International
Performing Art Festival Of Padang Bagalanggang 2 tahun 2014
oleh: Julnadi
Inderapura
Panggung kosong
dari benda-benda, seorang perempung yang berbaju tanpa lengan duduk di atas
panggung. Dia memperkenalkan buku puisi karangannya dan sekaligus membacanya untuk
penonton. Lampu panggung yang netral
memperjelas suasana yang akarap dengan penonoton. Perempuan tersebut berusaha
berkomunasi dengan sapaan ramah. Peneonton pun yang menyasikan menjawab sapaannya. Tanpa
di sadari pertunjukan baru saja dimulai.
Panggung kemudian mulai terisi diisi aktor Su-en/su-en yang
melengkapi ruang panggung yang kosong. Panggung
di isi dengan setting yang sarat dengan simbo-simbol yang dihadirkan diatas
panggung. Dari sudut pojok kanan panggung ruang penonton, Su-en/Su-en meletakkan satu
batang bunga dalam pot. Kemudian cerek
alumenium mini yang disiapkan untuk mengiram bunga tersebut. Selanjutnya
Su-en/Su-en meletakkan satu buah semangga yang berukururan jumbo. Setelah itu
dua butir batu seukuran kepala juga mengisi ruang di atas pentas. Selanjutnya
keranjang yang berisi daun kering dan pisau yang katanya warisan kakeknya juga
hadir memaknai ruang di atas pentas.
Setelah semua setting pendukung telah dihadirkan panggung kemudian menjadi berjiwa dan bermakna. Perempuan yang berpakaian serba hitan tersebut duduk bertengger di bibir panggung kemudian dia menjatuhkan badannya kepada penonton. Tubuh perempuan tersebut tiba-tiba berubah dan menjadi tak lazim bagi penglihatan keseharian kita.
Setelah semua setting pendukung telah dihadirkan panggung kemudian menjadi berjiwa dan bermakna. Perempuan yang berpakaian serba hitan tersebut duduk bertengger di bibir panggung kemudian dia menjatuhkan badannya kepada penonton. Tubuh perempuan tersebut tiba-tiba berubah dan menjadi tak lazim bagi penglihatan keseharian kita.
Perempuan tersebut melakukan komunikasi dengan penonton
yang sedang duduk lesehan dengan cara menyudu-nyudu penonton sehingga penonton
terkuak dan bergeser dari tempat duduknya. Penonton yang merasa risik disertai
rasa takut akibat proses laku dramatik yang dikembangkan oleh se-un/se-un
beberapa kali. Setelah itu, su-en/su-en kemudian beranjak keruang pentas
mengabil kupluk emas yang telah disiapkan.
Setelah kupluk dipasang dikepala dia kemudian menyiramkan bunga yang tumbuh didalam pot sehingga air yang ada dalam cerek habis. Su-en/su-en kemudian kembali menginterpretasikan bunga sebagai sumber kekayaan alam, dengan mulut yang menganga simbiotik-kata dalam menginterpretasikan mimik dan ekpresi dalam Studi-Mimesis telah menghantarkannya pada alam yang damai, sejuk dan indah. Hal itu tergambar dari pola gerak tubuh dan mimesis (meniru) alam yang bergerak, sehingga Kelembutan pada air terjun dari percikan embun yang menyentuh tubuh sehingga kesejukan itu tergambar dari bahasa tubuh Su-en/Su-en.
Setelah kupluk dipasang dikepala dia kemudian menyiramkan bunga yang tumbuh didalam pot sehingga air yang ada dalam cerek habis. Su-en/su-en kemudian kembali menginterpretasikan bunga sebagai sumber kekayaan alam, dengan mulut yang menganga simbiotik-kata dalam menginterpretasikan mimik dan ekpresi dalam Studi-Mimesis telah menghantarkannya pada alam yang damai, sejuk dan indah. Hal itu tergambar dari pola gerak tubuh dan mimesis (meniru) alam yang bergerak, sehingga Kelembutan pada air terjun dari percikan embun yang menyentuh tubuh sehingga kesejukan itu tergambar dari bahasa tubuh Su-en/Su-en.
