Wednesday, March 25, 2015

APA BASI SRG 101 SIMPANG PASAR ALAI PARAK KOPI, TETAP BERTAHAN DENGAN GEMPURAN PRODUKSI PABRIKAN

Pandai Besi (apa besi) SRG 101 berdiri sejak zaman Belanda tetap bertahan hingga saat sekarang. Sebab, peminatnya masih banyak terutama dari daerah. SRG 101 masih mampu bersaing dengan produksi pabrikan.

Laporan : Julnadi Inderapura


Rabu, 18 Maret 2015 Siang itu cuaca cerah. Matahari seakan berada di ubun-ubun. Kendaraan silih berganti melewati jalan kopi tersebut. Kendaraan yang lalu lalang dengan knalpon di selingi bunyi klason menambah keramaian.

Siang itu, itu Penulis berkunjung di bengkel "Apa Basi SRG 101". Apa Basi tersebut berada di depan pasar Alai di jalam kopi, Alai Parak Kopi. Tempat strategis dan mudah di akses. Bengkel yang sederhanya tanpa dinding dan hanya mempunyai atap untuk berteduh. Di bengkel tersebut Pardi, 51, dan dua orang rekannya Sam, 60, dan Bojek, 53, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.

Di sela-sela kesibukan Pardi, 51, memukul besi panas itu, ia bercerita banyak tentang "Apa Basi" tempat bekerjanya. Pukulan besi panas tersebut menimbulkan bunyi yang dinamis dan enak terdengar.

Setelah selesai memukul besi panas yang siap di bakar tersebut kemudian di bakar kembali. Segitulah seterusnya sampai pada tahap akhir dan asahan. Disela pembakaran besi yang akan di pukul dan di bentuk sebsuai dengan kebutahan Pardi menyebutkan, Apa Basi ini telah berumur puluhan tahun. Sejak awal Apa Basi ini ada telah di kenal dengan nama SRG 101 dan telah ada sejak zaman belanda. "Saat ini pembuatan telah masuk generasi keempat, sehingga untuk penamaannya pun dipakai istilah lama dari turun temurun," sebutnya sembari menyeduhkan teh yang telah disiapkan sebelumnya.

Pria yang memiliki dua orang anak itu mengaku bengkel tempat bekerja tersbut merupakan Pengrajin besi untuk pembuatan pisau, parang, sabit, pahat, kapak dan sebagainya. "Untuk pembuatan dan pembelajarannya lebih dari satu tahun belum tentu akan mahir dalam pembuatannya. Sebab, pembuatannya secara bersamaan dan serentak. Sebab, untuk memukul besi tersebut harus sesuai dengan permintaan orang yang menjepitnya. Jadi, dalam pembuatan sabit dua orang untuk memukul dengan martil agar pipih. Sementara orang menjempit merupakan pengarak pukulan,"aku pria yang berbaju kemeja putih itu.

Dia mengatakan Pakakeh (peralatan) Apa Basi yang digunakan untuk membuat pisu (sakin), Ladiang (parang), Sabit, adalah martil dengan istilah turun-temurun di sebut dengan Tapo. Selain itu, Tapo, adapula caca (pahat) yang berfungsi untuk pemotongan besi. Caca ini di bagi pula pada dua macam yakni, Caca Masak dan Caca Matah (mentah). "Caca masak digunakan untuk pemotongan besi yang telah merah saat di bakar. Sedangkan caca matah digunakan untuk memotong besi hitam," sembari memperlihatkan bentuknya.

Kemudian, lanjut, pria berkumis itu, Paragek (peralatan) yang lain digunakan dalam pembuatan Apa Basi SRG 101 ada pula Caca Papek (pahat pontong berbentuk Pipih atau tipis). Selanjutnya Caca Pamaduang (pahat yang digunakan untuk membengkokkan besi) Caca Pamaduang ini berfungsi untuk meningkungkan besi, seperti pada pembuatan Sabit.

"Paniokok (palu) terdiri dari berbagai ukuran. Ada yang berukuran kecil, yang berat 1 kg ada yang berukukuran besar seberat 5 kg dan tergantung pada kemampuan kita untuk mengayunkannya. Sapik (tang) yang digunakan untuk menjempit, kemudian untuk  pemegang besi panas yang telah di bakar, atau mengambilnya dari bara api," katanya.

