Saturday, December 7, 2013

PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGY




Oleh Julnadi Inderapura
Pertanyaan yang mendasar bagi saya adalah kecenderungan ingin menjadikan sesuatu yang komplit, sehingga mampu bersaing dengan budaya korup yang merugikan pihak yang terkait. Budaya korup yang tidak hanya terjadi dalam kaum elit saja tetapi juga terjadi pada karangan rendah. Akibatnya dari semua aspek birokrasi yang mementingkan pelayanan masyarakat justru tidak didapatkan oleh masyarakat banyak. Asumsi saya bahwa sesuatu yang komplit dalam tatanan nilai-nilai social kemasyarakatan berdampak pada peradaban manusia secara global.

Peradaban manusia akan menerima globalisasi ini karena tingkat ketergantungan dan kebersamaan  konomi semakin tak terhindarkan, walaupun kebersamaan ekonomi itu tidak lahir kesejahteraan yang sama. (Todung mulya lubis : 2005: 78). Maka, globalisasi dapat di terima oleh kalangan masyarakat yang nonkooperatif, sehingga kehidupan nyata dalam berinteraksi antar sesama mandek, akibanya pertubuhan ekonomi masyarakat tidak stabil. Orang-orang selalu menafsirkan globalisasi pada kebebasan individu masyarakat kepada arah lebih baik dan matang. Adagium seperti ini berimplentasi pada social control masyarakat.

Dalam hal ini Tudong (2005: 87) berpendapat ‘Ternyata kita tidaklah bebas dan tidaklah aktif, sehingga dalam setiap kesalahan terhadap para pelanggar hokum yang membuat kita semakin terkekang. Maka sebagai bangsa yang merdeka mestinya hak-hak kemerdekaan itu di berikan depada seluruh rakyat. Untuk mencapai hal yang demikian itu, sebagai bangsa yang besar dan berasaskan pada Pancasila penting bagi kita mendudukkan “kebebasan beraturan”.

Ahkir-akhir ini banyak persoalan yang semakin rumit untuk di mengerti. Persoalan itu terkesan tidak manusiawi. Kasus demi kasus telah didepan mata. Pertumpahan darah dimana-mana. Pelaku kejahatan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Semua persoalan dilimpahkan pada yang pemerintah setempat katakalah pemerintahan yang otomom. Sehingga apapun kondisi dan situasinya dapat di tindak lanjuti oleh pemerintah setempat dengan berbagai cara yang merugikan masyarakat banyak dan juga sebuah pelanggaran (HAM) atas hak-hak. 

Menurut Todung Mulya Lubis (2005: 173) Indonesia masa depan membutuhkan reformasi total agar kita bisa mempunyai kehidupan yang transparant, fair, dan accountable. Perlu ada clean and healtly gevernment. pandangan ini justru mernurut saya  pemerintah terlebih dahulu mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat, sehingga tidak terjadi miskomukasi antara pemerintah dan masyarakat atas hak-haknya. Dalam segala aspek pertumbuhan reformis yng diinginkan untuk perpenuhinya hak-hak masyarakat yang transparantiv memang tidak dapat secara terpisah di atara keduanya antara pemerintah dan masyarakat. Akhirnya, reformasi yang diharapkan merevolisi dalam tatanan nilai-nilai atas hak-hak masyarakat yang lebih trasparantif, fair, dan eccountable.

Indonesia adalah bangsa yang besar dan  merdeka. Negara yang berasaskan pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 45. Dalam Batang Tubuh pembukaan undang-undang dasar tersebut juga mementingkan pada kebebasan dan hak-hak sehingga dapat mendorong toleransi keberagaman antar nilai-nilai yang ber-ideologi pada Pancasila. Pertanyaannya apakah ini dapat berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan? 

Pandangan hidup seperti ini menurut William: 1959, cenderung diikat oleh nilai-nilai sehingga berfungsi sebagai pelengkap nilai-nilai. Sementara idiologi merupakan pembenaran intelektual terhadap norma-norma. unsur-unsur yang digunakan, atau unsure yang digunakan sebagai dasar suatu kegiatan. Intelektualitas kita apatis akibat kekangan atas hak-hak yang dilakukan oleh pemerintah akibatnya kemerdekan itu tidak di miliki oleh masyarakat, apalagi intervensi oleh pemerintahan yang otonomi, dan kebijkan yang akan diambil pun dari pemerintahan yang otonom.

Dalam Terori-teorikonservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotifasikan oleh naluri dan implus yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitive. (Maurice Duverger: 2003:163) teori ini menjelaskan bahwa” kita” secara alami adalah “ jahat” dalam tatanan  bermasyarakat. Secara birokrasi dalam kepemerintah mungkin saja pendapat Duverger ini benar. Tetapi dalam tatanan social kemasyarakatan individu lebih penting sehingga terjadilah pelanggaran HAM tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya apakah kita semua adalah jahat? Atau perkerja system perintahan kita yang jahat? 

Dalam kenyataannya kebuasan primitive justru mendapat tempat tersendiri bagi para pskopat yang hobinya “membunuh” tanpa mempertimbangkan hak-hak orang lain. Apakah manusia secara naluriahnya adalah jahat sehingga hak-hak orang lain bisa kita rampas. Ini menurut saya adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh oknum dan aparat pemerintah? Padahal sebelum mereka diangkat dan menerima jabatan mereka disumpah yang dikenal dengan Sumpah Jabatan. Bersumpah bahwasanya mereka mesti memperlakukan jabatanya sebagaimana mestinya melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat. Tetapi sumpah dan janji itu tidak terpenuhi dan tidak di tepati.

