Sunday, February 8, 2015

PENONTON MENONTON TONTONAN DI PENTAS

Oleh: Julnadi Inderapura

Sejarah cenderung menulis tanda-tanda bagi orang yang membuat kita jadi engah dalam kenyataan hidup. Perjalanan kehidupan akan terus memberi makna akan kepercayaan terhadap apa-apa tentang hidup. Maka,  kita juga akan teperdaya oleh kenyataan yang barang tentu akan di nilai sebagai makian dari etos militansi tiap pekerja seni. Ini adalah kehidupan dari waktu ke waktu akan terus diburu. Selanjutnya mampukah kita membuat sejarah bagi diri sendiri. Jika pun itu memungkinkan tentu persoalan selanjutnya adalah menulis sejarah sendiri dengan kejelian tertentu dapat mengokosinya.

Sebelum memulai pertunjukan, sebelum pintu ruang pertunjukan dibuka, para penonton mulai berdatangan dengan tiket di tangan setelah pembelian beberapa hari belakangan. Ada juga yang antri sambil menunggu pintu dibuka dan para penonton disilakan masuk. Begitu penonton masuk dengan bukti tiket pembelian yang diperlihatkan pada petugas penjaga pintu. Para penonton tidak digiring pada kursi tontonannya, sehingga bising dan brisik tak terhelakkan karena suasana gedung pertunjukan yang gelap membuat  para penonton menjadi gaduh, atau barangkali penonton itu sendiri yang gagap dan pertama kali menonton dan masuk dalam oroma gedung pertunjukan. Begitulah para penonton seni pertunjukan di Sumatera Barat saat ini, khususnya pertunjukan teater.

Tentang teater dekade ini banyak soal dan menyoalkan tentang pentingnya berteater. Teater hari ini pun telah menemukan masyarakat tontonannya. Masyarakat tontonan itu tidak terlepas pada apa yang telah penonton “tontonkan”. Mereka telah menjadi tontonan bagi dirinya sendiri. Sehingga tidak tertutup kemungkinan mereka akan menciptakan bentuk-bentuk tontonan mereka sendiri dalam memper-tontonkan pertunjukan di atas pentas saat pertunjukan akan berlangsung.  Penonton yang menonton pertunjukan selebum lampu ruangan dimatikan, mereka telah meciptakan laku dan gerak sendiri dalam memposisikan perspektif tontonanya sebagai penonton.

Jadi apa dan siapa penonton itu sesungguhnya,  penonton adalah orang yang menyengajakan diri untuk menonton dan mereka sadar akan keterlibatan mereka dari pertunjukan. Dekade ini, teater seakan terlepas pada masyarakat tontonannya yang menonton. Sisi ruang penonton dengan pandangan tontonan yang simetris pada pentas pertunjukan. Ini adalah juga bentuk komunikasi penonton yang menononton dengan panggung totontonannya sebagai bagian dari sebuah pertunjukan. Inilah bentuk kesadaran penonton yang menonton.

Siapa penonton itu sebenarnta. Sesuai dengan teoritis yang lebih memadai dari masyarakat penonton di bagi dalam empat kategori. Menonton iseng, penonton ikut-ikutan, penonton biasa, penonton seriuas. Dalam beberapa kategori ini peneonton perlu merealisasikan aksi-reaksi mereka terhadap apa yang mereka tonton. Hal ini menjadi pengetahuan baru bagi penonton iseng atau penonton pemula.  Dalam perspektif tontonan ini tentu sebagai penonton perlu juga mempertimbangkan segala sesuatu dalam berntuk pertanya-pertannyaan. Barangkali penonton selanjutnya perlu untuk menterjemahkan kearifan bentuk dari sisi-sisi ruang imajinatifnya sendiri.

Kadangkala penonton iseng itu sendiri adalah orang yang siap membagi diri, kesempatan, waktu dan emosinya untuk keterlibatannya dalam bagian dari pertunjukan,  Seperti mereka yang  siap melebur dalam ruang tontonanan tetap pada konteks penonton. Sebagai penonton yang menonton pertunjukan yang ikut-ikutan juga dapat menikmati nontonan yang layak sebagai “hiburan”. Padahal esensi pertunjukan adalah untuk memberikan pengertian-pengertian dan pemahaman kembali nilai-nilai moral, sosial, politik dan ekonomi. Tapi apakah hal tersebut akan mudah tercapai?

Penonton yang menonton pertunjukan adalah siap pada tatanan yang berlaku pada sebuah pertunjukan. Posisi ruang penonton di tentukan oleh bagian dari pertunjukan, sebab penonton sebuah pertnjukan tidak terlepas dari penonton dan juga penonton mesti mendapat tontonan yang layak. Penonton ini juga tidak semata-mata hanya sebagai tontonan yang menonton pertunjukan, tetapi mereka (penonton) juga merupakan sebagai pengamat, pemerhati dan kritikus. Jadi, siapa penonton itu sesungguhnya?

Pononton yang sebenarnya menonton adalah mereka yang memposisikan dirinya sebagai pengamat, pemerhati dan kritikus. Nah penonton seperti ini lah yang di butuhkan saat menonton pertunjukan. Penonton ini tidak hanya sebagai membaca bentuk-bentuk “pukauan” semata dalam artian mereka melihat kualitas banyak orang yang terhibur saja, tapi juga mempertimbangkan “kedekatan” antara pertunjukan dengan penontonnya yang komunikatif. Ada beberapa hal yang mesti dicermati bersama, penonton pertunjukan dekade ini mesti memikirkan penonton yang “berkualitas”, tidak semerta-merta mereka mau membeli tiket dengan harga yang sangat mahal. Tapi juga didukung oleh mengetahuan.