Disela waktu istrahanya yang sebentar-sebentar itu, Pardi menyebutkan dari keseluruhan Pakakeh (peralatan) tukang Apa Basi SRG 101 di tempat ini tidak ada yang di beli, melainkan pembuatannya hanya di tempat ini dan dipergunakan di tempat ini pula. "Spesialis produk unggulan Apa Basi SRG 101 adalah Sabit. Untuk pembuatan satu buah sabit membutuh kurang lebih satu jam. Terkadang dalam satu jam bisa selesai dua buah. Tergantung pada kelihaian seseorang dan tergantung pada pengalaman seseorang untuk pembuatannya. Karena pembuatan sebagai pekerja Apa Basi harus kerja sama yang baik dan kehati-hatian," sebutnya.

Selanjutkan, setelah besi yang di pukul berbentuk seperti sabit, kemudian diberikan Pamalelo atau babajo yang disebut juga dengan "inti". "Besi yang telah pipih (tipis) dan telah berbentuk (pisau, sabit, parang dan lain-lain) kemudian dilampisi dan diisi agar lebih tajam. Bahkan boleh dikatakan sepuh yang berfungsi untuk penajaman, saat di asah, inti tersebutlah yang membuat tajam," katanya sembari menghisap rokoknya.

Dia mengatakan Pamalelo-nya diberikan sebanyak dua lapis. Kemudian untuk pembuatan bahan bakunya ada besi bekas seperti permobil. "Untuk permintaan pasar masih sama dan tidak ada penurunan. Terutama permintaan pasar banyak terdapat di daerah. Harga Rp130 ribu untuk satu buah sabit yang telah selesai di buat tetapi belum di asah. Sementara untuk sabit yang siap di asah dijual dengan harga Rp160 ribu," sebutnya.

Kemudian harga jual tergantung pada proses pembuatannya yang berbeda. Selain itu, harga juga ditentukan pada tingkat kesulitannya. "Semakin sulit pembuatannya, semakin tinggi harganya. Bahan bakar yang digunakan untuk pembakaran besi adalah batu bara. Dalam produksi pembuataan pisau, parang, sabit dan sebagainya itu, bisa menghabiskan dua karung batu bara. Batubara tersebut perkarung di jual dengan harga Rp70 ribu," katanya sambil memegang tangkai martil sebagai penanda dia akan melanjutkan pekerjaannya.


Dia mengaku meskipun produksi yang lebih canggih dari pabrik. Namun produksi secara tradiosional terus diminati. "Dari tahun ketahun tidak ada penurunan peminat. Jika tidak ada peminat berati usaha ini tidak berjalan. Saat pembakaran peniupan api menggunakan mesin Blower agar pembakarannya lebih cepat, apinya selalu menyala tinggi," akunya

Saturday, March 14, 2015

Jenis-Jenis Silat Minangkabau

Laporan: Julnadi Inderapura

Silat ( Silek ) merupakan penamaan di Minangkabau, Silek atau seni beladiri yang dikenal dengan Silat. Minangkabau mengangut Sistem matrilineal membuat anak laki-laki setelah akil balik harus tinggal di surau. Silek adalah salah satu dasar pendidikan penting yang harus dipelajari oleh anak laki-laki Minangkabau disamping pendidikan agama Islam. Silek jadi unsur penting dalam tradisi dan adat masyarakat Minangkabau yang merupakan ekspersi etnis Minang.
Silek sudah merasuk dalam setiap kehidupan sehari-hari dalam individu masyarakat Minang dan muncul sebagai unsur penting dalam cerita rakyat, legenda, pepatah dan tradisi lisan di Minangkabau. Ada banyak jenis-jenis silat Minangkabau atau aliran Silek di Sumatera Barat antara lain:

·        Silek Kumanggo
·        Silek Lintau
·        Silek Tuo
Silek Tuo ada yang menganggap itu adalah versi silek paling tua, namun pendapat lain mengatakan bahwa silat itu berasal dari Tuanku Nan Tuo dari Kabupaten Agam. Tuanku Nan Tuo adalah anggota dari Harimau Nan Salapan, sebutan lain dari Kaum Paderi yang berjuang melawan Belanda di Sumatera Barat
·        Silek Sitaralak
merupakan silat yang beraliran keras dan kuat
·        Silek Harimau
·        Silek Pauh
·        Silek Sungai Patai
·        Silek Luncua
·        Silek Gulo Gulo Tareh
·        Silek Baru
·        SilekUlu Ambek

Silek Ulu Ambek banyak terdapat pada pesisir Pariaman. Ada beberapa nama aliran Silek lain yang punya nama, yakni Silek Tiang Ampek, Silek Balubuih, Silek Pangian dan Buah Tarok dari Bayang, Pesisir Selatan.

