Pandai Besi (apa besi) SRG 101 berdiri sejak zaman Belanda tetap bertahan
hingga saat sekarang. Sebab, peminatnya masih banyak terutama dari daerah. SRG
101 masih mampu bersaing dengan produksi pabrikan.
Laporan : Julnadi Inderapura
Laporan : Julnadi Inderapura
Rabu, 18 Maret 2015 Siang itu cuaca
cerah. Matahari seakan berada di ubun-ubun. Kendaraan silih berganti melewati
jalan kopi tersebut. Kendaraan yang lalu lalang dengan knalpon di selingi bunyi
klason menambah keramaian.
Siang itu, itu Penulis berkunjung di
bengkel "Apa Basi SRG 101". Apa Basi tersebut
berada di depan pasar Alai di jalam kopi, Alai Parak Kopi. Tempat strategis dan
mudah di akses. Bengkel yang sederhanya tanpa dinding dan hanya mempunyai atap
untuk berteduh. Di bengkel tersebut Pardi, 51, dan dua orang rekannya Sam, 60,
dan Bojek, 53, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.
Di sela-sela kesibukan Pardi, 51,
memukul besi panas itu, ia bercerita banyak tentang "Apa Basi" tempat
bekerjanya. Pukulan besi panas tersebut menimbulkan bunyi yang dinamis dan enak
terdengar.
Setelah selesai memukul besi panas
yang siap di bakar tersebut kemudian di bakar kembali. Segitulah seterusnya
sampai pada tahap akhir dan asahan. Disela pembakaran besi yang akan di pukul
dan di bentuk sebsuai dengan kebutahan Pardi menyebutkan, Apa Basi ini telah
berumur puluhan tahun. Sejak awal Apa Basi ini ada telah di kenal dengan nama
SRG 101 dan telah ada sejak zaman belanda. "Saat ini pembuatan telah masuk
generasi keempat, sehingga untuk penamaannya pun dipakai istilah lama dari
turun temurun," sebutnya sembari menyeduhkan teh yang telah disiapkan
sebelumnya.
Pria yang memiliki dua orang anak
itu mengaku bengkel tempat bekerja tersbut merupakan Pengrajin besi untuk
pembuatan pisau, parang, sabit, pahat, kapak dan sebagainya. "Untuk
pembuatan dan pembelajarannya lebih dari satu tahun belum tentu akan mahir
dalam pembuatannya. Sebab, pembuatannya secara bersamaan dan serentak. Sebab,
untuk memukul besi tersebut harus sesuai dengan permintaan orang yang
menjepitnya. Jadi, dalam pembuatan sabit dua orang untuk memukul dengan martil
agar pipih. Sementara orang menjempit merupakan pengarak pukulan,"aku pria
yang berbaju kemeja putih itu.
Dia mengatakan Pakakeh (peralatan) Apa Basi yang digunakan untuk membuat pisu (sakin), Ladiang (parang), Sabit, adalah martil dengan istilah turun-temurun
di sebut dengan Tapo. Selain itu,
Tapo, adapula caca (pahat) yang
berfungsi untuk pemotongan besi. Caca
ini di bagi pula pada dua macam yakni, Caca
Masak dan Caca Matah (mentah). "Caca masak
digunakan untuk pemotongan besi yang telah merah saat di bakar. Sedangkan caca matah
digunakan untuk memotong besi hitam," sembari memperlihatkan bentuknya.
Kemudian, lanjut, pria berkumis itu,
Paragek (peralatan) yang lain
digunakan dalam pembuatan Apa Basi SRG 101 ada pula Caca Papek (pahat pontong
berbentuk Pipih atau tipis). Selanjutnya Caca
Pamaduang (pahat yang digunakan untuk
membengkokkan besi) Caca Pamaduang ini berfungsi untuk
meningkungkan besi, seperti pada pembuatan Sabit.
"Paniokok (palu) terdiri dari berbagai ukuran. Ada yang berukuran
kecil, yang berat 1 kg ada yang berukukuran besar seberat 5 kg dan tergantung
pada kemampuan kita untuk mengayunkannya. Sapik
(tang) yang digunakan untuk menjempit, kemudian untuk pemegang besi panas
yang telah di bakar, atau mengambilnya dari bara api," katanya.
Disela waktu istrahanya yang
sebentar-sebentar itu, Pardi menyebutkan dari keseluruhan Pakakeh (peralatan) tukang Apa
Basi SRG 101 di tempat ini tidak ada yang
di beli, melainkan pembuatannya hanya di tempat ini dan dipergunakan di tempat
ini pula. "Spesialis produk unggulan Apa
Basi SRG 101 adalah Sabit. Untuk
pembuatan satu buah sabit membutuh kurang lebih satu jam. Terkadang dalam satu
jam bisa selesai dua buah. Tergantung pada kelihaian seseorang dan tergantung
pada pengalaman seseorang untuk pembuatannya. Karena pembuatan sebagai pekerja Apa Basi
harus kerja sama yang baik dan kehati-hatian," sebutnya.
Selanjutkan, setelah besi yang di
pukul berbentuk seperti sabit, kemudian diberikan Pamalelo atau babajo yang
disebut juga dengan "inti". "Besi yang telah pipih (tipis) dan telah berbentuk
(pisau, sabit, parang dan lain-lain) kemudian dilampisi dan diisi agar lebih
tajam. Bahkan boleh dikatakan sepuh yang berfungsi untuk penajaman, saat di
asah, inti tersebutlah yang membuat tajam," katanya sembari menghisap
rokoknya.
Dia mengatakan Pamalelo-nya diberikan sebanyak dua lapis. Kemudian untuk pembuatan
bahan bakunya ada besi bekas seperti permobil. "Untuk permintaan pasar
masih sama dan tidak ada penurunan. Terutama permintaan pasar banyak terdapat
di daerah. Harga Rp130 ribu untuk satu buah sabit yang telah selesai di buat
tetapi belum di asah. Sementara untuk sabit yang siap di asah dijual dengan
harga Rp160 ribu," sebutnya.
Kemudian harga jual tergantung pada
proses pembuatannya yang berbeda. Selain itu, harga juga ditentukan pada
tingkat kesulitannya. "Semakin sulit pembuatannya, semakin tinggi
harganya. Bahan bakar yang digunakan untuk pembakaran besi adalah batu bara.
Dalam produksi pembuataan pisau, parang, sabit dan sebagainya itu, bisa
menghabiskan dua karung batu bara. Batubara tersebut perkarung di jual dengan
harga Rp70 ribu," katanya sambil memegang tangkai martil sebagai penanda
dia akan melanjutkan pekerjaannya.
Dia mengaku meskipun produksi yang
lebih canggih dari pabrik. Namun produksi secara tradiosional terus diminati.
"Dari tahun ketahun tidak ada penurunan peminat. Jika tidak ada peminat
berati usaha ini tidak berjalan. Saat pembakaran peniupan api menggunakan mesin
Blower agar pembakarannya lebih cepat, apinya selalu menyala tinggi,"
akunya
No comments:
Post a Comment