Oleh Julnadi Inderapura
Pertanyaan yang
mendasar bagi saya adalah kecenderungan ingin menjadikan sesuatu yang komplit,
sehingga mampu bersaing dengan budaya korup yang merugikan pihak yang terkait.
Budaya korup yang tidak hanya terjadi dalam kaum elit saja tetapi juga terjadi
pada karangan rendah. Akibatnya dari semua aspek birokrasi yang mementingkan
pelayanan masyarakat justru tidak didapatkan oleh masyarakat banyak. Asumsi
saya bahwa sesuatu yang komplit dalam tatanan nilai-nilai social kemasyarakatan
berdampak pada peradaban manusia secara global.
Peradaban
manusia akan menerima globalisasi ini karena tingkat ketergantungan dan
kebersamaan konomi semakin tak terhindarkan,
walaupun kebersamaan ekonomi itu tidak lahir kesejahteraan yang sama. (Todung
mulya lubis : 2005: 78). Maka, globalisasi dapat di terima oleh kalangan masyarakat yang
nonkooperatif, sehingga kehidupan nyata dalam berinteraksi antar sesama mandek,
akibanya pertubuhan ekonomi masyarakat tidak stabil. Orang-orang selalu
menafsirkan globalisasi pada kebebasan individu masyarakat kepada arah lebih
baik dan matang. Adagium seperti ini berimplentasi pada social control masyarakat.
Dalam hal ini
Tudong (2005:
87)
berpendapat ‘Ternyata kita tidaklah bebas dan tidaklah aktif, sehingga dalam setiap kesalahan terhadap para
pelanggar hokum yang membuat kita semakin terkekang. Maka sebagai bangsa yang
merdeka mestinya hak-hak kemerdekaan itu di berikan depada seluruh rakyat.
Untuk mencapai hal yang demikian itu, sebagai bangsa yang besar dan berasaskan
pada Pancasila penting bagi kita mendudukkan “kebebasan beraturan”.
Ahkir-akhir ini
banyak persoalan yang semakin rumit untuk di mengerti. Persoalan itu terkesan
tidak manusiawi. Kasus demi kasus telah didepan mata. Pertumpahan darah
dimana-mana. Pelaku kejahatan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Semua
persoalan dilimpahkan pada yang pemerintah setempat katakalah pemerintahan yang
otomom. Sehingga apapun kondisi dan situasinya dapat di tindak lanjuti oleh
pemerintah setempat dengan berbagai cara yang merugikan masyarakat banyak dan
juga sebuah pelanggaran (HAM) atas hak-hak.
Menurut Todung
Mulya Lubis (2005: 173) Indonesia masa depan membutuhkan reformasi total agar
kita bisa mempunyai kehidupan yang transparant, fair, dan accountable.
Perlu ada clean and healtly gevernment. pandangan ini justru mernurut
saya pemerintah terlebih dahulu
mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat, sehingga
tidak terjadi miskomukasi antara pemerintah dan masyarakat atas hak-haknya.
Dalam segala aspek pertumbuhan reformis yng diinginkan untuk perpenuhinya
hak-hak masyarakat yang transparantiv memang tidak dapat secara terpisah di
atara keduanya antara pemerintah dan masyarakat. Akhirnya, reformasi yang
diharapkan merevolisi dalam tatanan nilai-nilai atas hak-hak masyarakat yang
lebih trasparantif, fair, dan eccountable.
Indonesia adalah
bangsa yang besar dan merdeka. Negara
yang berasaskan pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 45. Dalam Batang
Tubuh pembukaan undang-undang dasar tersebut juga mementingkan pada kebebasan
dan hak-hak sehingga dapat mendorong toleransi keberagaman antar nilai-nilai
yang ber-ideologi pada Pancasila. Pertanyaannya apakah ini dapat berjalan
sesuai dengan apa yang di harapkan?
