Saturday, December 7, 2013

PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM INDONESIA

Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain?


Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Sementara kebutuhan hokum masyarakat termaktub dalam UUD 1945. Hal ini menjadi penting karena pluralisme system hokum dan UUD 1945 atas HAM menurut Rozali Abdullah, S.H. setidaknya ada tiga kelompok pandangan,yakni: Pertama, mereka yang berpandangan bahhwa UUD 45 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa UUD 45memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Dan ketiga, berpandangan bahwa UUD 45 hanya memerikan pokok-pokok jaminan atas HAM. 

Pandangan yang didukung oleh Mahfud MD dan Bambang Sutiyoso. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak di tentukan secara ekspisit di dalam Pembukaan, Batang tubuh UUD 45 hanya ditemukanpencatuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warganegara. Menurut Mahfud tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 45 itu sebenarnya tidak banyak memberikan perhatian pada HAM, bahkan UUD 45 tidak bicara tentang HAM universal kecuali dalam dua hal, yaitu sila keempat pancasila yang meletakkan asas “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan pada pasal 29 yang menderivasikan jaminan “kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah. (Rozali Abdullah: 2005:95).

Pandangan kedua didukung oleh Soedjono Sumobroto dan Marwoto, mengatakan UUD 45 mengangkat fenomena HAM yang hidup dikalangan masyarakat. Atas dasar itu, HAM yang tersirat di dalam UUD 45 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu pancasila. Penegakan HAM di Indonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai pancasila dalan kehidupan bernegara dan berbangsa.
 
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain.

Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen  yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Hal ini merupakan fungsi pembaharuan hokum pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan  hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).

Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. 

Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidaksesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan. Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistemhukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hokum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional. Sistem hukum Indonesia – sebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk  sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).

Kemudiandapat pula kita tempatkan pada sumber-sumber hokum dapat diartikan sebagai bahan perkara. Sumber ini dapat di pakai dalam dua arti, yang pertama “mengapa hokum itu mengikat”. Sebenarnya apakah sumber (kekuatan) hokum itu hingga dapat mengikat atau di patuhi oleh manusia? Dimanaka kita akan menemukan aturan hokum yang mengatur kehidupan itu? Jadi pakan sumber hokum itu sebenarnya?

Sebenarnya, sumber hukum itu adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai sifat memaksa. Dalam artian aturan-aturan itu kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.  Secara garis besarnya, atau benang merah dari sumber hukun itu terbagi kepada dua: Pertama, sumber hokum materil menurut E. Utrecht yang di kutip oleh Muctar Kusumaatmadja, sumber-sumber hokum materiil perupakan persaan hokum (keyakinan hokum) individu dan pendapat umum ( public opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hokum menentukan isi darihukum. Kedua, sumberhukum formal yaitu mengacu pada suatu rumus peraturan yang memiliki bentuk tertentu, sebagai dasar berlaku hingga ditaati, mengikat hakim dan para penegak hokum. (Muchtar Kusumaatmadja:2000:54) 

Dua sumber hokum tersebut secara anrtopoligisnya melakukan pendekatan secara menyeluuh yang dilakukan terhadap manusia. Memahami semua aspek dari pengelaman manusia, seperti lingkungan hidup dan kekeluargaan, ekonomi, politik, agama dan susial budaya liannya. Maka antropologi hokum memang tertelak pada pengamatan, penyelidikan secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. 

Hal ini apa bila terpenuhi, dalam aturan perundang-undangan untuk menciptakan hokum dengan syarat memenuhi sumber hokum materiil dan formil. Jika ditelaah lebih mendalam dari mekanisme hokum yang berfungsi sebagai pembaharuan hukum Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hokum.  Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Pertanyaan apakah kita sebagai bangsa yang merdeka dapat membuat perundang-undang hokum sendiri?

PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGY




Oleh Julnadi Inderapura
Pertanyaan yang mendasar bagi saya adalah kecenderungan ingin menjadikan sesuatu yang komplit, sehingga mampu bersaing dengan budaya korup yang merugikan pihak yang terkait. Budaya korup yang tidak hanya terjadi dalam kaum elit saja tetapi juga terjadi pada karangan rendah. Akibatnya dari semua aspek birokrasi yang mementingkan pelayanan masyarakat justru tidak didapatkan oleh masyarakat banyak. Asumsi saya bahwa sesuatu yang komplit dalam tatanan nilai-nilai social kemasyarakatan berdampak pada peradaban manusia secara global.

Peradaban manusia akan menerima globalisasi ini karena tingkat ketergantungan dan kebersamaan  konomi semakin tak terhindarkan, walaupun kebersamaan ekonomi itu tidak lahir kesejahteraan yang sama. (Todung mulya lubis : 2005: 78). Maka, globalisasi dapat di terima oleh kalangan masyarakat yang nonkooperatif, sehingga kehidupan nyata dalam berinteraksi antar sesama mandek, akibanya pertubuhan ekonomi masyarakat tidak stabil. Orang-orang selalu menafsirkan globalisasi pada kebebasan individu masyarakat kepada arah lebih baik dan matang. Adagium seperti ini berimplentasi pada social control masyarakat.

