Impessa Dance Company berjudul 9
Perjanjian Darah Koreografer Joni Andra, tampil Kaba Festival 2 Ladang Tari Nan
Jombang. Pertunjukan berlangsung gedung Manti Manuik Balaibaru pada Jumat, 11
Desember 2015 malam.
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang
Menyimak Kaba Festival tahun
lalu, Impessa Dance Company mengangkat tema yang sama dalam pertunjukannya
malam ini. Koreografer Impessa Dance Company Joni Andra pada pertunjukannya
tahun lalu, dukungan artistiknya menggunakan kursi goyang.
Kursi tersebut untuk di ekplorasi
dalam pertunjukan sebuah tarian yang berlangsung di gedung pertunjukan Manti
Manuik Ladang Tari nan Jombang pada tahun silam. Maka, personifikasi kursi
goyang tersebut menjadi simbol dari kasih sayang. Penggambaran tokoh Giyan,
seseorang yang mengidap penyakit HIV/AIDS terkucilkan di tengah lingkungan
beradanya. Padahal penyakit tersebut tentu tidak diharapkan oleh Giyan.
Namun, penyakit HIV/AIDS tersebut
didapatkan Giyan sejak dalam kandungan. Ibu Giyan lah menurutkan penyakit
tersebut. Giyan menanggung akibatnya sehingga harus berjuang melawan penyakit.
Sebab, Giyan anak yang tidak berdosa karena masih kecil itu sangat membutuhkan
kasih sayang. Namun, karena alasan penyakit HIV/AIDS tersebut Giyan kucilkan.
Koreografer Impessa Dance Combani menjabarkan dalam tariannya dengan dukungan metafor
kursi goyang sebagai simbol kasih sayang.
Konsistensi Joni Andra untuk
mengangkat tema yang lebih urban dalam tariannya itu, mampu menggugah mainset
penonton pada tatanan nilai. Bahwa, Joni Andra membuka diri untuk
memperjuangkan penderita HIV/AIDS dengan pemberlakuan yang sama, sehigga tidak
ada perbedaan, intimidasi terhadap HIV/AIDS. Sebab, penderita HIV/AIDS juga
butuh kasih sayang serta perhatian yang sama di tengah kehidupan sehari-hari.
Sehingga, perhatian dan kasih sayang itulah penderita HIV/AIDS bisa berumur
lebih panjang, karena ada motivasi dilingkungannya sendiri.
Selanjutnya, Kaba Festival 2,
Jumat, 11 Desember 2015 Impessa Dance Company kembali mengangkatkan tema
HIV/AIDS. Tema yang sama dengan tahun lalu. Hal ini tentu menarik untuk di
simak dari segi artistiknya, baik dari musik, tata cahaya serta alur tarina
serta properti dalam pertunjukan "9 Perjanjian Darah" tersebut.
Kaba Festival tahun ini, dukungan
artistik Joni Andra terus mengalami perkembangan. Joni Andra memperketat
penguatan dukungan artistik dalam pertunjukannya dengan menghadirkan tiga buah
tong (drum) di pentas. Tiga buah drum di atas panggung tersebut terselip pesan,
ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai harus berperan dalam upaya pencagahan
HIV/AIDS. Tiga buah drum tersebut disimbolkan dalam petatah petitih minang
"tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan,".
Joni Andara dalam peristiwa
tariannya telah membuka ruang imajinasi penonton untuk menelaah astistik yang
dimainkan. Personifikasi tong yang dipukul oleh penari untuk melahirkan musik
perkusi di atas pentas. Namun, pukulan itu seperti bulan tabuh sebagai penanda.
Bahwa, persoalan HIV/AIDS juga harus menjadi pembahasan dan Kajian oleh Alim
Ulama, Cadiak Pandai serta Ninik Mamak.
Kemudian tong tersebut juga
memberikan penada pekaba bahaya seperti kentongan pos jaga di kampung-kampung.
Selanjutkan, eksplorasi musik dengan melahirkan bunyi musikalitas yang sunyi di
atas pentas. Musikalitas dan tarian itu seakan mengisahkan tungku tigo
sajarangan yang tidak lagi bersuara dalam pencegahan HIV/AIDS di tengah
masyarakat. Joni Andra begitu rapi menjaga dan menata artistik
pertunjukan yang di rancangnya itu. Sehingga kegamangannya dan kegelisahannya
melihat budaya minang hari ini tergambar dalam pertunjukan tersebut.
Ratu Selvi Agnesia seorang
pengamat teater menyebutkan pertunjukan Impessa Dance Company Koregrafer Joni
Andra ini gagasannya sungguh menarik dan mengejutkan. Karena tema yang
berhubungan dengan HIV/AIDS itu merupakan tema lebih dikenal oleh masyarakat.
Kemudian, hubungan homosek sual dengan lawan jenis juga persolaan lebih dekat
dalam kehidupan sehari-hari.
