Laporan : Julnadi Inderapura
Asrul Datuak Kodo : Basijobang |
Sedangkan siku tangan kanan ditumpu pada lutut kaki sebelah
kiri. Ia duduk seperti duduk seorang pendeka di Ranah Minang. Sementara tangan
kanan mengatur tempo musik perkusi yang dimainkan dengan satu set korek api.
Basijombang menggunakan media korek api sebagai alat musik perkusi.
Ia memang sudah tua, sehingga hela nafasnya sangat keras
terdengar, saat melakukan selisih nafas menyatukan pernafasan dengan (nada
/suara) Dendang (senandung /
nyanyian). Gigi serinya pun telah habis dimakan usia, terlihat saat ia lagi
tertawa. Ia orang yang kocak dan suka bercanda serta mudah akrab dengan siapa
saja. Sesekali ia pun mendekur untuk mengatur suara saat berdendang agar suaranya
tidak sumbang.
Ia bergitu khusuk berdendang serta irama yang dinamis. Ia
memakai cincin besi di jari manis pada jari tangan kanannya. Ia memakai Kopiah (Kopiah / Peci / Topi / tudung
kepala atau Songkok untuk menutup kepala) beludru warna hitam yang bermotif.
Kopiah para datuak-datuak disebagian nagari di Ranah Minang.
Ia berpakaian serta hitam dengan rendo ( motif ) warna kuning dari benang emas. Sementara salempang songket warna biru benang
perak tersangkut di pundaknya, kemudian pinggang diikat dengan kain songket warna merah dan memakai galembong.
Ia tampil Basijobang pada Selasa, 3 Mei 2016 malam di iven
Festival Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 di gedung pertunjukan Manti Manuik
memakai pakaian kebesaran, yakni pakaian Datuak
( Datu : Raja ). Menurut dia, setiap pertunjukan yang dilakukan tidak harus
memakai pakaia datuak. Tidak ada aturan yang mengharuskan berpakaian datuak.
Setiap pertunjukan Basijobang boleh memakai pakaian biasa, asalkan pakaiannya
sopan.
Ia bernama Asrul bergelar Datuak Kodo, merupakan gelar pusako
kaum. Ia kelahiran Sei Tolang Kecamatan Guguak, Kabupaten 50 Kota tahun 1952
lalu. Kini ia telah berumur 64 tahun. Ia saat ini tinggal di simpang Sugiran
Kecamatan Guguak Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Ia dikaruniai dua
orang anak bernama Armiati dan Andrianto dengan isteri pertama Nurbaiti (alm).
Kemudian, ia menikah lagi dengan isterinya yang kedua bernama Neldi Warnis,
namun pernikahan mereka berdua belum dikaruniai anak karena telah tua.
Ia menyebutkan Basijobang telah ada sejak dulu, namun ia
tidak mengetahui kapan tahun persis Basijobang tersebut berada. Tetapi ia
mengenal Basijobang sejak masih kecil, sebab orang tuanya bernama Rasyid
merupakan pemain tradisi Basijobang. Kemudia ia sendiri belajar Basijobang
kepada Munin yang merupakan gurunya. Sementara itu, Munin sendiri merupakan
murid dari Rasyid ayahnya.
Datuak Kodo memainkan empat jenis dendang ( lagu / nyanyian ) Basijobang yang dimainkan. Pertama, dendang Pasambahan, kedua, dendang Sei Tolang, ketiga ( dendang concang ini sendiri terbagi
menjadi dua, yakni dendang concang
Sijobang dan dendang Siana),
keempat, dendang Pariaman ( Daerah Pesisir
Pantai Sumatera Barat ).
Basijobang bercerita tentang kisah Anggun nan Tungga. Apa
alasan dinamakan Basijobang, dikarenakan pemainnya (tukang dendang / penyanyi / orang menyanyi ) hanya sendiri dan
tidak ditemani dengan pemain pendukung lainnya. Oleh karena itu, para tertua
ninik moyang dulu, memberikan nama Basijobang.
Kemudian, nama Basijobang juga dikenal dengan nama lain
seperti Basijontiak, ( menjentik korek
api ). Ada pula daerah lain mengenal Basijombang dengan nama lain yang dikenal
dengan Basitunggao. Istilah ini di
kenal di daerah Koto Nan Ompek dan Koto Nan Godang Kabupaten 50 Kota Sumatera
Barat.