Untuk mendukung pengetahuan penonton kita hari ini perjuga di adakan pembinaan atau pelatihan dengan membudayakan kiskusi, setelah pertunjukan. Kenapa demikian. Perlu juga kiranya kita memberikan transpormasi keilmuan terhadap para penonton kita yang baru menonton (penonton iseng) atau tidak hanya sebagai tontonan kerena ingin mensupor teman dekatnya yang melakukan pertunjukan pada akhirnya mereka menonton juga (penonton biasa) atau mereka menyengaja untuk menonton, kemudian ia (penonton) merefleksikannya dalam kehidupan dan berkomunikasi dari beberapa referensi yang terkait dalam pembacaan yang lebih kritis (penonton serius). Kemudian penonton yang serius ini dapat membandingkan dengan bacaan yang kolektif dari apresiasinya untuk menuliskannya pada media lokal maupun nasional.

Siapa penonton serius itu sebenarnya? Kita tahu bahwa penonton serius yang dimaksud adalah orang yang benar-benar notabenenya adalah mengerti dan paham secara teoritis tentang seni pertunjukan. Artinya orang yang benar-benar secara akademis mempunyai talen untuk itu. Kemudian para tokoh, kritikus, seniman dan pelaku itu sendiri untuk menjabarkan konsep pertunjunjukannya pada masyarakat penonton. Seperti, Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang yang mempunyai jurusan teater yang lebih teoritis yang kita harapkan untuk menonton pertunjukan dan kemudian menulisnya. Teater Imambonjol, teater serunai laut, teater nantumpah, teater langakah, teater langit, teater wadah, teater ranah, teater noktah, teater imaji, teater gaung ekspos, teater oltrek, teater imaji dan sebagainya. Mereka adalah kelompok yang kolektif dalam memproduksi pertunjukan, dan merekapun mempunyai masa penontonnya sendiri dalam pertunjukan. Merekalah yang kita harapkan sebagai unjungtombak sebagai penulis yang akan menulis pertunjukan, apakan berupa resensi sebuah pertunjukan, ataukan sebagai kritik seni pertunjukan. Merekalah yang dimaksudkan sebagai penonton serius dalam konteks hal ini.

Dalam peristiwa alek teater yang barusan saja selesai diselenggarakan adalah wadah bagi kita untuk mengamat, mencermati, menganalisis dan mengkritisi dari apa yang di pertontonkan. Dalam hal ini kita adalah sebagai penonton. Tetapi hanya saja ada beberapa orang yang menonton. Ini dangat mencamaskan bagi kita terhadap para penonton kita juga pada akhirnya.  Ada capaian baru bagi penikmat pertunjukan kita hari ini, penonton tidak hanya dalam kalangan penggiat teater, tapi banyak juga penonton kita sebagai penikmat baru dan mereka sangat antusias dan mengapresisiasi semua pertunjukan. Para penonton dekade ini menjadi konsumen bagi menggiat teater. Seni pertunjukan hari ini pun mendapatkan penontonnya sendiri dalam aritian komersialisasi. Tapi, meskipun para penonton itu ingin “membayar” perlu juga dipertimbangkan kualitas pertunjukan dari masing-masing grup yang akan melakukan pertunjukan.

Penonton Cerdas
Penonton menjadi bagian dalam pertunjukan, adanya penonton maka disitulah ada pertunjukan. Maka tidak salah jika penonton tidak-ada, pementasan belum dimulai. Penonton telah disilahkan masuk dan masing-masing telah mendapatkan tempat yang pas dalam sisi perspektif panggung dan mereka (penonton) siap untuk mengaksikan pertunjukan. Satu persatu lampu ruangan dimatikan, gedung pertunjukan tiba-tiba gelap. Suasana sugestif ruang pun mulai menyelimuti imajinasi penonton. sehingga bisikan mulai bermuculan apa yang akan terjadi, rasa penasaran mulai memuncak, kejutan (teknik muncul) seperti apa yang akan terjadi di atas pentas. saat yang di tunggu penonton yang cerdas adalah peristiwa "daramatik" dari teknik muncul inilah yang akan memusatkan perhatian penonton pada pentas dengan peristiwa laku-dramatik di pentas.

Ada beberapa Kategori Penonton, pertama penonton yang mampu membeli tiket dengan harga yang tinggi, kemudian secara kualitas mereka (penonton) "tidak" dibutuhkkan bagi sebuah pertunjukan (misalkan: para kaum elit dan pejabat yang tidak mengerti dengan seni pertunjukan) jadi yang kita pentingkan adalah konpensasi, atau mengambil "uangnya saja".

kedua, penonton yang secara kualitas diharapkan tetapi ia tidak mampu membeli tiket pertunjukan (misalkan: para penggiat seni pertunjukan yang memang tidak punya ongkos untuk itu) tetapi, mereka "haus" ilmu untuk pengayaan referensi dalam seni pertunjukan.

ketiga, penonton yang secara kualitas mampu membeli tiket dan didukung secara kuantitas mereka sebagai penonton yang aktif dalam berbagai bentuk pertunjukan dan diharapkan ia mampu memposisikan dirinya sebagai kritikus teater sehingga, ia mampu menetralisir kualitas pertunjukan dan memposisikan mereka sebgai pengamat dan kritikus teater. kritikus dan para tokoh-totoh secara kualitas dan kuantitas lebih dipercaya. Penonton seperti ini yang sesungguhnya diharapkan bagi sebuah pertunjukan. Jangan sekali-kali kita terjebak dengan anggapan bahwa banyaknya penonton yang menonton sebuah pertunjukan adalah sebagai jaminan pertunjukan itulah lebih berkualitas dan bagus. tetapi kualitas dan bagusnya pertunjukan ditentukan oleh penonton yang cerdas.

No comments:

Post a Comment