Ini lah mentalitas para pejabat dan aparat pemerintah, saya ikut prihatin atas aksi berdarah yang menewaskan dua orang warga dalam Aksi solidaritas BIMA sebagai kasus yang diperbincangkan. Mereka berorasi demi mempertahankan hak-hak mereka yang dirugikan dan mereka melakukan aksi pemblokiran jalan. Hanya sekedar pemblokiran jalan sebagai protes dari warga masyarakat setempat. Tetapi, dalam pembubarannya yang dilakukan dalam aksi masyarakat tersebut mementingkan pihak-pihak yang terkait. Kalaulah pemerintah bijak dalam menyamanan tentang aksi ini, aparat justru tidak melakukan perlawanan serta tidak memancing stigma masyarakat dalam melakukan aksinya. Aksi pembokiran jalan ini dilakukan adalah bentuk ketiak perhatian masyarakat atas hak-hak masyarakat yang dirugikan.

Sebalikanya, jika aparat yang katanya “mengamankan” aksi kenapa mesti dengan berpakaian lengkap seperti hendak perang dengan warga? Ini diluar dugaan saya kenapa aparat mesti takut berhadapat dengan rakyat? Konon katanya mereka adalah orang yang terlatih, hingga mesti berpakaian lengkap? Padalah masyarakat BIMA tidak mengapa-apa, mereka hanya menuntut hak-hak mereka yang dirugikan, tapi mereka harus menerima akibat dari aksi protes ini dengan melangnya nyawa dua orang warga. Tetap saja warga menerima “kekalahan”, sementara tuntutan atas hak-hak mereka belum di tanggapi. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini sebuah pelanggaran HAM?

Barangkali sebuah kajian baru dalam Ilmu politik yang berfungsi menjelaskan kehidupan politik apa adanya, serta memberikan penjelasan secara sistematis mengenai kenyataan-kenyataan dan jalanya peristiwa-peristiwa politik dalam masyarakat. Setelah kasus demikasu berhadapan dengan penegak perlu juga pengkajian yang mendalam. Mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan politik konservatif sehingga ada kemungkina baru untuk berdalai dari semua persoalan. Maka, penjelasan secara sistematis ini cenderung berbelot arah disebabkan karena adanya penyimpanga dalam penggunaan jabatan yang bersifat otonom. 

Menurut saya, kita belumlah siap secara praktisnya bagaimana penerintahan yang otonom yang sesuai dengan betang tubuh undang-undang dasar 45. Mungkin secara tekstual kita telah mampu, tetapi dalam paktiknya kita tidak mampu bersaing demi masyarakat banyak akan hak-hak mereka. Sehingga,  pemerintah yang otomomi yang di atur oleh pemerintah daerah dan semua kebijakan dilakukan dan dikerjakan oleh pemerintah daerah maka keputusan dari pemerintah pusat menjadi terputus. Akibatnya rakyat dirugikan hak-haknya secara politis. Ini lah menurut saya pemerintahan yang otomomi sebaiknya dibubarkan, kalau kita tidak siap menjalankannya secara prakteknya maka di pendingdululah sistim pemerintahan yang otonomi itu yang berdampak pada social control masyarakat agar lebih maju.

Belakangan ini sosiologi mulai meragukan validitas teori system organic dan dikotomi statika dan dinamika sosial. Sehingga, interaksi antar individu tidak menungkinkan. Apa sebenarnya yang telah terjadi ditengah masyarakat kita hari ini? Apakah ini di sebabkan oleh teterbelakanga pendidikan dan intelektualitas masyarakatnya? Menurut Piotr Sztompka (2004:8-9) ada dua kecenderungan intelektual yang menonjol; Pertama, penekanan pada kualitas dinamis, realitas social yang dapat menyebar keseluruh arah yakni masyarakat dalam bergerak (berproses). Kedua, tidak memperlakukan masyarakat (kelompok, organisasi) sebagai sebuah obyek dalam arti menyankal konkretisasi  (concretization) realitas sosial. Pandangan hidup seperti inilah menurut saya akan mendapat tempat atas hak-hak yang dalam perlindungan secara hokum masyarakat dalam realitas social. 

Pandanyan hidup seperti ini yang beridiologi pada Pancasila yang Bhineka Tunggal Ika menjadi pengting bagi bangsa Indonesia yang merdeka. Kemerdekaan itu jugalah yang kita harapkan, baik kemerdekan dalam pendidikan, merdeka dalam berpendapat, dan merdeka atas hak-hak baik individu maupun kelompok sehingga kemerdekaan  tidak berevolusi kepada kemerdekaan yang kerdil.

Dalam Teorievolusi awal sepeti Comte, Spenser dan Durkheim menganut pandangan bahwa proses kemajuan berbentuk garis lurus, kemajuan pikiran dan diperensiasi structural merupaka pembagian etos kerja yang berkelanjutan secara linear, dan merevolusi merupakan lompatan kemajuan besar. Maka kemajuan itu sendiri didukung oleh kemajuan pola pikir yang sehat sehingga anggapan maunisa secara naluriah adalah jahat yang di dorong oleh keadaan kebuasan primitive akan terbantahkan. Jika tidak, pembagian etos kerja yang berkelanjutan dan berevolusi pada kemajuan pikiran.

Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrok atara tradisi yang satu dengan yang lainnya. Bentrokan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau kultur masyarakat yang merupakan budaya masyarakat setempat. Sehingga penting bagi kita untuk mengevaluasi dari berbagai aspek tatanan social kemasyarakatan hingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran (HAM) yang merugikan hak-hak masyarakat banyak.

No comments:

Post a Comment