Tuesday, November 11, 2014

INTENSITAS SU-EN/SU-EN BUTOH COMPANY dengan judul karya “Air Kemasan Re-Mix” Menginterpretasikan Simbol


International Performing Art Festival Of Padang Bagalanggang 2 tahun 2014
oleh: Julnadi Inderapura

Panggung kosong dari benda-benda, seorang perempung yang berbaju tanpa lengan duduk di atas panggung. Dia memperkenalkan buku puisi karangannya dan sekaligus membacanya untuk penonton. Lampu panggung yang netral memperjelas suasana yang akarap dengan penonoton. Perempuan tersebut berusaha berkomunasi dengan sapaan ramah. Peneonton pun yang menyasikan menjawab sapaannya. Tanpa di sadari pertunjukan baru saja dimulai.

Panggung kemudian mulai terisi diisi aktor Su-en/su-en yang melengkapi ruang panggung yang kosong. Panggung di isi dengan setting yang sarat dengan simbo-simbol yang dihadirkan diatas panggung. Dari sudut pojok kanan panggung ruang penonton, Su-en/Su-en meletakkan satu batang bunga dalam pot. Kemudian cerek alumenium mini yang disiapkan untuk mengiram bunga tersebut. Selanjutnya Su-en/Su-en meletakkan satu buah semangga yang berukururan jumbo. Setelah itu dua butir batu seukuran kepala juga mengisi ruang di atas pentas. Selanjutnya keranjang yang berisi daun kering dan pisau yang katanya warisan kakeknya juga hadir memaknai ruang di atas pentas.

Setelah semua setting pendukung telah dihadirkan panggung kemudian menjadi berjiwa dan bermakna. Perempuan yang berpakaian serba hitan tersebut duduk bertengger di bibir panggung kemudian dia menjatuhkan badannya kepada penonton. Tubuh perempuan tersebut tiba-tiba berubah dan menjadi tak lazim bagi penglihatan keseharian kita.

Perempuan tersebut melakukan komunikasi dengan penonton yang sedang duduk lesehan dengan cara menyudu-nyudu penonton sehingga penonton terkuak dan bergeser dari tempat duduknya. Penonton yang merasa risik disertai rasa takut akibat proses laku dramatik yang dikembangkan oleh se-un/se-un beberapa kali. Setelah itu, su-en/su-en kemudian beranjak keruang pentas mengabil kupluk emas yang telah disiapkan.

Setelah kupluk dipasang dikepala dia kemudian menyiramkan bunga yang tumbuh didalam pot sehingga air yang ada dalam cerek habis. Su-en/su-en kemudian kembali menginterpretasikan bunga sebagai sumber kekayaan alam, dengan mulut yang menganga simbiotik-kata dalam menginterpretasikan mimik dan ekpresi dalam Studi-Mimesis telah menghantarkannya pada alam yang damai, sejuk dan indah. Hal itu tergambar dari pola gerak tubuh dan mimesis (meniru) alam yang bergerak, sehingga Kelembutan pada air terjun dari percikan embun yang menyentuh tubuh sehingga kesejukan itu tergambar dari bahasa tubuh Su-en/Su-en. 

Tubuh yang menggigil tergambar dalam ruang panggung, sehingga tubuh su-en/su-en hilang keseimbangan dengan kaki yang terinjit. Pergantian adegan di susul dengan pembuangan kupluk emas dan diganti dengan wiks merah. Kemdian su-en/su-en kembali menghampiri semangka, perlahan diangkat hingga dada kemudian dijatuhkan kelantai. Semangka itu terbelah dan terbagi-bagi dengan warna yang memerah seperti bungkahan daging segar.

Anonim wiks yang digambarkan dalam Su-en/Su-en butoh company mewakili sosok pemimpin atau pelaku yang merusak kekayaan alam demi kepentingan pribadi. Dedaunan kering yang tercecer dalam keranjang personifikasi tubuh Su-en/Su-en yang kehilangan sumber mata air akibat kegundulan hutan. Sehingga tetesan air yang keluar dari bawah pot dijilat penari, seakan berpesan hutan dan taman tidak lagi mampu membendung mata air karena alam telah dirusak. Pertujukan yang dekat kaitannya dengan falsafah minang. Alam Takambang Jadi Guru, namun, bagi su-en/su-en adalah tarian adalah alam itu sendiri, biarkalah alam yang menari dan menggerakkannya.