Jenis beladiri Silek tersebut ditemukan dibanyak tempat di Sumatera Barat,  meskipun banyak jenis lain yang lebih lokal. Bahkan ada yang hanya terdapat dalam suatu kampung saja dan untuk yang terakhir ini lebih tepat rasanya untuk disebut perguruan silek daripada aliran yang sebagian besar menamakan aliran sileknya dengan nama kampung asal aliran silek itu berasal dan tidak mengasosiasikan diri mereka dengan salah satu aliran diatas, malah beberapa menamakan diri dengan nama yang unik seperti Harimau Lalok, Gajah Badorong, Kuciang Bagaluik atau Puti Mandi.

Kemudian, antara sitaralak dan Silek Tuo (silat paling tua) adalah kajian yang menarik untuk dikupas lebih dalam. Gerakan silek itu diambil dari berbagai macam hewan yang ada di Minangkabau, contohnya Silek Harimau, Kuciang dan Silek Buayo (Buaya), namun di dalam perkembangan silek selanjutnya, ada sasaran silek, umumnya silek yang berasal dari kalangan tarekat atau ulama agama Islam menghilangkan unsur-unsur gerakan hewan di dalam gerakan silek mereka karena dianggap bertentangan dengan unsur agama. 

Friday, March 6, 2015

Seni Tradisi Langka Tarian Buai Ba Buai Seni Milik Masyarakat Dinikmati Masyarakat

Grup Kesenian Sariak Sati pementas tunggal di Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3, pada Selasa 3 Maret 2015  pukul 20.00 di Ladang Tari Nan Jombang Rimbo Tarok Balai Baru Kota Padang Provinsi Sumatera Barat. 
 
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,
 
Group Sariak Sati menampilkan tiga seni tradisi, Tari Buai-Buai, Tari Piriang dan Saluang Pauah. Grup yang sudah berproses semenjak tahun 2003 ini, merupakan tetangga dekat dari Nan Jombang Dance Company. Sebab, pada pertunjukan malam tersebut bukanlah kali pertamanya Sariak Sati tampil dalam festival nan jombang tanggal 3.  Group Kesenian Sariak Sati mencoba menampilkan kesenian tradisi nan sudah mulai langka.

Nan Jombang tanggal 3, sudah berjalan selama tiga tahun, dan konsisten menampilkan kesenian tradisi Minangkabau. Untuk bulan Maret ini, Sariak Sati menjadi pementas tunggalnya. Pementasan dimulai dengan menampilkan kesenian tari  buai-buai, menurut pelatih kesenian grup Sariak Sati Muhammad Zen,  tarian ini sudah mulai jarang dimainkan oleh masyarakat Minangkabau.

Sebelum penampilan dari Group kesenian Sariak Sati menampilkan tarian “Buai-Babuai” disuguhkan oleh penari cilik dari group tari nan jombang sebagai tarian pembukan. Malam itu, pengunjung pun tampak memadati ruang pertunjukan manti manuik. Kemudian pembawa acara mengbacakan sejarah singkat group kesenian Sariak sati dan sinopsis tarian yang akan di tampilkannya group tersebut.

Dua penari masuk dan mulai bertepuk tangan dengan tempo yang teratur lalu menghentakkan kakinya seolah sedang “mairiak” (merontokkan  padi dengan cara diinjak-injak). Lalu tangan dua penari itu seolah tengah menanam benih padi. Diiringi ritme tepuk tangan, talempong, gendang dan pupuik tarian buai-buai mengayun pelan. Tangan kedua penari seolah membuai, namun seusai pertunjukan Muhammad Zen menjelaskan bahwa gerakan-gerakan itu merupakan aktifitas bertani. Mulai dari bertanam hingga menyabit padi.