"Urang sorang
banamo tigo, dek ketek basiroman, alah godang banamo sijobang sati, imbaunyo
anggun nan tungga" (orang pada usia kecil memiliki tiga buah nama yang serupa, setelah
dewasa bernama Sijobang Sakti, Panggilannya Anggun Nan Tungga), begitulah ia memberi
istilah pada Basijobang.
Basijobang, bercerita tentang kisah Anggun Nan Tungga, ada
banyak tokoh dalam kisah anggun nan tongga tersebut, seperti Cintopomai,
Sabirullah, Panduko Rajo. Kemudian, Anggun nan Tungga sendiri merupakan cerita
dan kisah asal pesisir pantai, kenapa hal itu berkembang di Payakumbuh. Sementara
di Pesisir Pantai ( Pariaman ) sendiri cerita Anggun nan Tungga tidak begitu
populer dan bahkan banyak yang tidak mengetahuinya.
Hanya saja Rajo Tiko Pariaman semasa itu, dikenal dengan Nan
Tungga Magek Jobang. Jadi, kenapa di darek
( Daerah Pedalaman ) cerita Anggun Nan Tungga justru berkembang. Sebab, Luhak Nan Tigo ini justru telah dibagi
dan memiliki keahlian masing-masing. Luhak
Agam, merupakan ahli bermain Saluang
( musik alat tiup yang terbuat dari bambu ).
Luhak 50 Koto, Payakumbuh
ahli kaba ( kaba : cerita ), sehingga
pada waktu itu banyak seni tradisi yang berkembang seperti Randai ( Randai disebut
juga dengan Teater Rakyat). Randai berkembang di Payakumbuh, karena disana
memiliki keahlian bakaba ( bercerita )
untuk diceritakan dalam seni tradisi Randai. Sementara itu, daerah Pariaman (
asal kaba Anggun Nan Tungga) memiliki keahlian dalam menari.
Ia menceritakan alasan kenapa Basijobang, Basijontiak, Basitunggao, sebagai media alat musiknya
menggunakan korek api. Ia menyebutkan, hal itu disebabkan karena tidak ada alat
musik yang dimainkan untuk mengiringi dendang ( Basijobang ) ketika itu.
Makanya, menggunakan korek api sebagai alat musik bantu sebagai isian dendang.
Menggunakan korek api juga suatu yang telah baru berkembang.
Padahal Basijobang telah ada sejak catuih
api. ( Batu api yang digesek dengan besi disertakan bubuk, sehingga mudah
terbakar. Hal itu cara yang diyakini untuk mendapatkan api ). Tapi dirinya tidak
mengetahui sebelum korek api ada, apa media Basijobang dimainkan untuk isian
dendang. Sebab, Basijobang yang ia kenal telah menggunakan media korek api
sebagai musik isian dendang.
Kemudian, Basijobang juga mengalami perkembangan dengan
menggunakan musik Kecapi ( Alat musik Kecapi Payakumbuh ) sebagai pendukung isia
dendang. Ia mengaku mulai menekuni Basijobang sejak tahun 1970-an. Sehingga,
hasil Basijobang ia kumpulkan untuk berkurban pada hari raya qurban. Ketika
itu, ungkapan orang kampung kepadanya bahwa dengan uang Basijobang ia berqurban,
apakah halal uangnya.
Ia kemudian mencari ulama besar ahli tafsir dan dapat
dipercaya dengan keahlian ilmu dimilikinya untuk bertanya. Kepada ulama
tersebut ia mengaku bahwa dirinya berqurban dari hasil uang nyanyi ( dendang ) Basijobang. Apakah uang yang
didapatkan tersebut dengan cara Basijobang halal atau tidak.
Jika uang yang didapatkan tersebut halal dan tidak
bertentangan dengan hukum agama, maka ia akan melanjutnya. Tatapi apabila uang
yang didapatkan tersebut dengan cara Basijobang, bertentangan dengan agama dan
haram hukumnya, ia berjanji berhenti pada saat itu juga.
