Seolah-olah kita merasa kepala
dibentur ke tembok raksasa cina dengan sangat keras. Terkadang kita juga merasa
seakan berada di candi Borobudur duduk meditasi pada warisan dunia, atau
melayang seperti layang-layang berekor panjang. Hal itulah yang terasa saat ini
dengan berbagai polemik di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Namun,
benturan yang sangat keras tersebut justru kita tidak pernah merasakan sakit
secara harfiah tanpa ada memar yang membekas.
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,
Jikapun benturan yang keras membuat
kepala kita membiru atau memar tentulah sakit yang sangat luar biasa yang
mempengaruhi ketenangan kita. Atau pun kita diam seperti orang meditasi dengan
khusuk dan tidak mempedulikan hal-hal sekitar. Atau pun kita bereforia dengan
melayang tinggi dengan kesombongan yang tidak melihat hal-hal yang terendah
dari sisi kehidupan bermasyarakat. Benturan itu mulai terasa karena banyak hal
(Sebut saja seni budaya). Kenapa ada hal-hal dan kenapa pula orang-orang bicara
tentang hal-hal?
Namun hal itu mulai dikumpulkan dan
di garap menjadi sebuah pertunjukan. Dimainkan di atas pentas, dengan
materi-materi tentang kehidupan sosial kemasyarakatan. Mengangkat kejadian-kejadian
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kemudian di angkat dalam peristiwa
panggung. Sehingga terbentuklah pementasan yang di lengkapi dengan setting
panggung. Pada mulanya panggung di warnai dengan lampu-lampu yang bewarna.
Lampu-lampu yang bewarna tersebut mampu mensugesti penontonnya masuk dalam
suasana pentas prosenium dengan penontonnya.
Hal yang pertama yang ingin
disampaikan adalah mengenai seni pertunjukan yaitu teater. Teater merupakan
peran yang ada dalam interaksi sosial kemudian diangkat dalam realitas
panggung, teater tidak hanya sebatas dunia panggung hiburan, tetapi teater
dapat memberikan perubahan laku pemainnya sendiri kemudian para penontonnya
melalui pesan-pesan yang disampaikan. Kedua memilih berteater. Kemudian timbul pertanyaan
baru kenapa berteater? karena berteater adalah pilihan, belajar estetik laku
peranan orang lain yang dimainkan dalam proses pengaktualan diri baik di atas
pentas maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Kenapa pilihannya tidak tari atau
sebagai penari, ini juga akan kembali pada pilihan kita atau orangnya. Kemudian
pertanyaannya siapa itu penari. Penari adalah orang yang mempunyai kemampuan
dalam menari. Menari-nari adalah orang yang menari, yang telah dikonsep oleh
kreografer tari yang tidak latah sebagai penari dalam arti kata tidak meniru
tanpa ada pencarian yang lebih mendalam.
Sementara Latah adalah kebiasaan
yang diluar nalar dan tidak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dilingkungannya dan “mentah” dalam estetika ruang gerak dalam realitas
kehidupan bermasyarakat dengan menentukan arah tindakan kearah yang lebih baik
berdasarkan perhitungan. Nah, untuk menyikapi “latah” tersebut maka muncul
istilah Kontemporer (kekinian). Ada pembongkaran terhadap sesuatu terhadap
ide-ide dan gagasan yang lebih dekat dan akrap dengan kekinian (up to dead).
Pendekatan kontemporer
Pendekatan kontemporer dengan
menyikapinya mengacu pada pemikiran yang personal dan bersifat otonom oleh
kreator. Gerak dasar silek laumbek misalnya tidak lagi di pandang sebagai silat
tradisi Pariaman, tetapi hanya di pandang sebagai sumber penghasil gerak yang
secara jelas dapat dieksplorasi menjadi “tarian”. Salah satu contoh adalah
pemeran tokoh malin Deman dan malin Kundang dalam pertunjukan “Tanah Ibu
(episode tanah asal)” naskah sutradara Suhendri yang mengeksplorasi laumbek
pada personifikasi dramatik emosi pemain yang di pentaskan di teater utama
taman budaya november 2012 lalu.
Penafsiran kembali dari sesuatu yang
sudah, untuk diwujudkan dalam penggarapan yang utuh oleh kreator kemudian
mewujudkannya kedalam bentuk yang baru. Gerak yang dimainkan dalam bentuk yang
ada dihayati, diresapi esensinya, kemudian diimajinasikan dan dicari
kemungkinannya untuk diolah menjadi gerak tubuh yang baru bagi aktornya.
Sesuatu yang sudah ada ini diolah dan diaktualisasikan (direalisasikan) dalam
bentuk wajah yang berbeda-beda dengan bentuk asalnya. Inilah yang di sebut
tafsiran kontemporer.
Fakta kontemporer kehidupan
“negative” seni pertunjukan di minangkabau. Ada berberapa hal yang perlu kita
cermati bersama bahwasanya nilai budaya yang makin menurun dari pertumbuhannya.