Pandangan hidup
seperti ini menurut William: 1959, cenderung diikat oleh nilai-nilai sehingga
berfungsi sebagai pelengkap nilai-nilai. Sementara idiologi merupakan
pembenaran intelektual terhadap norma-norma. unsur-unsur yang digunakan, atau
unsure yang digunakan sebagai dasar suatu kegiatan. Intelektualitas kita apatis
akibat kekangan atas hak-hak yang dilakukan oleh pemerintah akibatnya
kemerdekan itu tidak di miliki oleh masyarakat, apalagi intervensi oleh
pemerintahan yang otonomi, dan kebijkan yang akan diambil pun dari pemerintahan
yang otonom.
Dalam Terori-teorikonservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat,
dimotifasikan oleh naluri dan implus yang rendah, dan senantiasa siap untuk
berbalik kepada keadaan kebuasan primitive. (Maurice Duverger: 2003:163) teori
ini menjelaskan bahwa” kita” secara alami adalah “ jahat” dalam tatanan bermasyarakat. Secara birokrasi dalam
kepemerintah mungkin saja pendapat Duverger ini benar. Tetapi dalam tatanan
social kemasyarakatan individu lebih penting sehingga terjadilah pelanggaran
HAM tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya apakah kita semua adalah jahat?
Atau perkerja system perintahan kita yang jahat?
Dalam
kenyataannya kebuasan primitive justru mendapat tempat tersendiri bagi para
pskopat yang hobinya “membunuh” tanpa mempertimbangkan hak-hak orang lain.
Apakah manusia secara naluriahnya adalah jahat sehingga hak-hak orang lain bisa
kita rampas. Ini menurut saya adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh oknum
dan aparat pemerintah? Padahal sebelum mereka diangkat dan menerima jabatan
mereka disumpah yang dikenal dengan Sumpah Jabatan. Bersumpah bahwasanya mereka
mesti memperlakukan jabatanya sebagaimana mestinya melayani, melindungi dan
mengayomi masyarakat. Tetapi sumpah dan janji itu tidak terpenuhi dan tidak di
tepati.
Ini lah
mentalitas para pejabat dan aparat pemerintah, saya ikut prihatin atas aksi
berdarah yang menewaskan dua orang warga dalam Aksi solidaritas BIMA sebagai
kasus yang diperbincangkan. Mereka berorasi demi mempertahankan hak-hak mereka
yang dirugikan dan mereka melakukan aksi pemblokiran jalan. Hanya sekedar
pemblokiran jalan sebagai protes dari warga masyarakat setempat. Tetapi, dalam
pembubarannya yang dilakukan dalam aksi masyarakat tersebut mementingkan
pihak-pihak yang terkait. Kalaulah pemerintah bijak dalam menyamanan tentang
aksi ini, aparat justru tidak melakukan perlawanan serta tidak memancing stigma
masyarakat dalam melakukan aksinya. Aksi pembokiran jalan ini dilakukan adalah
bentuk ketiak perhatian masyarakat atas hak-hak masyarakat yang dirugikan.
Sebalikanya,
jika aparat yang katanya “mengamankan” aksi kenapa mesti dengan berpakaian
lengkap seperti hendak perang dengan warga? Ini diluar dugaan saya kenapa
aparat mesti takut berhadapat dengan rakyat? Konon katanya mereka adalah orang
yang terlatih, hingga mesti berpakaian lengkap? Padalah masyarakat BIMA tidak
mengapa-apa, mereka hanya menuntut hak-hak mereka yang dirugikan, tapi mereka
harus menerima akibat dari aksi protes ini dengan melangnya nyawa dua orang
warga. Tetap saja warga menerima “kekalahan”, sementara tuntutan atas hak-hak
mereka belum di tanggapi. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini sebuah
pelanggaran HAM?
Barangkali
sebuah kajian baru dalam Ilmu politik yang berfungsi menjelaskan kehidupan
politik apa adanya, serta memberikan penjelasan secara sistematis mengenai
kenyataan-kenyataan dan jalanya peristiwa-peristiwa politik dalam masyarakat.
