Sejarah cenderung menulis tanda-tanda bagi orang yang membuat
kita jadi engah dalam kenyataan hidup. Perjalanan kehidupan akan terus memberi makna
akan kepercayaan terhadap apa-apa tentang hidup. Maka, kita juga akan teperdaya oleh kenyataan yang
barang tentu akan di nilai sebagai makian dari etos militansi tiap pekerja
seni. Ini adalah kehidupan dari waktu ke waktu akan terus diburu. Selanjutnya
mampukah kita membuat sejarah bagi diri sendiri. Jika pun itu memungkinkan tentu
persoalan selanjutnya adalah menulis sejarah sendiri dengan kejelian tertentu
dapat mengokosinya.
Sebelum memulai pertunjukan, sebelum pintu ruang pertunjukan
dibuka, para penonton mulai berdatangan dengan tiket di tangan setelah
pembelian beberapa hari belakangan. Ada juga yang antri sambil menunggu pintu
dibuka dan para penonton disilakan masuk. Begitu penonton masuk dengan bukti
tiket pembelian yang diperlihatkan pada petugas penjaga pintu. Para penonton
tidak digiring pada kursi tontonannya, sehingga bising dan brisik tak
terhelakkan karena suasana gedung pertunjukan yang gelap membuat para penonton menjadi gaduh, atau barangkali
penonton itu sendiri yang gagap dan pertama kali menonton dan masuk dalam oroma
gedung pertunjukan. Begitulah para penonton seni pertunjukan di Sumatera Barat
saat ini, khususnya pertunjukan teater.
Tentang teater dekade ini banyak soal dan menyoalkan tentang
pentingnya berteater. Teater hari ini pun telah menemukan masyarakat
tontonannya. Masyarakat tontonan itu tidak terlepas pada apa yang telah
penonton “tontonkan”. Mereka telah menjadi tontonan bagi dirinya sendiri.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan mereka akan menciptakan bentuk-bentuk
tontonan mereka sendiri dalam memper-tontonkan pertunjukan di atas pentas saat
pertunjukan akan berlangsung. Penonton
yang menonton pertunjukan selebum lampu ruangan dimatikan, mereka telah
meciptakan laku dan gerak sendiri dalam memposisikan perspektif tontonanya
sebagai penonton.
Jadi apa dan siapa penonton itu sesungguhnya, penonton adalah orang yang menyengajakan diri
untuk menonton dan mereka sadar akan keterlibatan mereka dari pertunjukan. Dekade
ini, teater seakan terlepas pada masyarakat tontonannya yang menonton. Sisi
ruang penonton dengan pandangan tontonan yang simetris pada pentas pertunjukan.
Ini adalah juga bentuk komunikasi penonton yang menononton dengan panggung
totontonannya sebagai bagian dari sebuah pertunjukan. Inilah bentuk kesadaran
penonton yang menonton.
Siapa penonton itu sebenarnta. Sesuai dengan teoritis yang
lebih memadai dari masyarakat penonton di bagi dalam empat kategori. Menonton
iseng, penonton ikut-ikutan, penonton biasa, penonton seriuas. Dalam beberapa
kategori ini peneonton perlu merealisasikan aksi-reaksi mereka terhadap apa
yang mereka tonton. Hal ini menjadi pengetahuan baru bagi penonton iseng atau
penonton pemula. Dalam perspektif tontonan
ini tentu sebagai penonton perlu juga mempertimbangkan segala sesuatu dalam
berntuk pertanya-pertannyaan. Barangkali penonton selanjutnya perlu untuk
menterjemahkan kearifan bentuk dari sisi-sisi ruang imajinatifnya sendiri.