Seni tradisi tidak dinikmati oleh masyarakatnya melainkan oleh orang-orang
tertentu. Misalkan seni tradisi ditampilkan dalam acara-acara resmi
kepemerintahan atau pun acara-acara resmi lainnya. Kenapa seni tradisi tidak
lagi tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan gelanggangnya?
kenapa hal ini bisa terjadi?
Tradisi seni merupakan bagian dari
kehidupan harian masyarakat nagari-nagari yang menyelingi rutinitas pekerjaan
di ekonomi pertanian. Bertolak pada sejarah bawasanya kesenian itu tumbuh di
tengah masyarakat adalah peristiwa anak nagari. Sepulang mereka bekerja dan
bertani baru mereka berkesenian. Padi manguniang jaguang mangupiah. Ini lah
yang di lakukan oleh orang terdahulu untuk proses keseniannya. Sebut saja “Tari
Panen” yang bercerita tentang proses menyabit padi, “tari piriang” syukuran
setelah panen kemudian randai yang mempunyai pesan-pesan dan cerita.
Proses pelestarian nilai budaya
melalui penyampaian dan ajaran langsung dari tetua adat masyarakat mendapat
kaba, cerita rakyat, gurindam, dan anggota masyarakat akan mengalami transmisi
nilai budaya dan apresiasi terhadap berbagai ajaran sosial yang diungkapkan
dalam pertunjukan.
Secara asumtif, kesenian merupakan
elemen dalam kebudayaan terintegrasi sebagai sumber nilai estetis, ekspresif,
kognitif dan hasrat serta emosi (passion). Maka nilai-nilai yang terkandung
didalamnya adalah jiwa kebuayaan itu sendiri. Sebut saja budaya pemain atau aktor
di atas pentas sebagai medianya.
Actor dan dirinya memiliki pengertian posisi
dengan segala perlengkapan dirinya baik secara fisik ataupun non fisik. Proses
penciptaan pengkaryaan gerak tubuh aktor atau pemain dipentas yang berpijak
dari penggunaan idiom-idiom gerak (silek laumbek) bagi pembentukan dan tubuh
aktor berakar tradisi yang bentuk dan struktur tradisi sangat jelas sekali.
Namun ide-ide penggarapannya masih berada pada lingkaran-lingkaran gelek silek
laumbe yang dikembangkan.
Sebab, aktor media utamanya adalah
dirinya sendiri, tubuh dan sukmanya, disana ada panca indera, anggota tubuh,
peratan suara atau vocal. Dalam sukma actor ada semangat, kemauan, imajinasi,
emosi, daya ingat dan itelegensia. Actor sesegera mungkin melakukan ekplorasi
tubuhnya dengan baik dan tidak terhalang oleh pikiran-pikiran takut salah untu
berbuat sesuatu. Bukankan keberhasilan itu berawal dari “kesalahan-kesalahan”?
Maka tidak ada salahnya kita perlu
memahami ungkapan Soekarnao presiden pertama RI ini bahwa “apa bila dalam diri
seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat sesuatu kebaikan, maka
jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan
selangkahpun. Dalam hal ini apa yang di seput “proses kreatif” dengan maksud
kebaikan kenapa harus takut dan malu. Maka dalam ajaran agama ditegaskan pula
”sampaikalah olehmu jika satu ayat”. Pesan ini jelas pada tatanan nilai kerja
keras tanpa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu kebaikan.
Tugas dan tanggung jawab utama
seorang pemeran adalah membawakan peran sesuai dengan persi yang tersedia
untuknya, baik yang diarahkan oleh sutradara atau berdasarkan penemuan-penemuan
sendiri dari hasil eksplorasi dan latihan yang kontinyu.
Sebagai pemeran ia adalah sebagai
penyampai gagasan, pikiran, ide-ide atau opini-opini yang harus disampaikan
kepada public (audience). Pada tingkatan tertentu pemeran bisa saja se-imbang
dengan Agamawan yang menyampaikan pesan pada umat, seorang Negarawan kepada
rakyatnya. Sehingga kedudukannya dalam seni pertunjukan pemain harus mampu
menyuarakan pembaharuan-pembaharuan bagi kepentingan kemanusiaan.
Pemainn tidak hanya sekilas sebagai
pemeran, tetapi sebagai seniman (kreator) yang bertanggung jawab kepada
masyarakat pendudungnya. Sebagai seorang creator ataupun pemain harus mampu
mengembangkan imajinasinya, tetapi nalar untuk pencapaian tujuan dan titik
tertentu demi kepentingan personifikasi ruang di atas pentas. Maka tolak ukur
nalar tidak akan mencapai bentuk dari personifikasi setting di atas pentas
sehingga memotret sisi ruang pentas yang lebih imajinatif pada pengamatan
penontonnya.