Dalam hal ini Tudong (2005: 87) berpendapat ‘Ternyata kita tidaklah bebas dan tidaklah aktif, sehingga dalam setiap kesalahan terhadap para pelanggar hokum yang membuat kita semakin terkekang. Maka sebagai bangsa yang merdeka mestinya hak-hak kemerdekaan itu di berikan depada seluruh rakyat. Untuk mencapai hal yang demikian itu, sebagai bangsa yang besar dan berasaskan pada Pancasila penting bagi kita mendudukkan “kebebasan beraturan”.

Ahkir-akhir ini banyak persoalan yang semakin rumit untuk di mengerti. Persoalan itu terkesan tidak manusiawi. Kasus demi kasus telah didepan mata. Pertumpahan darah dimana-mana. Pelaku kejahatan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Semua persoalan dilimpahkan pada yang pemerintah setempat katakalah pemerintahan yang otomom. Sehingga apapun kondisi dan situasinya dapat di tindak lanjuti oleh pemerintah setempat dengan berbagai cara yang merugikan masyarakat banyak dan juga sebuah pelanggaran (HAM) atas hak-hak. 

Menurut Todung Mulya Lubis (2005: 173) Indonesia masa depan membutuhkan reformasi total agar kita bisa mempunyai kehidupan yang transparant, fair, dan accountable. Perlu ada clean and healtly gevernment. pandangan ini justru mernurut saya  pemerintah terlebih dahulu mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat, sehingga tidak terjadi miskomukasi antara pemerintah dan masyarakat atas hak-haknya. Dalam segala aspek pertumbuhan reformis yng diinginkan untuk perpenuhinya hak-hak masyarakat yang transparantiv memang tidak dapat secara terpisah di atara keduanya antara pemerintah dan masyarakat. Akhirnya, reformasi yang diharapkan merevolisi dalam tatanan nilai-nilai atas hak-hak masyarakat yang lebih trasparantif, fair, dan eccountable.

Indonesia adalah bangsa yang besar dan  merdeka. Negara yang berasaskan pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 45. Dalam Batang Tubuh pembukaan undang-undang dasar tersebut juga mementingkan pada kebebasan dan hak-hak sehingga dapat mendorong toleransi keberagaman antar nilai-nilai yang ber-ideologi pada Pancasila. Pertanyaannya apakah ini dapat berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan? 

Pandangan hidup seperti ini menurut William: 1959, cenderung diikat oleh nilai-nilai sehingga berfungsi sebagai pelengkap nilai-nilai. Sementara idiologi merupakan pembenaran intelektual terhadap norma-norma. unsur-unsur yang digunakan, atau unsure yang digunakan sebagai dasar suatu kegiatan. Intelektualitas kita apatis akibat kekangan atas hak-hak yang dilakukan oleh pemerintah akibatnya kemerdekan itu tidak di miliki oleh masyarakat, apalagi intervensi oleh pemerintahan yang otonomi, dan kebijkan yang akan diambil pun dari pemerintahan yang otonom.

Dalam Terori-teorikonservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotifasikan oleh naluri dan implus yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitive. (Maurice Duverger: 2003:163) teori ini menjelaskan bahwa” kita” secara alami adalah “ jahat” dalam tatanan  bermasyarakat. Secara birokrasi dalam kepemerintah mungkin saja pendapat Duverger ini benar. Tetapi dalam tatanan social kemasyarakatan individu lebih penting sehingga terjadilah pelanggaran HAM tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya apakah kita semua adalah jahat? Atau perkerja system perintahan kita yang jahat? 

Dalam kenyataannya kebuasan primitive justru mendapat tempat tersendiri bagi para pskopat yang hobinya “membunuh” tanpa mempertimbangkan hak-hak orang lain. Apakah manusia secara naluriahnya adalah jahat sehingga hak-hak orang lain bisa kita rampas. Ini menurut saya adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh oknum dan aparat pemerintah? Padahal sebelum mereka diangkat dan menerima jabatan mereka disumpah yang dikenal dengan Sumpah Jabatan. Bersumpah bahwasanya mereka mesti memperlakukan jabatanya sebagaimana mestinya melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat. Tetapi sumpah dan janji itu tidak terpenuhi dan tidak di tepati.

Ini lah mentalitas para pejabat dan aparat pemerintah, saya ikut prihatin atas aksi berdarah yang menewaskan dua orang warga dalam Aksi solidaritas BIMA sebagai kasus yang diperbincangkan. Mereka berorasi demi mempertahankan hak-hak mereka yang dirugikan dan mereka melakukan aksi pemblokiran jalan. Hanya sekedar pemblokiran jalan sebagai protes dari warga masyarakat setempat. Tetapi, dalam pembubarannya yang dilakukan dalam aksi masyarakat tersebut mementingkan pihak-pihak yang terkait. Kalaulah pemerintah bijak dalam menyamanan tentang aksi ini, aparat justru tidak melakukan perlawanan serta tidak memancing stigma masyarakat dalam melakukan aksinya. Aksi pembokiran jalan ini dilakukan adalah bentuk ketiak perhatian masyarakat atas hak-hak masyarakat yang dirugikan.