Namun, ulama tersebut menyebutkan bahwa tidak ada larangan
dalam agama dan tidak ada pertentangan dalam Islam ( Hukum Islam ). Ia
beralasan bahwa pada saat pemanggilan ke suatu tempat untuk memainkan
Basijobang tentu ada perhitungan ( kesepakatan ) kedua belah pihak terlebih
dulu. Kemudian, diberikan uang karena kemampuan ilmu seni Basijobang yang
dimiliki. Hal itu, menjadi dasar pikiran dan berpijak baginya untuk terus
mempertahankan Basijobang.
Namun, jika hiburan ( Basijobang ) tersebut menyuruh atau
mengajak untuk membuat maksiat, maka penghasilan yang didapatkan tersebut
bertentangan dengan agama dan haram hukumnya. Ulama tersebut menyebutkan, bahwa
dirinya ( Datuak Kodo ) di bayar Jasanya karena kemampuan dan keahlian seni
yang ia miliki. Maka, uang jasa tersebut dibolehkan dalam syariah Islam.
Mendapat pencerahan seperti itu, barulah ia berkomitmen menpertahankan
Basijobang hingga saat ini.
Ia mengakui perjalanan serta pengalaman mentas yang pernah
dijalaninya adalah mentas di taman Ismail Marzuki. Ia mentas saat membawakan
pertunjukan Teater 'Mambakik Batang Tarandam' pada tahun 1984. Ketika itu ia
membuat teater di UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Kemudian pada
tahun 1984, ia mementaskan basijobang di tempat yang sama ( Taman Ismail Marzuki
).
Ia mengakui bahwa untuk pentas Basijobang tersebut boleh
dimainkan pada acara pesta perkawinan, Sunatan Rasul, Syukuran dan doa pergi ke
Makkah. Tetapi yang lebih diutamakan adalah Alek
Penghulu ( Tagak Penghulu :
Pemberian Gelar Penghulu / Raja Kaum / Suku di Minangkabau ). Alek ( pesta ) pengangkatan penghulu ini
ada dua pilihan seni tradisi yang ditampilkan yakni Basijobang atau Randai.
Pada tahun 1975-1990-an pernah mentas setiap malam dan selama satu bulan berturut-turut ia tidak pernah tidur karena banyaknya permintaan untuk memainkan Basijobang. Ia tidak tidur karena banyak mentas keliling, misalnya malam ini Basijobang di Padang, kemudian malam berikutnya di Batu Sankar dan seterusnya hingga satu bulan berturut-turut. Hal itu tidak membawa pengaruh pada dirinya, sebab jika hal tersebut telah terbiasa maka tidak akan membawa dampak apa-pun pada dirinya.
Pada tahun 1975-1990-an pernah mentas setiap malam dan selama satu bulan berturut-turut ia tidak pernah tidur karena banyaknya permintaan untuk memainkan Basijobang. Ia tidak tidur karena banyak mentas keliling, misalnya malam ini Basijobang di Padang, kemudian malam berikutnya di Batu Sankar dan seterusnya hingga satu bulan berturut-turut. Hal itu tidak membawa pengaruh pada dirinya, sebab jika hal tersebut telah terbiasa maka tidak akan membawa dampak apa-pun pada dirinya.
Ia menyebutkan bahwa seni tradisi Minang yang berada di Luhak
nan Tigo, sering dimainkan pada saat malam hari. Seni tersebut dimainkan
setelah waktu shalat Isya sampai waktu Shalat Shubuh. Memainkan ( Basijobang )
untuk satu kisah Anggun Nan Tungga saja tidak selesai hanya satu malam saja.
Sebab, kisah ( cerita ) Anggun nan Tungga sangat panjang.
Untuk menjaga serta merawat Basijobang agar tidak hilang di
tengah masyarakat, Ia sendiri pernah merekam kisah Anggun Nan Tungga di AkademiSeni Karawitan Indonesia ( ASKI ) Padangpanjang saat ini menjadi Institut Seni
Indonesia (ISI) Padangpanjang sebanyak 64 kaset ( episode ). Satu kaset ( episode
) dengan panjang durasi 90 menit. Maka, untuk menguraikan kisah Anggun nan
Tungga tersebut menghabiskan waktu selama 9 hari dan belum bisa terselesaikan.