Kadangkala penonton iseng itu sendiri adalah orang yang siap
membagi diri, kesempatan, waktu dan emosinya untuk keterlibatannya dalam bagian
dari pertunjukan, Seperti mereka
yang siap melebur dalam ruang tontonanan
tetap pada konteks penonton. Sebagai penonton yang menonton pertunjukan yang
ikut-ikutan juga dapat menikmati nontonan yang layak sebagai “hiburan”. Padahal
esensi pertunjukan adalah untuk memberikan pengertian-pengertian dan pemahaman
kembali nilai-nilai moral, sosial, politik dan ekonomi. Tapi apakah hal
tersebut akan mudah tercapai?
Penonton yang menonton pertunjukan adalah siap pada tatanan
yang berlaku pada sebuah pertunjukan. Posisi ruang penonton di tentukan oleh
bagian dari pertunjukan, sebab penonton sebuah pertnjukan tidak terlepas dari
penonton dan juga penonton mesti mendapat tontonan yang layak. Penonton ini
juga tidak semata-mata hanya sebagai tontonan yang menonton pertunjukan, tetapi
mereka (penonton) juga merupakan sebagai pengamat, pemerhati dan kritikus.
Jadi, siapa penonton itu sesungguhnya?
Pononton yang sebenarnya menonton adalah mereka yang
memposisikan dirinya sebagai pengamat, pemerhati dan kritikus. Nah penonton
seperti ini lah yang di butuhkan saat menonton pertunjukan. Penonton ini tidak
hanya sebagai membaca bentuk-bentuk “pukauan” semata dalam artian mereka
melihat kualitas banyak orang yang terhibur saja, tapi juga mempertimbangkan
“kedekatan” antara pertunjukan dengan penontonnya yang komunikatif. Ada
beberapa hal yang mesti dicermati bersama, penonton pertunjukan dekade ini
mesti memikirkan penonton yang “berkualitas”, tidak semerta-merta mereka mau
membeli tiket dengan harga yang sangat mahal. Tapi juga didukung oleh
mengetahuan.
Untuk mendukung pengetahuan penonton kita hari ini perjuga di
adakan pembinaan atau pelatihan dengan membudayakan kiskusi, setelah
pertunjukan. Kenapa demikian. Perlu juga kiranya kita memberikan transpormasi
keilmuan terhadap para penonton kita yang baru menonton (penonton iseng) atau
tidak hanya sebagai tontonan kerena ingin mensupor teman dekatnya yang
melakukan pertunjukan pada akhirnya mereka menonton juga (penonton biasa) atau
mereka menyengaja untuk menonton, kemudian ia (penonton) merefleksikannya dalam
kehidupan dan berkomunikasi dari beberapa referensi yang terkait dalam
pembacaan yang lebih kritis (penonton serius). Kemudian penonton yang serius
ini dapat membandingkan dengan bacaan yang kolektif dari apresiasinya untuk
menuliskannya pada media lokal maupun nasional.
Siapa penonton serius itu sebenarnya? Kita tahu bahwa
penonton serius yang dimaksud adalah orang yang benar-benar notabenenya adalah
mengerti dan paham secara teoritis tentang seni pertunjukan. Artinya orang yang
benar-benar secara akademis mempunyai talen untuk itu. Kemudian para tokoh,
kritikus, seniman dan pelaku itu sendiri untuk menjabarkan konsep
pertunjunjukannya pada masyarakat penonton. Seperti, Institut Seni Indonesia
(ISI) Padangpanjang yang mempunyai jurusan teater yang lebih teoritis yang kita
harapkan untuk menonton pertunjukan dan kemudian menulisnya. Teater Imambonjol,
teater serunai laut, teater nantumpah, teater langakah, teater langit, teater
wadah, teater ranah, teater noktah, teater imaji, teater gaung ekspos, teater
oltrek, teater imaji dan sebagainya. Mereka adalah kelompok yang kolektif dalam
memproduksi pertunjukan, dan merekapun mempunyai masa penontonnya sendiri dalam
pertunjukan. Merekalah yang kita harapkan sebagai unjungtombak sebagai penulis
yang akan menulis pertunjukan, apakan berupa resensi sebuah pertunjukan,
ataukan sebagai kritik seni pertunjukan. Merekalah yang dimaksudkan sebagai
penonton serius dalam konteks hal ini.