Sebalikanya, jika aparat yang katanya “mengamankan” aksi kenapa mesti dengan berpakaian lengkap seperti hendak perang dengan warga? Ini diluar dugaan saya kenapa aparat mesti takut berhadapat dengan rakyat? Konon katanya mereka adalah orang yang terlatih, hingga mesti berpakaian lengkap? Padalah masyarakat BIMA tidak mengapa-apa, mereka hanya menuntut hak-hak mereka yang dirugikan, tapi mereka harus menerima akibat dari aksi protes ini dengan melangnya nyawa dua orang warga. Tetap saja warga menerima “kekalahan”, sementara tuntutan atas hak-hak mereka belum di tanggapi. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini sebuah pelanggaran HAM?

Barangkali sebuah kajian baru dalam Ilmu politik yang berfungsi menjelaskan kehidupan politik apa adanya, serta memberikan penjelasan secara sistematis mengenai kenyataan-kenyataan dan jalanya peristiwa-peristiwa politik dalam masyarakat. Setelah kasus demikasu berhadapan dengan penegak perlu juga pengkajian yang mendalam. Mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan politik konservatif sehingga ada kemungkina baru untuk berdalai dari semua persoalan. Maka, penjelasan secara sistematis ini cenderung berbelot arah disebabkan karena adanya penyimpanga dalam penggunaan jabatan yang bersifat otonom. 

Menurut saya, kita belumlah siap secara praktisnya bagaimana penerintahan yang otonom yang sesuai dengan betang tubuh undang-undang dasar 45. Mungkin secara tekstual kita telah mampu, tetapi dalam paktiknya kita tidak mampu bersaing demi masyarakat banyak akan hak-hak mereka. Sehingga,  pemerintah yang otomomi yang di atur oleh pemerintah daerah dan semua kebijakan dilakukan dan dikerjakan oleh pemerintah daerah maka keputusan dari pemerintah pusat menjadi terputus. Akibatnya rakyat dirugikan hak-haknya secara politis. Ini lah menurut saya pemerintahan yang otomomi sebaiknya dibubarkan, kalau kita tidak siap menjalankannya secara prakteknya maka di pendingdululah sistim pemerintahan yang otonomi itu yang berdampak pada social control masyarakat agar lebih maju.

Belakangan ini sosiologi mulai meragukan validitas teori system organic dan dikotomi statika dan dinamika sosial. Sehingga, interaksi antar individu tidak menungkinkan. Apa sebenarnya yang telah terjadi ditengah masyarakat kita hari ini? Apakah ini di sebabkan oleh teterbelakanga pendidikan dan intelektualitas masyarakatnya? Menurut Piotr Sztompka (2004:8-9) ada dua kecenderungan intelektual yang menonjol; Pertama, penekanan pada kualitas dinamis, realitas social yang dapat menyebar keseluruh arah yakni masyarakat dalam bergerak (berproses). Kedua, tidak memperlakukan masyarakat (kelompok, organisasi) sebagai sebuah obyek dalam arti menyankal konkretisasi  (concretization) realitas sosial. Pandangan hidup seperti inilah menurut saya akan mendapat tempat atas hak-hak yang dalam perlindungan secara hokum masyarakat dalam realitas social. 

Pandanyan hidup seperti ini yang beridiologi pada Pancasila yang Bhineka Tunggal Ika menjadi pengting bagi bangsa Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan itu jugalah yang kita harapkan, baik kemerdekan dalam pendidikan, merdeka dalam berpendapat, dan merdeka atas hak-hak baik individu maupun kelompok sehingga kemerdekaan  tidak berevolusi kepada kemerdekaan yang kerdil.

Dalam Teorievolusi awal sepeti Comte, Spenser dan Durkheim menganut pandangan bahwa proses kemajuan berbentuk garis lurus, kemajuan pikiran dan diperensiasi structural merupaka pembagian etos kerja yang berkelanjutan secara linear, dan merevolusi merupakan lompatan kemajuan besar. Maka kemajuan itu sendiri didukung oleh kemajuan pola pikir yang sehat sehingga anggapan maunisa secara naluriah adalah jahat yang di dorong oleh keadaan kebuasan primitive akan terbantahkan. Jika tidak, pembagian etos kerja yang berkelanjutan dan berevolusi pada kemajuan pikiran.

Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrok atara tradisi yang satu dengan yang lainnya. Bentrokan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau kultur masyarakat yang merupakan budaya masyarakat setempat. Sehingga penting bagi kita untuk mengevaluasi dari berbagai aspek tatanan social kemasyarakatan hingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran (HAM) yang merugikan hak-hak masyarakat banyak.

PROPAGANDA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang

Awal mulanya Jepang menginjakkan kakinya ke bumi Indonesia yang kaya dengan rempah-rempah menjadi daya tarik tersendiri bagi mental para penjajah.  Jepang masuk pada awal tahun 1942 di Tarakan Kalimantan Barat.  Kemudian, Jepang menguasai Indonesia bagian Timur, setelah itu barulah Jepang  kemudian menyisir kepantai barat daya dan menguasai samarinda II kemudian pulau Jawa dan Sumatera.  Setelah Indonesia dikuasai oleh Jepang barulah setelah itu Jepang berupaya mendekati masyarakat demi kepentingan Asia Timur Raya yang menjadi iming-iming untuk rakyat Indonesia dengan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia. Iming-iming tersebut dilakukan tidak lain hanyalah demi menjalankan misi Tiga A sebagai jalur propaganda Jepang untuk mendekati rakyat Indonesia. Berbagai pendekatan dilakukan Jepang untuk mengelabui hati rakyat dengan cara politik “mengambil hati” rakyat Indonesia. 

