Tuesday, May 3, 2016

Group Indang Tuo Balai Belo Syarat dengan Pesan Agama


Sorak-sorai penonton yang kagum menyaksikan pertunjukan Indang Tuo. Para pemain berkostum warna-warni indah di pandang mata. Meskipun gedung teater Utama Taman Budaya pada Kamis, 28 April 2016 malam itu tidak semua kursi di penuhi penonton. Namun, gedung teater utama tersebut terasa ramai karena apresiasi penonton dalam iven Festival SeniTradisi se Sumatera Barat, Teater Utama UPTD Taman Budaya Sumatera Barat.

Laporan : Julnadi Inderapura, Padang

Goup Indang Tuo Balai Belo
Bunyi musik perkusi, rebana saling tingkah meningkah dengan tempo teratur. Sebelas orang penari masuk di sela wing panggung dengan berbaris membentuk pormasi dan komposisi. Mereka mengarah ketengah panggung menjadi komposisi pangsung yang lebih pas. Mereka duduk bersila saling berdekatan. Sementara, seorang yang di sebut tukang dikia duduk di belakang para pemain yang lain. Pertunjukan tersebut berlangsung kurang lebih 15 menit.

Jeni Aulia Sutan Nurdin pemain Indang Tuo mengatakan bahwa Indang Tuo, merupakan indang yang disampaikan untuk penyebaran agama islam. Indang ini semula berkembang di Aceh, kemudian menyebar nagari Koto Kaciak. Selanjutnya, Nagari Koto Kaciak tersebut termasuk Jorong Balai Belo Kecamatan Tanjuang Raya, Kabupaten Agam.

Namun, meskipun Indang Tuo ini keberadaannya cukup lama dan telah berkembang di Jorong Balai Balo, sejak nenek moyang, tetapi hingga saat ini keberadaan Indang Tuo tersebut belum terlacak siapa nama pembawa Indang Tuo dari Aceh. Selanjutnya, keberadaan Indang Tuo pun tidak di ketahui kapan petama kali diperkenalkan di Jorong Balai Belo Kabupaten Agam.

Ia menyebutkan bahwa Kipas yang terbuat dari kertas warna warni menggambarkan suasana yang dialami setiap orang tidak akan sama. Kipas warna warni tersebut kiasan dari sesuatu perasaan hati seseorang untuk memperjuangkan penyebaran Islam. Suasana sedih, gembira, sulit sekalipun berpadu dalam personifikasi pada kipas yang dimainkan para Indang.

Selanjutnya, dari segi dendang atau berzanji yang disampaikan ada tiga tahapan, yakni dumulai dari gerak tangan pertanda sambah-manyambah. Kemudian, dilanjutkan dengan dendang pembuka Indang Tuo, setelah itu barulah dilanjutkan pengkajian ajaran agama disamaikan dengan cara berdendang lantuanan irama kuno. Usai pengkajian ajaran agama dilanjutkan dengan Indang penutup.

Meskipun indang tersebut terbilang sangat singkat, hanya tiga sub bagian dendang saja, namun untuk penyampaiannya sangat panjang dan bisa memakan waktu berhari-hari untuk pengkajian agama.

Sebelumnya, untuk belajar (pengajian Indang) tersebut biasanya didalami di surau. Namun, saat ini belajar dan berlatih indang memakai fasilitas umum, seperti memanfaatkan sekolah dan juga pesantren. Indang Tuo tersebut disiapkan untuk regenerasi, sesuai permintaan masyarakat bahwa seni tradisi Indang Tuo sempat fakum puluhan tahun. Meskipun pernah fakum pulutahan tahun, tetapi para senimannya masih banyak yang pandai dan berpengalaman.

Diakuinya, bahwa para pemain Indang Tuo tersebut banyak dari orang yang telah tua. Sebab, Indang Tuo telah lama fakum dan baru kembali disemarakan, serta generasi muda masih banyak yang belum pandai. Makanya, para pemain Indang Tuo tersebut dimainkan oleh orang tua.