Alber Einstein tokoh filsfat ini
membenarkan tentang Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B namun
imajinasi membawa anda dari A kemanapun. Jadi, sebagai kreator penting kiranya
mengolah imajinasi dengan latihan-latihan yang kreatif dengan cara
mengeksplorasi tubuh sebagai media, meng-ekplorasi benda-benda, baik benda mati
ataupun benda hidup sebagai pendukung kekuatan pertunjukan dalam pentas.
Pandangan terhadap seni
Secara konseptual, seni atau
kesenian merupakan salah satu unsure dalam kehidupan sosial yang tengah
memberikan ruang ekspresi dan emosi yang di wujudkan dalam media ekspresi dan
penyampai. Media itu sediri adalah tubuh para pelakunya di pentas. Sehingga
lebih kominikatif terhadap para penontonnya. Kesenian itu mendapat tempat atau
media tersendiri bagi penontonnya. Maka seni itu dapat dinikmati oleh orang
banyak dengan ragam sudut pandang.
Meskipun seni itu universal namun
tidak sema individu mampu mewujudkannya, oleh karena sifat khasnya membutuhkan
percakapan tertentu yang harus dipelajari dan juga di ajari kepada talenta
seseorang. Seni dalam tataran sosiologis merupakan media kreatif dan
komunikatif dalam intraksi dan integrasi sosial sehingga menjadi saluran
ekspresi individu dalam kelompok dan mental kelompok yang cenderung berkaitan
dengan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan. Seni adalah realitas yang
universal yang spesifik dan ideografis yang berwujud berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lain yang dipandang secara eksistensialis.
Secara praktis, profesi seni tidak
dapat dilaksanakan secara independen namun bersifat lintas media
(cross-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai elemen masyarakat ke
masyarakat, seni ini di pandang secara eksitensialis. Maka dalam seni banyak
perumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (seolah-olah
hidup). Sebagai contoh pertunjukan KSST Noktah “Tanah Ibu (epidod tanah
asal”karya/sutradara Syhendri yang banyak memakai simbol-simbol
(personifikasi).
Nah, Pertunjukan ini seolah-olah
membenturkan kepala kita pada aliran filsafat yang mengajarkan bahwa setiap
pengetahuan pada hakikatnya adalah penafsiran belaka yang dapat menajak para
penontonnya lebih persuasive dari pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui pertunjukan.
Secara praktis, posisi seni tidak dapat dilakukan secara independen, namun
bersifat lintas media (ceoss-cutting) sehingga dapat berada pada berbagai
elemen masyarakat dan di tunjang oleh berbagai unsure dalam masyarakat, seperti
Agama, teknologi, pendidikan, politik, ekonomi dll.
Berdasarkan pemahaman ini
seni (kesenian) selalu merupakan kajian tak terpisahkan dalam berbagai sendi
kehidupan manusaia dan masyarakat pearan kesenian dalam masyarakat adalahan
untuk mengekspresikan, menyampaikan dan mewariskan nilai-nilai dalam kebudayaan
dan sekaligus untuk melestarikan tradisi. Ada sudut pandang lain tentang seni
oleh pakarnya menurut Meriam, 1990 :229 seni dipahami sebagai wujud dari suatu
wujud dari suatu bahasa simbolik. Ada ungkapan yang lain dari seni untuk
mengatakan sesuatu. Seperti rupa, musik, tari dan teater dengan menggunakan
idiom-idiom dan personifikasi dalam seni.
Seni tradisional minangkabau
memiliki kekayaan konsep yang kekuatannya berada pada filsafat estetika
kauniyah (kosnologi) yang mensisihkan orang minang arif membaca tanda-tanda
alam. Alam takambang jadi guru. Membaca tanda-tanda alam yang memungkinkan
untuk sebuah kajian ilmu. Samapai-sampai stuktur bangunan rumah gadang bertuah
dari alam misalnya. Kenapa tiang rumah gadang miring. Belajar dari kemiringan
pohon kelapa dipesir pantai yang menyongsong angin. Kenapa bergonjong dan
runcing, konon gonjong tersebut adalah sebagai penakar petir. Dan banyak
hal-hal lain yang belum semuanya di tafsirkan.
Nah, dalam hal ini apakah seni itu
akan terjadi akulturasi budaya, dalam pemahamannya atau tidak berubah sama
sekali. Salah satu aspek perbedaan kultur yang dapat di amati yang mendapat
perhatian besar adalah: perilaku non-verbal. Kultur dapat di bedakan dari
sinyal non-verbal para anggota sejati, sentuhan, kontak mata, gerak tubuh dan
kedekatan (John McLeod:2008:282) maka tidak ada salahnya jika seni di
Minagkabau dapat berkembang sesuai dengan kehendak dan analisis yang mendalam
bagi kreatornya asalkan tidak keluar dari koredor yang telah di sepakati secara
sosial.