Untuk mengambil sipatik dari rakyat Indonesia,  pemerintah Jepang mula-mula bersikap lunak dan memberi hati kepada rakyat Indonesia, tepi akhirnya berlawanan dengan apa yang dijanjikan oleh pemerintah meliter Jepang. Memang awal mulanya Jepang melakukan kerja sama dengan Indonesia demi kepentingan Asia Timur Raya, dan  untuk merealisasikan kerjasama tersebut, Jepang memdirikan organisasi yang bernama Gerakan Tiga A dengan semboyan “ Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon  Cahaya Asia”. Organisasi ini dibentuk April 1942 dengan maksud mengkonsilidasi rakyat guna melawan perperangan dengan kolonial secara bersama-sama dengan Jepang. 

Pendekatan yang dilakukan dengan cara politik “mengambil hati” rakyat ini yang sangat fundamental. Maka, pada sisi lain Jepang mencoba untuk melakukan propaganda demi kepentingan Nippon pelindung Asia, Nippon cahaya Asia dan Nippon pemimpin Asia. Mamang, Jepang dalam propagandanya mengutarakan bahwa pada suatu saat tentara Jepang akan membantu bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Pasukan Jepang akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajah. Untuk itu berbagai cara telah dilakukan oleh Jepang untuk mengambil simpatik dari yakat Indonesia.  Hal ini ternyata bagi Jepang belum berhasil. Maka, Jepang berbelot arah pada politik konserpatifnya yang  part exselen untuk melakukan perlawanan dengan kolonial dan para sekutunya. Sehingga dalam hati rakyat Indonesia tertanam kebencian yang mendalam terhadap kolonial dan sekutunya.  Apa yang diinginkan Jepang sesungguhnya terhadap rakyat Indonesia?

Melihat pada kondisi perperangang antara Jepang dan Belanda dilakukan secara kilat, Jepang telah mengusir kolonial Belanda dan sekutunya menambah keyakinan bagi bangsa Indonesia bahwasanya Jepang benar-benar akan memberikan “kemerdekaan” kepada bangsa Indonesia. Apalagi anggapan Jepang bahwa bangsa Indonesia adalah serumpun dengan Asia Timur Raya yang menjadikan Indonesia sebagai saudara muda bagi Negara matahari terbit (Jepang) tersebut. Dan untuk meyakinkan, ditambahkan lagi dengan siaran Radio dari Tokyo setiap sore hari disiarkan lagu Indonesia Raya yang di dengar lansung oleh para pelajar dan rakyat. Sehingga kaum pelajar kala itu sebagian besar sudah diakui dan di anggap sebagai lagu kebangsaannya.  

Dalam siaran itu juga Jepang mengajak rakyat Indonesia untuk bergandengan tangan dan bersama-sama melawan kolonial Belanda. Kemudian Jepang juga memberikan janji-janji seperti para politisi hari ini, seperti: ketika Jepang berada di Indonesia harga barang-barang dan keperluan sehari-hari murah (dibeli dan didapatkan). Jepang juga membandingkan bahwa konial belada ketika memasok barang dagangan di kenai biaya cukai dan pajak yang tinggi. Apalagi kalau Jepang menjabat dan menguasai Indonesia pasti semuanya akan lebih murah. Hal ini lah yang ditanamkan Jepang kepada rakyat Indonesia untuk membangkitkan rasa kebencian  mendalam yang mereka jadikan alat dan senjata melawan kolonial bersama-sama Jepang. Ini lah politik “mengambil hati” yang dilakukan Jepang sebagai alat propagandanya.

Berbicara tentang politik “mengambil hati” rakyat Indonesia tidak terselepas pada politik konserpatif dan ekploitasi yang merupakan hal yang di-penting-kan oleh kolonial Jepang. Sehingga pada saat menjalakan misi Tiga A tersebut agaknya lebih mulus dan tidak mendapatkan perlawanan dan kencaman dari rakyat Indonesia. Maka dengan misi Tiga A tersebut mampu menyentuh dan empati rakyat Indonesia bahwa Jepang sebagai “penyelamat” dan satu keturunan dari bangsa Indonesia. Hal ini lah yang kemudian membuat hati rakyat Indonesia merasa lebih dekat dan bersaudara dengan Negara Matahari Terbit sebagai “saudara Tua”. Nah, apakah ini benar adanya bahwa, Negara Indonesia dan Jepang adalah bersaudara? Apakah ini yang diinginkan oleh Jepang sesungguhnya? Mendekatkan tali persadaan antara Indonesia dan Jepang dengan satu tujuan Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia dan Jepang pemimpin Asia? Kalaulah ini benar adanya apa yang membuktikan bahwa Indonesia adalah bersaudara dengan Jepang?