Ada sebanyak 11 orang pemain Indang Tuo dan satu orang berzanji, badikia atau selawatan. Untuk pemain yang memainkan Indang Tuo harus dengan bilangan ganjil. Asalkan para pemainnya berjumlah dengan bilangan ganjil di perbolehkan. Baik itu sembilan orang, tujuh orang pemain, lima orang pemain tidak ada masalah dan dibolehkan dalam memainkan Indang Tuo. Tapi pada umumnya Indang Tuo banyak dimainkan 11 orang pemain.

Sementara itu, Metrizon Datuak Kayo selaku pembina Group Indang Tuo Balai Belo mengatakan bahwa Indang Tuo telah didapati sejak turun menurun dari nenek moyang. Indang Tuo yang memakai rebana sebagai bunyian, bertujuan untuk ma-imbau (memanggil) orang.

Kemudia, komposisi pemain yang ditampilkan sesuai kebutuhan dan kaya makna. Gerakan-gerakan yang ditampilkan untuk pun memiliki makna dan simbol tersendiri. Komposisi pemain berdiri dan bergoyang, sama halnya suasana hati mereka sedang riang. Hati mereka riang karena penyebaran agama telah barhasil.

Selanjutnya, gerakan duduk dalam porsi duduk rapat atar sesama pemain seraya persaf dan saling mengunci agar tidak ada yang terjatuh ataupun terlempar pada saat melakukan gerakan. Gerakan duduk dipahami sebagai bentuk analogi adab dan tata tertib serta kesopanan. Tertib tersebut seperti tertibnya diwaktu beribadah dalam posisi duduk.

Kemudian, gerakan tidur diartikan beribadah dan berbuat kebaikan dalam kondisi apapun. Misalkan beribadah melaksanakan shalat, dilaksanakan dengan cara berdiri tegak lurus bila mampu. Kemudian, apabila tidak mampu maka melaksanakan dengan cara duduk, bila tidak mampu juga dilaksanakan dengan cara tidur. Sebab, shalat itu wajib dilaksanakan dalam kondisi apapun.

Selanjutnya, media yang dinakan adalah selendang sebagai properti tarian dalam pertunjukan Indang Tuo tersebut. Selendang tersebut dimaknakan sebagai, percampuran budaya dari penyampaian Indang Tuo dengan Adat Minang. Maka, selendang tersebut adalah pakaiannya perempuan minang.

Kemudian, media pendukung lainyanya sebagai properti pertunjukan adalah Kipas warna-warni. Kipas warna-warni tersebut adalah bentuk lika-liku perjalanan Nabi dalam menyebarkan agama Islam. Bagaimana nabi mengembangkan agama islam, tentu banyak tentangan dan rintangan yang dilakui. Selanjutnya, selendang tersebut dalam gerakannya dieksplorasi, mempragakan menjadi sebuah pagar. Artinya, perjuangan menyebarkan agama teramat sulit, namun demi menyampaikan kebenaran dan menyebarkan islam, pagar itu harus di tembus.

Makanya, dalam syair dan Indang tersebut disampaikan dalam bentuk seni. Seperti kisah Siti Ramuna, seorang ibu yang berjuang melawan tatangan dalam perjalanan kebaikan. Hasan Meminum Racun karena mencarian tentang keagamaanya, sebab ia tidak mempelajari ajaran Islam.

Selanjutnya, Indang Tuo tersebut terdapat beberapa unsur, Tari Indang, Tari Kipas, Tari Salendang. Sebab, tari Indang tersebut berasal dari aceh serta memiliki kesamaan. Indang Tuo sendiri di bawa oleh seorang pemuda asal Aceh. Ia orang yang pandai mengaji, kemudian belajar dengan orang minang untuk saling berbagi ilmu dan bertukar pikiran tentang agama islam di Jorong Balai Belo Nagari Koto Kaciak Kecamatan Tanjuang Raya Kabupaten Agam.

Festival Seni Tradisi se Sumatera Barat, Teater Utama UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat, malam itu menampilkan Gandang Tasa dari Kabupaten Agam, kemudian Tari Piriang dari Kabupaten Solok, selanjutnya Alang Suntiang Panghulu dari Kabupaten Agam, Tari Nelayan dari Kabupaten Solok, Sampelong Kabupaten 50 Kota dan Si Jombang Kecapi dari Kabupaten 50 Kota, serta Tari Buai-Buai dari Kota Padang.

No comments:

Post a Comment