Konon kabarnya kaset yang telah direkam tersebut telah rusak
dan tidak dapat di putar lagi dengan baik. Suaranya tidak jelas lagi terdengar,
sebab kaset tersebut telah lama tersimpan. Kemudian media pemutarnya pun juga
tidak adalagi sesuai dengan perkembangan teknologi. Kaset tersebut berupa kaset
vidio, tahun 1990-an.
Ia mengakui bahwa pernah ditemui ilmuan dari berbagai negara
untuk penelitian tentang Basijobang. Tamu yang sekaligus datang untuk
mewawancarai asal mula Basijobang. Tamu tersebut diantarnya dari Jerman,
Skotlavia, Ceko, Belanda, datang menemuinya untuk merekam kembali Basijobang
tersebut.
"Ketika orang Jerman datang menemui saya, untuk meneliti
seni tradisi minang Basijobang, namun ada dua orang anak muda menertawakan apa
itu Basijobang. Kok lah punyo awak nde,
ndak tontu de apo Basijobang," katanya dengan suara serak, lalu raut
wajahnya pun berubah. "Astaghfirullah"
ia istighfar mengingat kembali perlakukan generasi saat ini.
Orang Jerman sendiri mengetahui apa itu Basijobang, mereka
sangat mengenal Basijobang, namun pengetahuannya tentang Basijobang melalui
internet dan sosia media (sosmed). Di sosmed banyak membahas Basijobang,
termasuk tentang dirinya yang ditulis oleh penulis. Orang Jerman tersebut
langsung menemuinya dan bertanya banyak tentang Basijobang. Sementara itu,
Basijobang itu sendiri tidak diketahui generasi suda, malahan Basijobang jadi
cemoohan oleh generasi saat ini.
Ia menjadi sedih karena hingga saat ini belum ada generasi
penerus Basijobang yang merupakan seni
tradisi Tuo ( seni tradisi Kuno) dan langka.
Termasuk anaknya sendiri juga tidak ingin belajar Basijobang. Sebab, anaknya
yang laki-laki telah di panggil buya di kampung jadi ia enggan berlajar
Basijobang. Ia sedih karena tidak ada lagi pewaris Basijobang.
Jika dibandingkan dengan orang dari negara luar saja datang
ke Sumatera Barat ( kepadanya ) untuk mencari tahu dan belajar Basijobang.
Namun, generasi muda ( putra-putri ) Minang sendiri tidak mengetahui apa yang
di sebut Basijobang. Untuk mengetahui Basijobang saja itu lebih dari cukup,
begitulah harapannya. Hal itulah yang membuat kekhawatirannya semakin mendalam,
sebab, saat ini dirinyalah salah satu-satunya pewaris Basijobang yang masih
hidup.
Upaya yang dilakukan untuk menurunkan Basijobang pada
generasi muda, ia membuka diri bagi siapa saja yang ingin mendalami dan belajar
Basijobang. Ia siap mengajarkan Basijobang pada siapa saja yang ingin belajar
dengan mendatanginya. Saat ini tidak adalagi pemain Basijobang, termasuk daerah
lain. Ialah satu-satunya pemain Basijobang yang tersisa saat ini.
Sebelumnya ada banyak pemain Basijobang yang ada di kabupaten
50 kota Sumatera Barat. Seperti Suir, Basijobang asal Tobek Panjang yang ia kenal, namun saat
ini ia telah meninggal. Kemudian Maruman, Bakharuddin, Munin merupakan gurunya
juga telah meninggal. Sementara itu, di Gadut Kabupaten 50 Kota juga ada tiga
orang pemain Basijobang, namun semuanya telah meninggal.
Ia berharap semoga saja ada generasi yang terangsang untuk
belajar Basijobang. Namun jika tidak ada yang ingin belajar Basijobang maka
tidak ada lagi generasi penerus Basijobang. Keterpurukannya semakin memuncak
jika membayangkan Basijobang akan hilang di telan zaman. Terlihat dari raut
wajah serta air mukanya berubah tiba-tiba.
Sementara itu, upaya pemerintah menjaga dan melestarikan seni
tradisi dalam pengamatannya sangat minim serta jauh dari harapan. Ketika ada
kebutuhan dan kepentingan dari pemerintah barulah pemerintah mencari seni
tersebut ( termasuk Basijobang ). Tapi jika tidak adalagi kepentingan
pemerindah didalamnya, maka ia tinggalkan dan seakan tidak peduli lagi dengan
kesenian ( tradisi ).