Bagi saya tidak ada yang namanya persaudaraan antara penjajah dengan yang di jajah. Hal ini hanya intimidasi terhadap jajahan untuk kepentingan sepihak dan pamongplase antara keduanya. Barangklisa saja rakyat Indonesia tidak tahu maksud busuk dari penjajah. Mungkin di sebabkan oleh pengaruh kolonialisme Belanda yang mendotrinasi mentalitas rakyat. Sehingga ketika Jepang datang dan akan meberi perubahan, maka dengan sigap Jepang dapat diterima kehadirannya. Apalagi janji-janji manis Jepang yang menggiurkan. Hal ini membuat pemerintah meliter Jepang secara  perlahan-lahan  mulai masuk dan menyusup pada hal-hal yang elementer terhadap organisasi masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah, PSI, PSII, MIAI yang pada saat itu adalah merupakan Federasi Islam terbesar. Namun ormas Islam ini mendapat campur tangan dari meliter Jepang dan pada akhirnya MIAI diganti menjadi MASYUMI oleh pemerintah meliter Jepang. Ini membuktikan bahwa Jepang tidak hanya masuk pada  simtem pemerintahan peninggalan kolonial Belanda tetapi juga ikut campur dalam urusan keagamaan. Bahkan Jepang juga meremajakan dan menghilangkan semua system yang telah ada, dan diganti dengan system pemerintahan militer Jepang yang otoriter.

Sementara, di sisi lain dalam propagandanya, pemerintah meliter Jepang atau Panglima Jepang (Gunseikan) juga mengutarakan misi dari Dai Nippon bahwa Indonesia sebagai “saudara muda” perlu dikasih sayangi. Kemudian memerintah meliter Jepang juga memerikan semboyan Hakhoo Ichiu (satu dunia satu keluarga), sehingga Jepang dengan sendirinya mulai melakukan desentralisasi kekuasaanya. Maka, pada dasaluarsa di siaran radio juga mulai tidak membolehkan adanya pengibaran bendera merah putih melainkan bendera Jepang (Himamura). Dan akhirnya radio juga banyak menayangkan lagu kebangsaan Jepang kemudian para pelajar yang mendengar diperintahkan untuk sujud sebagai penghormatan kepada Kaisar Negara matahari terbit. Apakah hal ini dapat diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia? Apakah yang akan terjadi jika propaganda ini tetap berlanjut?

Sebagai bangsa yang besar dan mayoritas Islam maka umat Islam mulai bersatu dengan satu wadah politik dari gabungan ormas Islam yaitu Masyumi. Rencana Jepang ini adalah untuk memobilisasi umat Islam agar Jepang mudah dalam mengontrolnya. Nah, Indonesia pada saat itu dalam kegamangan dan kekacauan pasca kolonial Belanda. Sehingga dalam system kenegaraan pun telah di ambil alihkan oleh meliter Jepang.  Sebab Jepang telah mewarnai semua system yang telah ada sehingga, semua system birokrasi di bawah tekanan Jepang. Jadi, kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang untuk Indonesia bagaimana bentuk wujudnya? Kemerdekaan apakah yang akan di berikan oleh Jepang ke pada rakyat Indonesia?

Menurut saya, kemerdekaan itu sangat relatifansi pada kehendak bersama yang satu tujuan pada kebebasan mutlak. Kemerdekaan itu bisa di raih oleh setiap orang tanpa tergantung pada siapa pun termasuk pemerintah militer Jepang yang pada masa pendudukannya di Indonesia. Dalam hal ini lah demi cita-cita bersama para tokoh nasionalis memikirkan kembali janji kemerdekaan yang akan diberikan oleh meliter Jepang. Sebab kemerdekaan itu tidak mungkin diberikan begitu saja, tanpa ada perlawanan dan merebutnya dari para penjajah. Melihat dari kondisi arus politik Indonesia saat itu makin memuncak para ormas Islam berupaya melakukan perundingan dengan totok-tokoh nasionalis untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Sehingga dalam tataran ini menurut paham Jepang hal yang paling berpengaruh di Indonesia adalah Ulama, kaum Guru dan Pangreh Praja. Karena ketiga kelompok ini bagi Jepang adalah paling berbahaya bagi eksistensi Jepang. Maka hal ini cepat-cepat diatasi dengan mengumpulkan semua Ulama, para Guru dan Pangreh Praja dalam suatu wadah pelatihan kemeliteran yang induknya adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia ). 

Tidak hanya berhenti di situ saja, para tokoh yang tergabung dalam Masyumi mulai giat melakukan aktifitasnya semenjak dikeluarkannya undang-undang no. 3 tertanggal 20 Maret 1942 oleh pemerintahan Jepang bahwa tidak di perbolehkannya membicarakan pembicaraan tentang pergerakan nasional, masa depan Negara Indonesia, lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera merah putih. Semenjak itu juga para tokoh nasionalis yang membicarakan tentang pergerakan dilakukan penangkapan oleh memerintah Jepang. Ini menunjukan kepada kita bahwa Jepang telah mulai melakukan intimidasi yang sangat keras terhadap tokoh-tokoh dan masyarakat. 

