oleh: Julnadi Inderapura
Puluhan Seniman Sumatera Barat menghadiri pembukaan
pameran seni rupa “Duo Datuak” di Galeri Rumah Ada Seni (RAS)
jalan Parupuak No 48 Tabing. Pameran “Duo Datuak” tersebut dibuka
oleh Yan Pratawijaya dosen Politeknik Negeri Padang. Puluhan karya seniman
Sumbar dipamerkan di RAS yang berskala Nasional. Karya-karya tersebut berasal
dari Bali, Bandung, Jogja dan Sumatera Barat. Dalam pameran tersebut hanya satu
karya yang mampu menginggung visi dari pameran “Duo Datuak” menurut Ibrahim
curator Seni Rupa pada Senin, 27 Oktober 2014.
Dia mengatakan, salah satu karya yang bisa dikatakan
mampu menyinggung visi dari pameran “Duo Datuak” adalah karya Nesa berjudul “Calm
Under Pressure”. Berangkat dari tanda dan symbol yang dihadirkan di
dalam jam tampak memberi gambar bagaimana sebuah tekanan datang dari wilayah
yang cukup dominan. “Substansinya jelas jelas bisa ditarik kemana saja meskipun
digiring kedalam wilayah kreatif berdasarkan uraian sebelumnya jelas memiliki
visi yang terkait dengan “duo Datuak” kendati Karya ini tidak berada
pada “ciri pembeda” yang telah diasosiasikan dalam “Duo Datuak” Meskipun
seniman yang lain belum tentu sependapat dengan ulasan saya,” katanya.
Dia melanjutkan, Menyoroti persoalan bagaimana sosok
seorang datuak maupun persoalan penganugerahan gelar datuak di Ranah Minang.
Kemudian menggeser pola seniman untuk lebih mengeksplorasi tanda-tanda ataupun
simbol-simbol lokalitas.
“Duo Datuak” sebuah elaborasi dari seniman dengan cara
yang lebih cerdas dan kreatif dalam menyikapi perkembangan dan perubahan
pemahaman terhadap kebudayaan Minangkabau. Melalui karya yang disuguhkan akan
tampak bagaimanan sosok seorang datuak
di mata anak kemanakan dan bagaimana
memaklumi sebuah kebijakan yang diambil oleh masyarakat tradisi dalam
memberikan gelar datuak.” Sebutnya.
Karya serta gagasan “Duo Datuak” menurut
Ibrahim curator seni rupa, para seniman perlu melakukan pendekan dalam
menangkap dan merepresentasikan ide masing-masing seniman. Ulasan di ambil
beberapa buah karya untuk diurai sedekat mungkin, sehingga usaha untuk tetap
berada pada jalur “Duo Datuak” diperlihatkan beberapa seniman dalam pameran
ini. seperti karya yang berjudul “Fixed Price” karya Septiman Girsal,
karya Aldo We berjudul “Narsis,” karya Dwi Rahma Dona berjudul “Sumpah
Biso Kawi” dan karya Erlangga dengan judul “Untitled”.
Kemudian kata Ibrahim, karya Pendri Wandi dengan judul “Pre
Order” dan Nasrul berjudul “Big Sale, Big Share,” dua
karya tersebut mencoba menangkap sipirit dari sosok Datuak itu sendiri yang tampak menonjol adalah pada tataran
disposisi gelar Datuak dan dinamika
dari kebijakan seorang Datuak dalam
mengelola Nagari. Karya tersebut
tampak mengkonvensikan gagasan menjadi tanda-tanda popular dari reproduksi
urban. “karya Niluh Pangestu berjudul “Me in The Chair”, Yusuf
Fadly Aser dengan judul “Between” dan karya Roni Kurniawan
dengan Judul “3 Kursi Berjarangan” cenderung tampak
konvensional. Mereka melihat persoalan “Duo Datuak” dengan cara umum sebagai
sosok pemimpin sehingga yang tampak adalah sebuah “simbol“ kekuasaan tanpa
memberikan tanda khusus yang menuju pada teritorial sang datuak,” jelasnya.
Bagi curator, karya Agung Budiman dengan judul “Terlena” dibutuhkan
narasi dalam menemukan kecocokan dengan gagasan pameran, sebab karya tersebut
berupa potret yang tidak memberikan tanda bahwa karya tersebut sedang berbicara
“Duo Datuak”.
“Dalam karya mereka terdapat usaha untuk mengelaborasi
gagasan datuak dan kelengkapannya
menjadi bagian yang dieksplorasi demi menghadirkan tanda mengkrucut pada
konsekuensi mistikal dalam menjalankan amanah sebagai datuak, sehingga praktek distorsi dalam bahasa yang cukup personal
sermasuk simbolisasi tradisional, Kemudian berangkat dari tanda atau simbol
yang dihadirkan dalam karya seni tersebut bukan untuk mempersempit wilayah
anlisis public menginterpretasikan secara tepat sesuai dengan apa yang
diinginkan public terhadap karya yang dipamerkan,” Katanya.
No comments:
Post a Comment