Ratu Selvi Agnesia memberikan
penggambaran terhadap pertunjukan Joni Andra. Ratu Selvi Agnesia memberikan
sebuah tafsiran terhadap tong tersebut dimetaforakan sebagai kondom atau (alat
kontrasepsi). Ratu Selvi Agnesia menilai bahwa potensi tarian tersebut tidak
hanya didasari sebagai semua penarinya Impessa Dance Company adalah laki-laki.
Namun, hubungan lawan jenis tersebut telah tercermin dalam gerakan-gerakan tarian
Koreografer Joni Andra.
Pertunjukan tersebut menurut Ratu
Selvi Agnesia sangat "mengejutkan". Sebab mereka (penari) menggunakan
teknik-tenik tari yang cukup mengejutkan dengan gerakan yang energik. Karena,
pertunjukan tari di Jakarta sendiri, bagi Ratu Selvi Agnesia tidak ditemukan
teknik tari dengan energi yang luar biasa tersebut. Meskipun latar belakang
penari-penari yang dimiliki Joni Andra tersebut beragam. Penarinya bukan
berasal dari akademisi tari. Tapi, mereka adalah orang seperti masyarakat
umumnya, seorang pekerja, pedagang kaki lima. Namun sangat menarik sekali
dengan teknik tariannya begitu bagus. Apalagi mereka mengangkat tema yang dekat
dengan masyarakat kehidupan masyarakat, yakni tema urban tetang HIV/AIDS. Hal
tersebut menjadi kelebihan dalam pertunjukan yang baru saja berlangsung.
Disamping itu, Ratu Selvi Agnesia
juga mengurai sisi kelemahan pertunjukan "9 perjanjian darah"
Koreografer Joni Andra tersebut. Ratu Selvi Agnesia berpandangan bahwa
pertunjukan tersebut masih terdapat kekurangan. Ratu Selvi Agnesia melihat
kekuran tersebut pada perpindahan dari peristiwa atau penyampaian pesan dari
pragmen satu ke pragmen yang lain tidak jelas. Sehingga mempengaruhi terhadap
drama turgi tarian yang ingin disampaikan oleh Koreografer, termasuk pola
lantai yang masih kacau. Kemudian ditambah pula dengan insiden lampu yang mati,
sehingga tata cahaya pertunjukan pun mati.
Ratu Selvi Agnesia mengakui bahwa
pertunjukan ini sesungguhnya menjadi pertunjukan yang menarik untuk sebuah
tontonan. Pertunjukan tersebut menurutnya sebuah konsep lokal sangat menarik
untuk di cermati. Tatapi juga akhirnya tidak terlalu jelas apa yang akan disampaikan
dalam tarian tersebut.
Sesunggunya yang paling menarik
adalah potensi Kaba Festival ini. Bagaimana kita memaknai tradiri tersebut
sebuah sadisme. Tradisi tersebut selalu mengalami perkembangan, dalam arti
persoalan-persoalan minang yang sangat tradisi itu dibahas kepermukaan.
Bagaimana ABS-SBK tersebut sebagai acuan. Kemudia, bagaimana masyarat minang selalu
beraspora, sehingga orang minang yang menjadi kosmopolitan berfikiran luas dan
lebih terbuka.
Menurut Ratu Selvi Agnesia, bahwa
Kaba Festival ini menariknya adalah mempunyai potensi untuk membongkar persoalan
minang yang kosmopolitan.
Sementara itu, Budayawan Sumbar
Darman Moenir menyebutkan bahwa diminang kabau ada ungkapan, 'adat dipakai
baru, kain di pakai urang'. Nah, inilah sebuah kreatifitas.
Pencapaian-pencapaian koreografer tersebut susuai dengan falsafah minangkabau
itu sendiri.
Dia menilai selama ini gerakan
silat dan gerakan randai telah dimodifikasi sedemikian rupa. Sehingga jadihlah
wujud tarian yang manarik untuk di mikmati. Hal itu merupakan capaian-capaia
yang luar biasa dari kreator seni. Pertunjukan yang patut di apresiasi.
Melihat perkembangan musik dan
tari saat ini, perkembangannya dimasa depan akan lebih pesat lagi. Jika
dibandingkan dengan musik Ipsi di timur tengah, atau tari apece di Amerika
Serikat. Hal itu di garap oleh koreografer dan musisi sangat luar biasa. Hal
itu, telah ada di minangkabau dan sangat luar biasa pertumbuhan serta
perkembangannya.
Kaba Festival ini telah menjadi
inven Internasional. Impessa Dance Company dengan umurnya yang masih muda
dengan penari-penari, sebelumnya mencintai tari brigdenc barat. Saat ini Joni
Andra telah menemukan penarinya dengan tubuh lokal minang itu sendiri. Sehingga
dalam pertunjukan mencerminkan gerkan tradisi minang itu sendiri.
Meskipun Kaba festival,
bersentuhan secara langsung antara Joni Andra dengan Efi Mefri. Namun, kedua
koreografer ini memiliki ciri Khas masing-masing. "Joni Andra adalah Joni
Andra. Eri Mefri adalah Eri Mefri," tegasnya
No comments:
Post a Comment