Karena tidak terima dengan pemberlakuan oleh pemerintah Jepang maka para nasionalis seperti Soekarno menentang Jepang dengan mengkritik. Maka Soekarno di penjara karena mengkritik kekuatan fasisme Jepang. Dalam pengasingan Soekarno di Ende ke Bengkulu kemudian dipindahkan di Padang. Kekacauan terus bergulir dimana-mana. Rakyat semakin tertindas. Para tokoh dan nasionalis seperti Soekarno setelah keluar dari pengasinganya di batasi ruang geraknya. Sehingga ia harus melakukan ekstradisisme untuk menggagas kemerdekaan dan merebutnya dari para penjajah. Kerja keras ini diketahui oleh pemerintah meliter Jepang sehinga ia harus dipindahkan termasuk Hatta yang di sebut-sebut sepagai tokoh yang paling berpenganruh, karena latar belakang pendidikan mereka dari barat. Ini lebih menghawatirkan bagi pemerintah Jepang. 

Mengaetahui peristiwa tersebut yang mengancam bagi posisi jepang maka soekarno dan hatta di pindahkan dari negerinya sendiri yaitu ke Tokyo. Perpindahan Soekarno dan Hatta oleh pemerintah meliter Jepang adalah  untuk menghadap Kaisar Jepang sebagai persiapan kemerdekaan sekaligus menimba ilmu ketatanegaraan. Pertanyaannya kenapa mesti Soekarno dan Hatta yang mesti di pindahkan? Apa alasannya? Ada apa dengan Soekarno dan Hatta ini sebenarnya sehingga pemerintah meliter Jepang terlalu khawatir dengan tindak-tanduk mereka berdua yang mengancam eksistensinya Jepang? Siapakah Soekarno dan Hatta?


Wednesday, November 27, 2013

Pendekatan Kontemporer Seni Tradisi

Seolah-olah kita merasa kepala dibentur ke tembok raksasa cina dengan sangat keras. Terkadang kita juga merasa seakan berada di candi Borobudur duduk meditasi pada warisan dunia, atau melayang seperti layang-layang berekor panjang. Hal itulah yang terasa saat ini dengan berbagai polemik di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Namun, benturan yang sangat keras tersebut justru kita tidak pernah merasakan sakit secara harfiah tanpa ada memar yang membekas. 

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,

Jikapun benturan yang keras membuat kepala kita membiru atau memar tentulah sakit yang sangat luar biasa yang mempengaruhi ketenangan kita. Atau pun kita diam seperti orang meditasi dengan khusuk dan tidak mempedulikan hal-hal sekitar. Atau pun kita bereforia dengan melayang tinggi dengan kesombongan yang tidak melihat hal-hal yang terendah dari sisi kehidupan bermasyarakat. Benturan itu mulai terasa karena banyak hal (Sebut saja seni budaya). Kenapa ada hal-hal dan kenapa pula orang-orang bicara tentang hal-hal?

Namun hal itu mulai dikumpulkan dan di garap menjadi sebuah pertunjukan. Dimainkan di atas pentas, dengan materi-materi tentang kehidupan sosial kemasyarakatan. Mengangkat kejadian-kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kemudian di angkat dalam peristiwa panggung. Sehingga terbentuklah pementasan yang di lengkapi dengan setting panggung. Pada mulanya panggung di warnai dengan lampu-lampu yang bewarna. Lampu-lampu yang bewarna tersebut mampu mensugesti penontonnya masuk dalam suasana pentas prosenium dengan penontonnya.

Hal yang pertama yang ingin disampaikan adalah mengenai seni pertunjukan yaitu teater. Teater merupakan peran yang ada dalam interaksi sosial kemudian diangkat dalam realitas panggung, teater tidak hanya sebatas dunia panggung hiburan, tetapi teater dapat memberikan perubahan laku pemainnya sendiri kemudian para penontonnya melalui pesan-pesan yang disampaikan. Kedua memilih berteater. Kemudian timbul pertanyaan baru kenapa berteater? karena berteater adalah pilihan, belajar estetik laku peranan orang lain yang dimainkan dalam proses pengaktualan diri baik di atas pentas maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kenapa pilihannya tidak tari atau sebagai penari, ini juga akan kembali pada pilihan kita atau orangnya. Kemudian pertanyaannya siapa itu penari. Penari adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam menari. Menari-nari adalah orang yang menari, yang telah dikonsep oleh kreografer tari yang tidak latah sebagai penari dalam arti kata tidak meniru tanpa ada pencarian yang lebih mendalam.

Sementara Latah adalah kebiasaan yang diluar nalar dan tidak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dilingkungannya dan “mentah” dalam estetika ruang gerak dalam realitas kehidupan bermasyarakat dengan menentukan arah tindakan kearah yang lebih baik berdasarkan perhitungan. Nah, untuk menyikapi “latah” tersebut maka muncul istilah Kontemporer (kekinian). Ada pembongkaran terhadap sesuatu terhadap ide-ide dan gagasan yang lebih dekat dan akrap dengan kekinian (up to dead).

Pendekatan kontemporer 
Pendekatan kontemporer dengan menyikapinya mengacu pada pemikiran yang personal dan bersifat otonom oleh kreator. Gerak dasar silek laumbek misalnya tidak lagi di pandang sebagai silat tradisi Pariaman, tetapi hanya di pandang sebagai sumber penghasil gerak yang secara jelas dapat dieksplorasi menjadi “tarian”. Salah satu contoh adalah pemeran tokoh malin Deman dan malin Kundang dalam pertunjukan “Tanah Ibu (episode tanah asal)” naskah sutradara Suhendri yang mengeksplorasi laumbek pada personifikasi dramatik emosi pemain yang di pentaskan di teater utama taman budaya november 2012 lalu.