“Tari Buai-buai memang menggambarkan bagaimana cara masyarakat Minangkabau melakukan aktifitas bertani, mulai dari awal bercocok tanam hingga panen,” kata Muhammad Zen usai pertunjukan berlangsung.

Tarian yang berdurasi lebih kurang 15 menit ini, membuat para penonton terkesima. Meski ayunan dan gerakan para penari tidak jauh berubah, namun penonton seolah tersihir untuk melihat para penari yang seolah tengah berbuai.

Dia menambahkan bahwa tarian buai-buai ini merupakan bentuk dari kerjasama dan ketinggian budaya dari masyarakat Minangkabau, namun seiring kemodernan yang masif dalam semua kehidupan. Membuat nilai dan bahkan tarian ini pelan-pelan menghilang.

“Lewat tarian ini, menggambarkan tentang kekompakan masyarakat dalam mengolah lahan. Namun sekarang dengan kemajuan zaman, tidak semua masyrakat Minangkabau menjadi petani, dan tidak ada lagi kekompakan. Masyarakat cenderung mementingkan diri mereka sendiri, dan dengan tari buai-buai ini kami ingin menyampaikan bahwa kebersamaan menciptakan kebahagian dalam bekerja bersama,”  pungkas Muhammad Zen.

Kapala UPTD Taman Budaya Drs. Muasri mengatakan taman budaya sangat apesiasi karena Nan Jombang Tanggal 3 tetap berkelanjutan dan tetap terlaksana. Dengan adanya nan jombang tanggal 3 akan memberikan kesempatan pada pelaku seni tradisi atau grup seni tradisi mulai langka untuk dapat terjaga. Sebab seni tradisi yang mulai langka ini harus tetap dipelihara dan di jaga dengan baik.

Seni tradisi yang dimaikan, tariannya mengajak penonton untuk penonton lebih arif dan bijak dalam setiap percerakan yang diciptakan.  Meskipun pertunjukan telah terkonsep dan terencana oleh penyelenggara. Namum tarian tradisi ini belum mampu melakukan kreasi secara teoritis untuk menunjang ke indahan gerakan. Sehingga esensi dari sebuah tarian seni tradisional yang mempunyai nilai dan kharismatik tersendiri dalam penciptaan nilai yang dibangun dalam setiap gerakan.

Seni tradisi menjadi penting untuk di mengerti, sehingga seni tradisi dalam penggarapannya yang lebih kontemporal dan modern akan lebih ada “nilai jual” bagi penonton sehingga kindahan gerakan akan lebih dinamis. Karena seni tradisi telah mengikat pada teori yang telah dibuat demi menunjang derakan yang lebih indah dan sebauh tarian. Seni tradisi harus mengukuti aturan main yang telah ditetapkan seakan hal tersebut menjadi baku. “pelaku seni tradisi harus mempertimbangkan juga gerakan yang baik dan dinamis, sehingga ke indahan gerak dapat tercipta,” katanya.

Seni tradisi itu, tidak harus berdiri dari akar lahirnya seni itu berada. Artinya, kita tetap mengacu pada akar tradisi, hanya saja pergerakan yang lebih mempunyai makna dan maksud yang dapat di hadirkan dalam gerakan, dalam artian darimana seni itu bersumber. Seni tradisi akan kembali pada awal keberadaannya, meskipun ruang pertunjukan telah ditentukan dan ditetapkan menjadi seni tradisi. “seni selalu di butuhkan dalam setiap iven gegiatan, baik kegiatan tersebut resmi atau pun tidak resmi. Seperti pembukan pekan olah raga akan di buka dengan tarian masal, dan ditutup dengan tarian pula,” sebutnya.

Kemudian seni tradisi, masih belum menjadi daya tarik bagi genarasi muda karena memang seni tradisi seperti saluang pauah yang di mainkan mestinya harus dekat dengan penononnya sehingga penonton terbawa. Selain itu, untuk menumbuhkan minat dari para generasi muda adalah dari komunitas sendiri. Sebab seni miliki masyarakat, maka akan dinikmati oleh masyarakat.

Selain itu, dia mengatakan ruang gerak para pelaku seni itu sendiri dan periodenisasi dari generasi masih jauh dan berjarak. “agar pantun dan nunyi saluang dapat di pahami dan dicerna dengan baik harus mendekat dengan salaung,” katanya.