Tubuh yang menggigil tergambar dalam ruang panggung,
sehingga tubuh su-en/su-en hilang keseimbangan dengan kaki yang terinjit. Pergantian adegan di susul dengan pembuangan kupluk
emas dan diganti dengan wiks merah. Kemdian su-en/su-en kembali menghampiri semangka,
perlahan diangkat hingga dada kemudian dijatuhkan kelantai. Semangka itu terbelah dan terbagi-bagi dengan warna
yang memerah seperti bungkahan daging segar.
Anonim wiks
yang digambarkan dalam Su-en/Su-en butoh company mewakili sosok pemimpin atau
pelaku yang merusak kekayaan alam demi kepentingan pribadi. Dedaunan kering
yang tercecer dalam keranjang personifikasi tubuh Su-en/Su-en yang kehilangan sumber
mata air akibat kegundulan hutan. Sehingga tetesan air yang keluar dari bawah
pot dijilat penari, seakan berpesan hutan dan taman tidak lagi mampu membendung
mata air karena alam telah dirusak. Pertujukan yang dekat kaitannya dengan
falsafah minang. Alam Takambang Jadi Guru, namun, bagi su-en/su-en adalah
tarian adalah alam itu sendiri, biarkalah alam yang menari dan menggerakkannya.
Disisi lain su-en/su-en kembali membuka mulutnya seakan
beriakan yang memdalam saat su-en/su-en kembali mewakili bunga dalam pot.
Seakan-akan su-en/su-en nyinyir mempertegas “berusaha untuk menyelidiki
hubungan tubuh penari dan area sekitar tarian yang mencerminkan kesan-kesan
yang didapat saat terjadi pertemuan dan tumbuhkan antara suara, bebauan dan
warna-warni wilayah sekitar lokasi tarian.”
Laku-dramatik dari tubuh su-en/su-en yang “keluar” dari
alam pikiran, sehingga kehendak tubuh untuk bergerak tidak dikontol oleh
jejaringan otak. Inneraction tubuh yang mengkominikasikan personifikasi
kupu-puku berpasangan yang ramah dan selalu mencintai ke indahan alam dengan
bunga-bunga. Su-en/Su-en menggambarkannya dengan lenggang-lengkok telapak
kakinya di atas pentas dengan posisi badan yang rebah kelantai.
Setelah itu, semangka yang terbelah yang memerah seperti
daging yang dimakan melalui mulut seperti binatas buas yang hidup dihutan yang
memakan mangsanya. Namun, setelah setelah hutan tidak adalagi persembunyian dan
ekosistem hewan yang terlindungi perlahan punah. Selanjutnya, para pembesar
(termasuk kita sebagai pelaku) yang bebal seakan menutup mata melihat kejadian
tersebut. Sehingga personifikasi batu yang dan wajak ditutup dengan kain merah.
Su-en/su-en juga membalut batu dengan sebilah kain yang lain dan sama-sama
berwarna merah. Suasana itu membuat tegang, sebab agedang anti klimaks
terbungkus rapi pada dua simbol yang dihadirkan. “antara kepala batu dan kepala
manusia, mana yang paling keras di antara keduanya.” Sebab keduanya telah
terbungkus oleh kain yang berwarna merah. Su-en/Su-en menyamakan kedudukan
kepala-nya dengan butu yang terbungkus di lantai.
Kemudian, wiks yang mewakili babak selanjutnya yang
dipukul-pukul di pantat mewakili kejamnya pembesar serta pekerja tambang yang
mengeruk hasil bumi yang diperkuat dengan akronim musik mesin tambang yang
mengaum. Sehingga ektetika batu diatas pentas menjadi ruang imajiner tersendiri
pagi penikmat pertunjukan. Kekayaan properti (simbol yang dihadirkan) di atas
pentas dengan tarian memaknai judul tarian su-en/su-en yang “terinspirasi dari
mana Pulau Sumatera, yakni Swarnadwipa, yang berarti Pulau Emas dan kata
Samudra yang berarti pertemuan air. Memuji hidup dan kematian, dan kesemuan
diantaranya. Memuji Cahaya dan Kegelapan, dan kesemua diantaranya. Memuji yang diluar, dan kesemua diantaranya. Dalam
antara dan Diseberang. Memuji Air, Hutan, Gunung, Makhluk Hidup. Bagaimana
hidup harmoni bersama alam liar dan yang lainnya? Memuji semarak 25 bahasa.”
Kata Su-en/Su-en di akhir pertunjukan.