Dalam peristiwa alek teater yang barusan saja selesai
diselenggarakan adalah wadah bagi kita untuk mengamat, mencermati, menganalisis
dan mengkritisi dari apa yang di pertontonkan. Dalam hal ini kita adalah
sebagai penonton. Tetapi hanya saja ada beberapa orang yang menonton. Ini
dangat mencamaskan bagi kita terhadap para penonton kita juga pada
akhirnya. Ada capaian baru bagi penikmat
pertunjukan kita hari ini, penonton tidak hanya dalam kalangan penggiat teater,
tapi banyak juga penonton kita sebagai penikmat baru dan mereka sangat antusias
dan mengapresisiasi semua pertunjukan. Para penonton dekade ini menjadi
konsumen bagi menggiat teater. Seni pertunjukan hari ini pun mendapatkan
penontonnya sendiri dalam aritian komersialisasi. Tapi, meskipun para penonton
itu ingin “membayar” perlu juga dipertimbangkan kualitas pertunjukan dari
masing-masing grup yang akan melakukan pertunjukan.
Penonton Cerdas
Penonton menjadi bagian dalam pertunjukan, adanya penonton
maka disitulah ada pertunjukan. Maka tidak salah jika penonton tidak-ada,
pementasan belum dimulai. Penonton
telah disilahkan masuk dan masing-masing telah mendapatkan tempat yang pas
dalam sisi perspektif panggung dan mereka (penonton) siap untuk mengaksikan
pertunjukan. Satu persatu lampu ruangan dimatikan, gedung pertunjukan tiba-tiba
gelap. Suasana sugestif ruang pun mulai menyelimuti imajinasi penonton.
sehingga bisikan mulai bermuculan apa yang akan terjadi, rasa penasaran mulai memuncak, kejutan
(teknik muncul) seperti apa yang akan terjadi di atas pentas. saat yang di
tunggu penonton yang cerdas adalah peristiwa "daramatik" dari teknik
muncul inilah yang akan memusatkan perhatian penonton pada pentas dengan
peristiwa laku-dramatik di pentas.
Ada beberapa Kategori Penonton, pertama penonton yang mampu membeli tiket dengan harga yang tinggi, kemudian secara kualitas mereka
(penonton) "tidak" dibutuhkkan bagi sebuah pertunjukan (misalkan:
para kaum elit dan pejabat yang tidak mengerti dengan seni pertunjukan) jadi
yang kita pentingkan adalah konpensasi, atau mengambil "uangnya
saja".
kedua, penonton yang secara kualitas
diharapkan tetapi ia tidak mampu membeli tiket pertunjukan (misalkan: para
penggiat seni pertunjukan yang memang tidak punya ongkos untuk itu) tetapi,
mereka "haus" ilmu untuk pengayaan referensi dalam seni pertunjukan.
ketiga, penonton yang secara kualitas mampu
membeli tiket dan didukung secara kuantitas mereka sebagai penonton yang aktif dalam
berbagai bentuk pertunjukan dan diharapkan ia mampu memposisikan dirinya sebagai
kritikus teater sehingga, ia mampu menetralisir kualitas pertunjukan dan memposisikan
mereka sebgai pengamat dan kritikus teater. kritikus dan para tokoh-totoh
secara kualitas dan kuantitas lebih dipercaya. Penonton seperti ini yang
sesungguhnya diharapkan bagi sebuah pertunjukan. Jangan sekali-kali kita
terjebak dengan anggapan bahwa banyaknya penonton yang menonton sebuah
pertunjukan adalah sebagai jaminan pertunjukan itulah lebih berkualitas dan
bagus. tetapi kualitas dan bagusnya pertunjukan ditentukan oleh penonton yang
cerdas.
No comments:
Post a Comment