Disisi lain su-en/su-en kembali membuka mulutnya seakan beriakan yang memdalam saat su-en/su-en kembali mewakili bunga dalam pot. Seakan-akan su-en/su-en nyinyir mempertegas “berusaha untuk menyelidiki hubungan tubuh penari dan area sekitar tarian yang mencerminkan kesan-kesan yang didapat saat terjadi pertemuan dan tumbuhkan antara suara, bebauan dan warna-warni wilayah sekitar lokasi tarian.”

Laku-dramatik dari tubuh su-en/su-en yang “keluar” dari alam pikiran, sehingga kehendak tubuh untuk bergerak tidak dikontol oleh jejaringan otak. Inneraction tubuh yang mengkominikasikan personifikasi kupu-puku berpasangan yang ramah dan selalu mencintai ke indahan alam dengan bunga-bunga. Su-en/Su-en menggambarkannya dengan lenggang-lengkok telapak kakinya di atas pentas dengan posisi badan yang rebah kelantai.

Setelah itu, semangka yang terbelah yang memerah seperti daging yang dimakan melalui mulut seperti binatas buas yang hidup dihutan yang memakan mangsanya. Namun, setelah setelah hutan tidak adalagi persembunyian dan ekosistem hewan yang terlindungi perlahan punah. Selanjutnya, para pembesar (termasuk kita sebagai pelaku) yang bebal seakan menutup mata melihat kejadian tersebut. Sehingga personifikasi batu yang dan wajak ditutup dengan kain merah. Su-en/su-en juga membalut batu dengan sebilah kain yang lain dan sama-sama berwarna merah. Suasana itu membuat tegang, sebab agedang anti klimaks terbungkus rapi pada dua simbol yang dihadirkan. “antara kepala batu dan kepala manusia, mana yang paling keras di antara keduanya.” Sebab keduanya telah terbungkus oleh kain yang berwarna merah. Su-en/Su-en menyamakan kedudukan kepala-nya dengan butu yang terbungkus di lantai.

Kemudian, wiks yang mewakili babak selanjutnya yang dipukul-pukul di pantat mewakili kejamnya pembesar serta pekerja tambang yang mengeruk hasil bumi yang diperkuat dengan akronim musik mesin tambang yang mengaum. Sehingga ektetika batu diatas pentas menjadi ruang imajiner tersendiri pagi penikmat pertunjukan. Kekayaan properti (simbol yang dihadirkan) di atas pentas dengan tarian memaknai judul tarian su-en/su-en yang “terinspirasi dari mana Pulau Sumatera, yakni Swarnadwipa, yang berarti Pulau Emas dan kata Samudra yang berarti pertemuan air. Memuji hidup dan kematian, dan kesemuan diantaranya. Memuji Cahaya dan Kegelapan, dan kesemua diantaranya. Memuji yang diluar, dan kesemua diantaranya. Dalam antara dan Diseberang. Memuji Air, Hutan, Gunung, Makhluk Hidup. Bagaimana hidup harmoni bersama alam liar dan yang lainnya? Memuji semarak 25 bahasa.” Kata Su-en/Su-en di akhir pertunjukan.

Analisis Agyan Penyampai Tanda Karya Jhoni Andra Berjudul Ratak Nyao

Personifikasi Kursi Goyang Rontan : Ratak Nyao
Tarian tubuh penari yang dikehendaki oleh koreografer tari Impessa Dance Company. Ruang-ruang waktu yang belum jelas keberadaannya di atas pentas, penonton yang menepuk dada saat menunggu pertujukan segera dimulai. Persprektif panggung yang simetris dengan penonton telah tergambar secara fisual pentas. 

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang
 
Penonton ramah menunggu adegan tarian yang dihadirkan oleh Jhoni Andra sebagai koreografer. Karya yang berbudul “Ratak Nyao” dipentaskan selama 60 menit mengajak penonton berbagi tentang kisah. Seperti apakah Jhoni Andra mengemas tarian empat orang penarinya itu?

Selasa, 28 Oktober 2014 pukul 20.00 di Ladang Tari Nan Jombang dipadati penikmat seni
International Performing Art Festival Of Padang Bagalanggang 2 tahun 2014” pada tanggal 25 Oktober – 1 November 2014. Penonton yang menyengajakan diri meninggalkan rutinitas hariannya. Penonton hadir untuk ikut serta dalam memperkaya persepsi sebuah tarian. Kali ini Jhoni Andra memulai tariannya dari personifikasi “Kusri Goyang Rotan” yang dimunculkan sebagai setting panggung tariannya.

