, tampak dari cara ia memberikan pelajaran, sentuhan, sapaan pada anak. Meskipun anak tersebut air liurnya terus mengalir. Tanpa basa basi ibu guru tersebut mengusap air liur anak tersebut seperti anak sendiri.

Ibu guru yang memakai baju batik bermotif empat persegi warna merah muda itu memberikan terapi kepada anak didiknya seraya bercanda menghadapi. Ibu guru tersebut mengelus bagian rahang anak, seraya memberikan contoh untuk mengecup. Menurutnya terapi tersebut diberikan kepada anak tersebut agar anak terbantu bisa menelan dan mengecup air ludahnya, agar air liurnya tidak lagi meleleh.

"Kita harus hangat sama anak-anak. Sapa anak tersebut dengan lembut dan sentuh anak tersebut dengan tulus dan ikhlas," kata perempuan kelahiran 4 April 1966 ini.

Ibu Lifya, itulah ia di panggil. Ia dikenal aktif mengikuti event menulis di media cetak maupun elektronik. Ibu Lifya isteri dari Duhani, 51, memiliki sepasang anak, Hasanatul Aini dan Fahmi Fahrozi. Ia tinggal di jalan Koto Panjang No 21 RT 02 RW 08 Pauh Padang Sumatera Barat, ini tulisannya juga lolos event Champion Teachers Competition 2015 dan menjadi tulisan terbaik.

Ia berpandangan bahwa sosokkartini jaman sekarang itu kadang-kadang saat berbuat banyak yang tidak iklas dan mengharapkan sesuatu. Kartini jaman sekarang ketika menulis misalnya ingin berharap terhadap sesuati seperti kenaikan pangkat dan segala macamnya. Kartini saat ini bagi mereka menulis itu bukan sesuatu kebutuhan untuk menunjang potensi diri masing-masing. Tetapi mereka menulis dalam rangka naik pangkat, menulis dalam rangka mengikuti iven lomba menulis dan segala macamnya.

"Tidak tertutup kemungkinan, sebab tidak semua orang memiliki hobi yang sama seperti dirinya menulis. Tetepi ada pula yang hobi memasak, dalam hal ini bagaimana mereka mampu mengkader muridnya untuk bisa memasak. Hal itu, menurutnya belum sepenuhnya dilakukan oleh kartini hari ini. Sewaktu-waktu mendadak-mendadak untuk menjerjakan sesuatu, karena "dalam rangka" tersebut," ungkap guru berprestasi Tingkat Nasional tahun 2013, serta pernah mendapat undangan ke Jepang dan pernah mendapat penghargaan untuk melaksanakan Umrah ke tanah suci tahun 2014.

Ia mengaku tidak pernah bosan menghadapi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Hal itu menjadi kerinduan apabila jauh dari anak-anak tersebut. Sebab, setiap hari ada sesuatu yang bisa membuat riang dan tertawa ngekeh dari tingkah laku manja anak-anak.

Terkadang ada pula anak sedang ada masalah sama pacaran. Kemudian anak tersebut ngambek dan cenderung diam serta tidak ingin belajar. Setelah itu, anak tersebut baikan lagi dan mengatakan udah buk, ia udah minta maaf. Hal itulah yang membuat kerinduan dirinya selalu untuk berada bersama anak-anak.

Kehadirin kita disini betul-betul menjadi ibu dan orang tua bagi anak-anak. Apapun kebutuhan anak tersebut maka ibu lah yang memberikan. Sebab di sekolah negeri mendapatkan bantuan untuk itu. Semua kebutuhannya seperti kaos kaki, baju seragam, baju pramuka, kacu dan segala macamnya, memotong kuku dan memandikannya seperi anak kecil, serta mengosok gigi anak. Hal itu dilakukan disekolah dan diajarkan.

Jika hal ini telah terputus seminggu atau dua minggu maka di ulangi kembali dari awal. Ia mengaku khawatif apabila libur semester karena merupakan libur panjang bagi anak-anak akan diulangi kembali dari awal. Disamping kerinduannya untuk berhadapan dan bertemu langsung dengan anak-anak. Tetapi ia harus menyiapkan diri untuk mengulangi kembali pelajaran mulai dari awal. Hal ini sering terjadi pada anak-anak yang masih kecil. Sebelum libur sekolah, untuk membuat angka dari 1-10 mereka telah bisa. Kemudian setelah libur terkadang harus mengulangi dari awal.

"Karena libur panjang bagi anak-anak, terkadang orang tua anak-anak resah pula karena lama menghadapi libur. Lamo bana temponyo mah buk," sebut perempuan yang hobi menonton film korea ini. Selain itu ia juga terlibat forum kepenulisan seperti FAM dan juga anggota HIPSI.

Selanjutnya, terang dia, langkah yang perlu diambil untuk mengisi kekosongan di waktu libur sekolah, kerjasama yang baik dengan orang tua sangat di pelukan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.

Sebagai contoh ada orang tua yang mengamati sendiri anaknya berkebutuhan kusus. Orang tua anak tersebut mengatakan kepada guru kecenderungan anaknya bahwa anaknya tersebut tidak bisa dicampurkan dengan anak yang lain. Sehingga anak tersebut mampu memotifasi dirinya untuk berkembang sehingga anak tersebut bisa mengikuti olimpiade.

Kemudian, lanjut dia, untuk mengisi kekosongan disaat libur tersebut dirinya telah menyiapkan buka dan bahan untuk difoto kopi. Orang tua anak tersebutlah yang membimbing anak mereka belajar agar tidak lupa apa yang didapatkan disekolah. Selanjutnya tugas pekerjaan rumah (PR) juga diberikan kepada orang tua untuk mengajarkan anak mereka dirumah. Jika tidak ada PR dari guru, anak tidak ingin belajar di rumah seperti gambar. Sehingga mereka bisa mewarnai.

Ia mengaku memiliki 35 judul buku bersama dan mempunyai 4 judul buku di tulis sendiri. Ia bertekat untuk memberikan pengaruh kepada rekan sesama profesi dengannya untuk terus menulis. Atas usahanya itu, telah memberi pengaruh dan dampak positif bagi teman yang lain untuk menulis. "Alhamdulillah teman-teman telah banyak tulisannya di muat di media masa," kata mantan kepala SLB Solok ini.

Saat ini dirinya sering di ajak menjadi narasumber sebagai motivasi dalam hal menulis. Ia lebih menggali life skill seorang untuk memberikan dorongan dan motifasi. "Saya berencana untuk mendirikan galeri dan menampung anak-anak putus sekolah," aku alumni IKIP Bandung tamatan 1991 ini.