Setelah kasus demikasu berhadapan dengan penegak perlu juga pengkajian yang
mendalam. Mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan politik konservatif
sehingga ada kemungkina baru untuk berdalai dari semua persoalan. Maka,
penjelasan secara sistematis ini cenderung berbelot arah disebabkan karena
adanya penyimpanga dalam penggunaan jabatan yang bersifat otonom.
Menurut saya,
kita belumlah siap secara praktisnya bagaimana penerintahan yang otonom yang sesuai
dengan betang tubuh undang-undang dasar 45. Mungkin secara tekstual kita telah
mampu, tetapi dalam paktiknya kita tidak mampu bersaing demi masyarakat banyak
akan hak-hak mereka. Sehingga,
pemerintah yang otomomi yang di atur oleh pemerintah daerah dan semua
kebijakan dilakukan dan dikerjakan oleh pemerintah daerah maka keputusan dari
pemerintah pusat menjadi terputus. Akibatnya rakyat dirugikan hak-haknya secara
politis. Ini lah menurut saya pemerintahan yang otomomi sebaiknya dibubarkan,
kalau kita tidak siap menjalankannya secara prakteknya maka di pendingdululah
sistim pemerintahan yang otonomi itu yang berdampak pada social control
masyarakat agar lebih maju.
Belakangan ini
sosiologi mulai meragukan validitas teori system organic dan dikotomi statika
dan dinamika sosial. Sehingga, interaksi antar individu tidak menungkinkan. Apa
sebenarnya yang telah terjadi ditengah masyarakat kita hari ini? Apakah ini di
sebabkan oleh teterbelakanga pendidikan dan intelektualitas masyarakatnya? Menurut
Piotr Sztompka (2004:8-9) ada dua kecenderungan intelektual yang menonjol; Pertama,
penekanan pada kualitas dinamis, realitas social yang dapat menyebar keseluruh
arah yakni masyarakat dalam bergerak (berproses). Kedua, tidak
memperlakukan masyarakat (kelompok, organisasi) sebagai sebuah obyek dalam arti
menyankal konkretisasi (concretization)
realitas sosial. Pandangan hidup seperti inilah menurut saya akan mendapat
tempat atas hak-hak yang dalam perlindungan secara hokum masyarakat dalam
realitas social.
Pandanyan hidup
seperti ini yang beridiologi pada Pancasila yang Bhineka Tunggal Ika menjadi
pengting bagi bangsa Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan itu jugalah yang kita
harapkan, baik kemerdekan dalam pendidikan, merdeka dalam berpendapat, dan
merdeka atas hak-hak baik individu maupun kelompok sehingga kemerdekaan tidak berevolusi kepada kemerdekaan yang
kerdil.
Dalam Teorievolusi awal sepeti Comte, Spenser dan Durkheim menganut pandangan bahwa proses
kemajuan berbentuk garis lurus, kemajuan pikiran dan diperensiasi structural
merupaka pembagian etos kerja yang berkelanjutan secara linear, dan merevolusi
merupakan lompatan kemajuan besar. Maka kemajuan itu sendiri didukung oleh
kemajuan pola pikir yang sehat sehingga anggapan maunisa secara naluriah adalah
jahat yang di dorong oleh keadaan kebuasan primitive akan terbantahkan. Jika tidak,
pembagian etos kerja yang berkelanjutan dan berevolusi pada kemajuan pikiran.
Perubahan
tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrok atara tradisi yang satu
dengan yang lainnya. Bentrokan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau
kultur masyarakat yang merupakan budaya masyarakat setempat. Sehingga penting
bagi kita untuk mengevaluasi dari berbagai aspek tatanan social kemasyarakatan
hingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran (HAM) yang merugikan hak-hak
masyarakat banyak.
No comments:
Post a Comment