Selain itu, lanjut dia, dari kalangan akademisi pun juga
demikian. Akademisi itu sendiri juga tidak ada yang ingin belajar Basijobang.
Mereka hanya sekedar bertanya-tanya saja, namun tidak ada yang belajar
Basijobang. Terlebih lagi generasi muda saat ini, apabila ketika ingin ujian
dan menulis karya ilmiah Skripsi, barulah mereka mencari tahu tentang seni
tradisi Basijobang.
Apalagi mereka kuliah pada jurusan sastra, barulah mereka
mencari dirinya ( Datuak Kodo ) untuk bertanya dan mencari tahu tentang
Basijobang. Tetapi, tidak ada yang secera sengaja untuk belajar sungguh-sungguh
tentang Basijobang padanya. Melainkan karena kepentingan serta untuk mendapatkan
gelar sarjana saja.
Ia menyebutkan bahwa yang paling menarik dari cerita
Basijobang tersebut jika dihayati selama bertahun-tahun baru terasa manfaatnya
dan pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya. Suatu kebanggaan baginya
telah dikunjungi beberapakali oleh orang nomor satu di Ismail Marzuki, yakni
Tom Ibnur. Serta tamu dari berbagai negara untuk mencari tahu tentang
Basijobang.
Ia menjelaskan untuk belajar Basijobang tentu memiliki syarat
dan rukun tertentu yang harus dilengkapi. Namanya saja pergi 'ba-guru' ( belajar kepada se orang guru
) harus melengkapi syarat dan rukun. Apa yang dikatakan syarat adalah sebagai
persiapan sebelum melakukan suatu pekerjaan yang akan dikerjakan.
Miasalkan seseorang ingin belajarkan ke sekolah, maka ia
harus melengkapi perlengkapan untuk sekolah, serperti buku tulis, pensil dan
seterusnya. Kemudian jika seseorang yang jauh tempat tinggalnya dan tidak
sanggup berjalan kaki sendiri untuk datang ke sekolah harus memiliki kendaraan
sendiri, itulah yang dikatakan syarat untuk belajar ( baguru ). Kemudian, setelah syarat terpenuhi barulah melengkapi
rukun. Sementara rukun itu sendiri menjadi bagian dalam suatu pekerjaan. Maka,
rukunnya adalah menuntut ilmu ke guru atau belajar ke pada guru.
Sebelum menuntut ilmu ke guru, lengkapi syarat ( alat ) yang
harus di penuhi diantaranya, Kain Putih, Ayam Biriang ( Ayam berbulu kuriak /
totol ) dengan kaki warna kuning, Pisau Tajam, Lado ( cabe ) secukupnya, Garam, Beras Satu Gantang ( 1,5 kg ),
Uang Rp10 ribu, Siriah agak sacabiak
( Sirih secukupnya ), Pinang agak sagatok
( buah pinang satu potong ). Tujuannya ialah untuk persiapan sebelum melakukan
suatu pekerjaan.
Ia mengaku untuk belajar menghafal kisah ( cerita ) Anggun
Nan Tungga dengan panjang 64 kaset ( episode ) tersebut dengan cara
mendengarkan apa yang dikatakan guru. Ia harus mendengarkan dengan serius dan
saksama perkataan guru. Semua ungkapan guru tersebut telah tertanam di dalam
pikirannya termasuk kisah Anggun Nan Tungga. Ia mengaku tidak pernah mencatat
sama sekali apa yang dikatakan guru melainkan mendengar lalu mencoba kembali.
"Kok mudo anggunan tongga,
amangkuto jirek dalimo,
kok mudo bangun lah ba a,
sampan ka tapi nan lah tibo,
Sabaralun kasiah da olu,
Nan tungga landaian ka tali timbo,
Nan mudo bangun da olu,
Sampan ka tapi nan lah tibo,"
"Baitulah guru manorangkan. Den de yo mandonga jo nye guru mengecek,
a lokek dikapalo,
(Seperti itulah guru menerangkan / menceritakan. Saya hanya mendengarkan guru
berbicara dan masih melekat diingatan hingga saat ini)," tutupnya.
No comments:
Post a Comment