Penafsiran kembali dari sesuatu yang sudah, untuk diwujudkan dalam penggarapan yang utuh oleh kreator kemudian mewujudkannya kedalam bentuk yang baru. Gerak yang dimainkan dalam bentuk yang ada dihayati, diresapi esensinya, kemudian diimajinasikan dan dicari kemungkinannya untuk diolah menjadi gerak tubuh yang baru bagi aktornya. Sesuatu yang sudah ada ini diolah dan diaktualisasikan (direalisasikan) dalam bentuk wajah yang berbeda-beda dengan bentuk asalnya. Inilah yang di sebut tafsiran kontemporer.

Fakta kontemporer kehidupan “negative” seni pertunjukan di minangkabau. Ada berberapa hal yang perlu kita cermati bersama bahwasanya nilai budaya yang makin menurun dari pertumbuhannya. Seni tradisi tidak dinikmati oleh masyarakatnya melainkan oleh orang-orang tertentu. Misalkan seni tradisi ditampilkan dalam acara-acara resmi kepemerintahan atau pun acara-acara resmi lainnya. Kenapa seni tradisi tidak lagi tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan gelanggangnya? kenapa hal ini bisa terjadi?

Tradisi seni merupakan bagian dari kehidupan harian masyarakat nagari-nagari yang menyelingi rutinitas pekerjaan di ekonomi pertanian. Bertolak pada sejarah bawasanya kesenian itu tumbuh di tengah masyarakat adalah peristiwa anak nagari. Sepulang mereka bekerja dan bertani baru mereka berkesenian. Padi manguniang jaguang mangupiah. Ini lah yang di lakukan oleh orang terdahulu untuk proses keseniannya. Sebut saja “Tari Panen” yang bercerita tentang proses menyabit padi, “tari piriang” syukuran setelah panen kemudian randai yang mempunyai pesan-pesan dan cerita.

Proses pelestarian nilai budaya melalui penyampaian dan ajaran langsung dari tetua adat masyarakat mendapat kaba, cerita rakyat, gurindam, dan anggota masyarakat akan mengalami transmisi nilai budaya dan apresiasi terhadap berbagai ajaran sosial yang diungkapkan dalam pertunjukan.
Secara asumtif, kesenian merupakan elemen dalam kebudayaan terintegrasi sebagai sumber nilai estetis, ekspresif, kognitif dan hasrat serta emosi (passion). Maka nilai-nilai yang terkandung didalamnya adalah jiwa kebuayaan itu sendiri. Sebut saja budaya pemain atau aktor di atas pentas sebagai medianya.

Actor dan dirinya memiliki pengertian posisi dengan segala perlengkapan dirinya baik secara fisik ataupun non fisik. Proses penciptaan pengkaryaan gerak tubuh aktor atau pemain dipentas yang berpijak dari penggunaan idiom-idiom gerak (silek laumbek) bagi pembentukan dan tubuh aktor berakar tradisi yang bentuk dan struktur tradisi sangat jelas sekali. Namun ide-ide penggarapannya masih berada pada lingkaran-lingkaran gelek silek laumbe yang dikembangkan.

Sebab, aktor media utamanya adalah dirinya sendiri, tubuh dan sukmanya, disana ada panca indera, anggota tubuh, peratan suara atau vocal. Dalam sukma actor ada semangat, kemauan, imajinasi, emosi, daya ingat dan itelegensia. Actor sesegera mungkin melakukan ekplorasi tubuhnya dengan baik dan tidak terhalang oleh pikiran-pikiran takut salah untu berbuat sesuatu. Bukankan keberhasilan itu berawal dari “kesalahan-kesalahan”?

Maka tidak ada salahnya kita perlu memahami ungkapan Soekarnao presiden pertama RI ini bahwa “apa bila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat sesuatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun. Dalam hal ini apa yang di seput “proses kreatif” dengan maksud kebaikan kenapa harus takut dan malu. Maka dalam ajaran agama ditegaskan pula ”sampaikalah olehmu jika satu ayat”. Pesan ini jelas pada tatanan nilai kerja keras tanpa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu kebaikan.

Tugas dan tanggung jawab utama seorang pemeran adalah membawakan peran sesuai dengan persi yang tersedia untuknya, baik yang diarahkan oleh sutradara atau berdasarkan penemuan-penemuan sendiri dari hasil eksplorasi dan latihan yang kontinyu.

Sebagai pemeran ia adalah sebagai penyampai gagasan, pikiran, ide-ide atau opini-opini yang harus disampaikan kepada public (audience). Pada tingkatan tertentu pemeran bisa saja se-imbang dengan Agamawan yang menyampaikan pesan pada umat, seorang Negarawan kepada rakyatnya. Sehingga kedudukannya dalam seni pertunjukan pemain harus mampu menyuarakan pembaharuan-pembaharuan bagi kepentingan kemanusiaan.

