Tarian tubuh penari yang dikehendaki oleh koreografer tari Impessa Dance
Company. Ruang-ruang waktu yang belum jelas keberadaannya di atas pentas, penonton yang
menepuk dada saat menunggu pertujukan segera dimulai. Persprektif panggung yang
simetris dengan penonton telah tergambar secara fisual pentas. Penonton ramah
menunggu adegan tarian yang dihadirkan oleh Jhoni Andra sebagai koreografer.
Karya yang berbudul “Ratak Nyao” dipentaskan selama 60 menit
mengajak penonton berbagi tentang kisah. Seperti apakah Jhoni Andra mengemas
tarian empat orang penarinya itu?
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang
Selasa, 28 Oktober 2014 pukul 20.00 di Ladang Tari Nan Jombang dipadati penikmat seni, penonton yang menyengajakan diri meninggalkan rutinitas hariannya. Penonton hadir untuk ikut serta dalam memperkaya persepsi sebuah tarian. Kali ini Jhoni Andra memulai tariannya dari personifikasi “Kusri Goyang Rotan” yang dimunculkan sebagai setting panggung tariannya.
Perlahan lampu gedung dimatikan satu persatu sehingga sempurna pada sebuah kegelapan dalam yang “entah” telah menutupi sudut pandang penonton. Dalam kegelapan penonton di ajak masuk dalam ruang imajinasi mendengarkan denting musik (alat musik triangel). Dentingan tersebut seolah-olah menyentuh penonton dalam kegelapan ruangan. Perlahan-lahan pampu menyala menyoroti tubuh penari.
Penonton kemudian mememukan titik balik dari kegelapan ruanga yang telah mendapati cahaya, sehingga tontonan baru saja dimulai. Ritme musik yang menghantarkan tubuh penari yang sinkron dengan gerakan. Saluang Pauh yang dilantunkan menambah kaya gerakan penari yang mengakar pada tari tradisi yang dikemabangkan. Persepsi yang dimunculkan ketika tubuh penari menyampaikan “tanda” dengan memperkuat dengan detingan serta gesekan piring. Eksplorasi piring mempertegas kegirangan yang terselubung dalam tarian. Piring tersebut menjadi sesuatu yang dekat dengan lingkungan yang hidup bersosial. Jhoni Andra kemudian mengembangkannya menjadi sebuah pergantian musim dari zamannya.
Tidak hanya sampai pada ruang yang telah ada, ketika seorang penari yang “satu” (sebagai Agyan) terdiam Duduak Baselo telah memberikan pemahaman baru dalam kehidupan sosial. Bagian ini Jhoni Andra mengajak penonton melalui penari untuk menelaah hubungan antar sesama. Interaksi sosial yang kemudian perlahan-lahan muncul dan mulai dikembangkan penari melalu gerakan yang dihadirkan.
Penari “Agyan” telah mengantarkan ceritanya sendiri dalam keterasingan hidup yang dimilkinya. Selanjutnya tiga orang penari yang lain berada pada “kursi goyang” yang menjadi poros pentas sebagai titik pengunci adegan. Tiga orang penari tersebut dihadirkan seperti kelompok sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Tubuh-tubuh penari yang terkunci pada dari karakteristik yang dimunculkan di pentas. Tiga orang penari tersebut saling memperkuat laku-dramatik tubuh dari gerakan. Tubuh mereka yang terdampar dalam keterbatasan ruang gerak, sehingga tubuh penari menjadi kaku bertengger dikursi goyang tersebut. Sedangkan tubuh yang kedua terbaring dari interpretasi orang-orang kelas bawah dalam kehidupan sosial.
Keinginan koreografer dalam tata gerak yang dimunculkan sangat dinamis sesuai dengan dentingan piring sebagai “tanda” alihan adegan. Dentingan bunyian piring itu merupakan waktu-waktu yang sulit diterima “Agyan” untuk berinterasi antar sesama dalam ringkungannya. Namun, perbeda dengan yang di rasakan oleh tiga penari yang lain, penari tersebut justru mendapat tempat yang “di istimewakan”. Ada anonym lain yang ingin diceritakan oleh koreografer dalam tarian empat orang penarina yang mengekplarasi tubuhnya menjadi masyarakat sosial. Kemudian menjadi individu yang terkurung dalam kesendiriannya.
Kesendirian itu hadir dalam personifikasi Rabab yang melengkapai kesendirian “Agyan” sebagai tokoh dalam tarian. “Agyan” hadir sebagai sosok tokoh tunggul dalam sebuah tarian “Ratak Nyao”, yang kemudian di interpretasi menjadi benang merah alur sinopsis. Empat penari yang lain sebagai “bayangan” imajinasi hidup layak yang ingin dipeloleh oleh “Agyan”. Agyan menjadi sosok yang terjangkit HIV/AIDS yang berjuang untuk bertahan hidup dan melawan penyakitnya. Agyan diinterpretasikan sebagai tubuh yang di intimidasi oleh lingkungannya kedalam sebuah tarian bagi koreogrefer.
Perhatian dari pemimpin yang diharapkan agar sosok “Agyan” dapat diterima dikalangan banyak orang, ternyata pusus ditelah zaman. Sebab penyakit yang di almi “Agyan” membuat semua orang pergi menjauh. Penolakan tersebut jelas dinampakkan di atas pentas, membalikkan kursi goyang sebagai simbol penolakan. Kemudian kenakan wajah di atas kursi sebgai ke angkuhan tubuh penari yang lain, kemudian Tapuak Galembong dan Rampak sebagai bentuk tidak dapat diterima oleh kehidupan sosial dilingkungannya. Itulah kepahitan sosok laku “Agyan” yang digambarkan Jhoni Andra dalam tariannya yang diperankan oleh, alex Tansil, Diyan “botak” Muarif, Alvino, Verry Sanches.