Perlahan lampu gedung dimatikan satu persatu sehingga sempurna pada sebuah kegelapan dalam yang “entah” telah menutupi sudut pandang penonton. Dalam kegelapan penonton di ajak masuk dalam ruang imajinasi mendengarkan tenting music (alat music Tri angel). Dentingan tersebut seolah-olah menyentuh penonton dalam kegelapan ruangan. Perlahan-lahan pampu menyala menyoroti tubuh penari.

Penonton kemudian mememukan titik balik dari kegelapan ruanga yang telah mendapati cahaya, sehingga tontonan baru saja dimulai. Ritme music yang menghantarkan tubuh penari yang sinkron dengan gerakan. Saluang Pauh yang dilantunkan menambah kaya gerakan penari yang mengakar pada tari tradisi yang dikemabangkan. Persepsi yang dimunculkan ketika tubuh penari menyampaikan “tanda” dengan memperkuat dengan detingan serta gesekan piring. Eksplorasi piring mempertegas kegirangan yang terselubung dalam tarian. Piring tersebut menjadi sesuatu yang dekat dengan lingkungan yang hidup bersosial. Jhoni Andra kemudian mengembangkannya menjadi sebuah pergantian musim dari zamannya.


Tidak hanya sampai pada ruang yang telah ada, ketika seorang penari yang “satu” (sebagai Agyan) terdiam Duduak Baselo telah memberikan pemahaman baru dalam kehidupan sosial. Bagian ini Jhoni Andra mengajak penonton melalui penari untuk menelaah hubungan antar sesama. Interaksi sosial yang kemudian perlahan-lahan muncul dan mulai dikembangkan penari melalu gerakan yang dihadirkan.

Penari “Agyan” telah mengantarkan ceritanya sendiri dalam keterasingan hidup yang dimilkinya. Selanjutnya tiga orang penari yang lain berada pada “kursi goyang” yang menjadi poros pentas sebagai titik pengunci adegan. Tiga orang penari tersebut dihadirkan seperti kelompok sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Tubuh-tubuh penari yang terkunci pada dari karakteristik yang dimunculkan di pentas. Tiga orang penari tersebut saling memperkuat laku-dramatik tubuh dari gerakan. Tubuh mereka yang terdampar dalam keterbatasan ruang gerak, sehingga tubuh penari menjadi kaku bertengger dikursi goyang tersebut. Sedangkan tubuh yang kedua terbaring dari interpretasi orang-orang kelas bawah dalam kehidupan sosial.


Keinginan koreografer dalam tata gerak yang dimunculkan sangat dinamis sesuai dengan dentingan piring sebagai “tanda” alihan adegan. Dentingan bunyian piring itu merupakan waktu-waktu yang sulit diterima “Agyan” untuk berinterasi antar sesama dalam ringkungannya. Namun, perbeda dengan yang di rasakan oleh tiga penari yang lain, penari tersebut justru mendapat tempat yang “di istimewakan”. Ada anonym lain yang ingin diceritakan oleh goreografer dalam tarian empat orang penarina yang mengekplarasi tubuhnya menjadi masyarakat sosial. Kemudian menjadi individu yang terkurung dalam kesendiriannya.

Kesendirian itu hadir dalam personifikasi Rabab yang melengkapai kesendirian “Agyan” sebagai tokoh dalam tarian. “Agyan” hadir sebagai sosok tokoh tunggul dalam sebuah tarian “Ratak Nyao”, yang kemudian di interpretasi menjadi benang merah alur synopsis. Empat penari yang lain sebagai “bayangan” imajinasi hidup layak yang ingin dipeloleh oleh “Agyan”.

Perhatian dari pemimpin yang diharapkan agar sosok “Agyan” dapat diterima dikalangan banyak orang, ternyata pusus ditelah zaman. Sebab penyakit yang di almi “Agyan” membuat semua orang pergi menjauh. Penolakan tersebut jelas dinampakkan di atas pentas, membalikkan kursi goyang sebagai symbol penolakan. Kemudian kenakan wajah di atas kursi sebgai ke angkuhan tubuh penari yang lain, kemudian tapuak galembong dan sampah sebagai bentuk tidak dapat diterima oleh kehidupan sosial dilingkungannya. Itulah kepahitan sosok laku “agyan” yang digambarkan Jhoni Andra dalam tariannya yang diperankan oleh, alex Tansil, Diyan “botak” Muarif, Alvino, Verry Sanches.