Pemainn tidak hanya sekilas sebagai pemeran, tetapi sebagai seniman (kreator) yang bertanggung jawab kepada masyarakat pendudungnya. Sebagai seorang creator ataupun pemain harus mampu mengembangkan imajinasinya, tetapi nalar untuk pencapaian tujuan dan titik tertentu demi kepentingan personifikasi ruang di atas pentas. Maka tolak ukur nalar tidak akan mencapai bentuk dari personifikasi setting di atas pentas sehingga memotret sisi ruang pentas yang lebih imajinatif pada pengamatan penontonnya.

Alber Einstein tokoh filsfat ini membenarkan tentang Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B namun imajinasi membawa anda dari A kemanapun. Jadi, sebagai kreator penting kiranya mengolah imajinasi dengan latihan-latihan yang kreatif dengan cara mengeksplorasi tubuh sebagai media, meng-ekplorasi benda-benda, baik benda mati ataupun benda hidup sebagai pendukung kekuatan pertunjukan dalam pentas.

Pandangan terhadap seni
Secara konseptual, seni atau kesenian merupakan salah satu unsure dalam kehidupan sosial yang tengah memberikan ruang ekspresi dan emosi yang di wujudkan dalam media ekspresi dan penyampai. Media itu sediri adalah tubuh para pelakunya di pentas. Sehingga lebih kominikatif terhadap para penontonnya. Kesenian itu mendapat tempat atau media tersendiri bagi penontonnya. Maka seni itu dapat dinikmati oleh orang banyak dengan ragam sudut pandang.

Meskipun seni itu universal namun tidak sema individu mampu mewujudkannya, oleh karena sifat khasnya membutuhkan percakapan tertentu yang harus dipelajari dan juga di ajari kepada talenta seseorang. Seni dalam tataran sosiologis merupakan media kreatif dan komunikatif dalam intraksi dan integrasi sosial sehingga menjadi saluran ekspresi individu dalam kelompok dan mental kelompok yang cenderung berkaitan dengan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan. Seni adalah realitas yang universal yang spesifik dan ideografis yang berwujud berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain yang dipandang secara eksistensialis.

Secara praktis, profesi seni tidak dapat dilaksanakan secara independen namun bersifat lintas media (cross-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai elemen masyarakat ke masyarakat, seni ini di pandang secara eksitensialis. Maka dalam seni banyak perumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (seolah-olah hidup). Sebagai contoh pertunjukan KSST Noktah “Tanah Ibu (epidod tanah asal”karya/sutradara Syhendri yang banyak memakai simbol-simbol (personifikasi).

Nah, Pertunjukan ini seolah-olah membenturkan kepala kita pada aliran filsafat yang mengajarkan bahwa setiap pengetahuan pada hakikatnya adalah penafsiran belaka yang dapat menajak para penontonnya lebih persuasive dari pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui pertunjukan. Secara praktis, posisi seni tidak dapat dilakukan secara independen, namun bersifat lintas media (ceoss-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai elemen masyarakat dan di tunjang oleh berbagai unsure dalam masyarakat, seperti Agama, teknologi, pendidikan, politik, ekonomi dll. 

Berdasarkan pemahaman ini seni (kesenian) selalu merupakan kajian tak terpisahkan dalam berbagai sendi kehidupan manusaia dan masyarakat pearan kesenian dalam masyarakat adalahan untuk mengekspresikan, menyampaikan dan mewariskan nilai-nilai dalam kebudayaan dan sekaligus untuk melestarikan tradisi. Ada sudut pandang lain tentang seni oleh pakarnya menurut Meriam, 1990 :229 seni dipahami sebagai wujud dari suatu wujud dari suatu bahasa simbolik. Ada ungkapan yang lain dari seni untuk mengatakan sesuatu. Seperti rupa, musik, tari dan teater dengan menggunakan idiom-idiom dan personifikasi dalam seni.

Seni tradisional minangkabau memiliki kekayaan konsep yang kekuatannya berada pada filsafat estetika kauniyah (kosnologi) yang mensisihkan orang minang arif membaca tanda-tanda alam. Alam takambang jadi guru. Membaca tanda-tanda alam yang memungkinkan untuk sebuah kajian ilmu. Samapai-sampai stuktur bangunan rumah gadang bertuah dari alam misalnya. Kenapa tiang rumah gadang miring. Belajar dari kemiringan pohon kelapa dipesir pantai yang menyongsong angin. Kenapa bergonjong dan runcing, konon gonjong tersebut adalah sebagai penakar petir. Dan banyak hal-hal lain yang belum semuanya di tafsirkan.

Nah, dalam hal ini apakah seni itu akan terjadi akulturasi budaya, dalam pemahamannya atau tidak berubah sama sekali. Salah satu aspek perbedaan kultur yang dapat di amati yang mendapat perhatian besar adalah: perilaku non-verbal. Kultur dapat di bedakan dari sinyal non-verbal para anggota sejati, sentuhan, kontak mata, gerak tubuh dan kedekatan (John McLeod:2008:282) maka tidak ada salahnya jika seni di Minagkabau dapat berkembang sesuai dengan kehendak dan analisis yang mendalam bagi kreatornya asalkan tidak keluar dari koredor yang telah di sepakati secara sosial.