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang
Selasa, 28 Oktober 2014 pukul 20.00 di Ladang Tari Nan Jombang dipadati penikmat seni, penonton yang menyengajakan diri meninggalkan rutinitas hariannya. Penonton hadir untuk ikut serta dalam memperkaya persepsi sebuah tarian. Kali ini Jhoni Andra memulai tariannya dari personifikasi “Kusri Goyang Rotan” yang dimunculkan sebagai setting panggung tariannya.
Perlahan lampu gedung dimatikan satu persatu sehingga sempurna pada sebuah kegelapan dalam yang “entah” telah menutupi sudut pandang penonton. Dalam kegelapan penonton di ajak masuk dalam ruang imajinasi mendengarkan denting musik (alat musik triangel). Dentingan tersebut seolah-olah menyentuh penonton dalam kegelapan ruangan. Perlahan-lahan pampu menyala menyoroti tubuh penari.
Penonton kemudian mememukan titik balik dari kegelapan ruanga yang telah mendapati cahaya, sehingga tontonan baru saja dimulai. Ritme musik yang menghantarkan tubuh penari yang sinkron dengan gerakan. Saluang Pauh yang dilantunkan menambah kaya gerakan penari yang mengakar pada tari tradisi yang dikemabangkan. Persepsi yang dimunculkan ketika tubuh penari menyampaikan “tanda” dengan memperkuat dengan detingan serta gesekan piring. Eksplorasi piring mempertegas kegirangan yang terselubung dalam tarian. Piring tersebut menjadi sesuatu yang dekat dengan lingkungan yang hidup bersosial. Jhoni Andra kemudian mengembangkannya menjadi sebuah pergantian musim dari zamannya.
Tidak hanya sampai pada ruang yang telah ada, ketika seorang penari yang “satu” (sebagai Agyan) terdiam Duduak Baselo telah memberikan pemahaman baru dalam kehidupan sosial. Bagian ini Jhoni Andra mengajak penonton melalui penari untuk menelaah hubungan antar sesama. Interaksi sosial yang kemudian perlahan-lahan muncul dan mulai dikembangkan penari melalu gerakan yang dihadirkan.
Penari “Agyan” telah mengantarkan ceritanya sendiri dalam keterasingan hidup yang dimilkinya. Selanjutnya tiga orang penari yang lain berada pada “kursi goyang” yang menjadi poros pentas sebagai titik pengunci adegan. Tiga orang penari tersebut dihadirkan seperti kelompok sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Tubuh-tubuh penari yang terkunci pada dari karakteristik yang dimunculkan di pentas. Tiga orang penari tersebut saling memperkuat laku-dramatik tubuh dari gerakan. Tubuh mereka yang terdampar dalam keterbatasan ruang gerak, sehingga tubuh penari menjadi kaku bertengger dikursi goyang tersebut. Sedangkan tubuh yang kedua terbaring dari interpretasi orang-orang kelas bawah dalam kehidupan sosial.
Keinginan koreografer dalam tata gerak yang dimunculkan sangat dinamis sesuai dengan dentingan piring sebagai “tanda” alihan adegan. Dentingan bunyian piring itu merupakan waktu-waktu yang sulit diterima “Agyan” untuk berinterasi antar sesama dalam ringkungannya. Namun, perbeda dengan yang di rasakan oleh tiga penari yang lain, penari tersebut justru mendapat tempat yang “di istimewakan”. Ada anonym lain yang ingin diceritakan oleh koreografer dalam tarian empat orang penarina yang mengekplarasi tubuhnya menjadi masyarakat sosial. Kemudian menjadi individu yang terkurung dalam kesendiriannya.
Kesendirian itu hadir dalam personifikasi Rabab yang melengkapai kesendirian “Agyan” sebagai tokoh dalam tarian. “Agyan” hadir sebagai sosok tokoh tunggul dalam sebuah tarian “Ratak Nyao”, yang kemudian di interpretasi menjadi benang merah alur sinopsis. Empat penari yang lain sebagai “bayangan” imajinasi hidup layak yang ingin dipeloleh oleh “Agyan”. Agyan menjadi sosok yang terjangkit HIV/AIDS yang berjuang untuk bertahan hidup dan melawan penyakitnya. Agyan diinterpretasikan sebagai tubuh yang di intimidasi oleh lingkungannya kedalam sebuah tarian bagi koreogrefer.
Perhatian dari pemimpin yang diharapkan agar sosok “Agyan” dapat diterima dikalangan banyak orang, ternyata pusus ditelah zaman. Sebab penyakit yang di almi “Agyan” membuat semua orang pergi menjauh. Penolakan tersebut jelas dinampakkan di atas pentas, membalikkan kursi goyang sebagai simbol penolakan. Kemudian kenakan wajah di atas kursi sebgai ke angkuhan tubuh penari yang lain, kemudian Tapuak Galembong dan Rampak sebagai bentuk tidak dapat diterima oleh kehidupan sosial dilingkungannya. Itulah kepahitan sosok laku “Agyan” yang digambarkan Jhoni Andra dalam tariannya yang diperankan oleh, alex Tansil, Diyan “botak” Muarif, Alvino, Verry Sanches.
No comments:
Post a Comment