Laporan--- Julnadi Inderapura
Senin, 8 Juni 2015 sore itu penulis menjambangi rumah warga RT 1 RW 8 Kelurahan Kotolalang Kecamatan Lubuk Kilangan. Sore itu, hujan lebat mengguyur kota padang membuat kondisi jalan menjadi agak licin menuju rumah yang dimaksud.
Sesampainya di tempat yang dituju, sore itu penulis melihat sebuah rumah kayu yang ditutupi dengan terpal warna biru di depannya. Sementara di samping depan tampak serumpun pohon pisang batu yang menutupi pemandangan saat dilihat dari jalan. Rumah kayu itu, ternyata di huni oleh perempuan paruh baya yang ditinggalkan suaminya sekitar sebulan yang lalu.
Sore itu, penulis singgah kerumah kayu tersebut untuk silaturrahmi dan hanya sekedar bertanya-tanya. Pemilik rumah pun langsung menyambut kadatangan penulis, lalu mengajak untuk masuk rumah dan duduk lesehan dengan pemilik rumah ruangan tengah. Karena rumah tersebut memang tidak memiliki peraboran berupa kursi tamu seperti rumah tetangganya yang lain.
Rumah yang berukuran kurang lebih sekitar 7x8 meter dindingnya telah bocor dan juga di tambal dengan seng bekas. Kondisi dapur dindingnya bolong-bolong karena seng bekas yang lapuk dimakan usia. Kemudian, dapur berlantaikan tanah itu, terlihat becek karena percikan air hujan. Hanya ada beberapa perabotan dapur yang tampak di dalam rumah tersebut seperti, satu buah rak-rak piring, yang menempel didinding dapur. Satu buah meja berukuran kecil untuk melatekan air, kemudian satu buah lemari kecil yang telah usang.
Sore itu, rintik rujan di atas atap terdengar mengaum. Rumah terlihat gelap karena tidak memiliki penerang. Selain itu, kondisi gelap juga di pengaruhi oleh asap yang mengepul setiap malam. Karena pemilik rumah memasak masih mengenakan kayu bakar.
Dialah, Syamsiar, 55, pemilik rumah kayu yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Perempuan yang bekerja seharian sebagai buruh cuci pakaian itu, tampak kesulitan untun melengkapi kebutuhan harian. "Syukurlah orang sekitar banyak yang peduli. Tetangga suka membantu memberikan beras dan bahan masakan. Saya hanya hidup dari belas kasihan orang saja," sebut perempuan yang telah memutih uban di kepala.
Perempuan paruh baya itu memiliki enam orang anak. Saat ini anak yang ditanggunginya untuk biaya sekolah anak tiga orang. "Anak saya yang masih sekolah ada tiga orang. Aril Paling kecil saat ini duduk dibangku kelas 3 SD. Madrasah Tsanawiyah kelas 1 yang bernama Elimarni. Kemudian, Nasrul di SMA," katanya sembari meremas jemarinya yang kasar itu.
Dia mengaku, untuk keperluan harian saja terasa sulit dan lebih berat. Pendapatannya hanya bisa diandalkan memalui menyuci pakaian. Ada empat buah rumah yang menerima jasanya untuk dicucikan pakaianya. "Saya menyuci pakaian di rumah orang. Ada empat buah rumah saya mencuci pakaian miliknya. Selama menyuci pakaian di rumah warga tersebut dengan penghasilan kurang lebih dari Rp 1 juta dalam sebulan," katanya sembari menyandarkan badanya ke dinding.
Seraya menghela nafas panjang dia kembali melanjutkan perkataannya. Meskipun pekerjaan yang dilakukan itu terasa amat sulit dan berat, namun ia harus menyelesaikannya demi ke enam buah hatinya. "seberat apapun harus saya pikul dan saya kerjakan. Karena untuk kebutuhan harian dan biaya anak ke sekolah, serta membeli buku tulis. Saya harus melengkapi kebutuhan anak sekolah, berharap nanti mereka tidak mewarisi saya yang 'marasai'. Paling tidak mereka disekolahkan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang tinggi. Agar masa depan mereka lebih baik dari pada saya," akunya sebari menatap kosong di langit-langit rumahnya yang berbintang itu.
Sore itu, hujan mulai sekidit reda. Nanum sisa rintik hujan yang menembus atap yang bocor pun masih meresahkan hati penghuninya. Perempuan paruh baya itu, resah jika hujan ini terus-terusan. Jika huja ini terus berlanjut rumahnya akan basah karena atap rumah kayu yang di huninya itu bocor.
Meskipun lantai rumah perempuan paruh baya itu telah berlantai semen sebagian yang menjadi kebanggaannya. Karena di atas lantai tersebut mereka bisa duduk bersama. Walaupun lantai rumah tersebut beralaskan tikar telah sobek, namun mereka tetap nyaman duduk di lantai. Sementara bagian dapur masil berlantaikan tanah.
Terlihat di bagian dapur rumah Syamsiar abunya telah dingin. Dia memasak masih mengunakan tungku dan kayu. Sore itu belum ada tanda-tanda bagi Syamsiar untuk menghidupkan tungku daparnya. Karena memang belum ada uang untuk membeli beras untuk memasak. "Biasanya saya memasak pada malam hari. Karena sore ini belum memiliki uang maka belum ada yang akan di masak, setelah dapatkan uang barulah membeli beras untuk dimasak," katanya sembari memperbaiki duduknya.
Dia menyebutkan, kerena kehidupan sang suami pun pergi entah kemana. Hingga saat ini untuk menghidupi keluarga menumpu pada kedua tangannya. "Dulu suami saya bekerja di batang air sebagai buruh bongkar muat batu dan pasir ke mobil. Namun, pendapatan tidak menentu terkadang ada, dan terkadang tidak. Kemudian, suami telah pergi dan meninggalkan saya, sehingga beban keluarga hrus di tanggung sendiri," sebutnya dengan mata yang berkaca.
Dengan tatapan yang kosong dia mengaku, tidak pernah monolak pemberian siapa saja yang ingin monolongnya. "Tetangga juga ada yang memberikan pakaian. Kemudian ada pula yang memberikan makanan. Di kelurahan juga mendapatkan batuan beras raskin," akunya.
Pendapatan yang tidak seberapa yang di peroleh tiap bulannya itu sehingga tidak satupun barang perabotan di milikinya. Tidak ada tempat tidur bagi buah hatinya saat tidur. Hanya jika tidur beralaskan dengan kasur lantai yang dikenal dengan kasur palembang. Selin itu, rumah yang di huni tersebut belum ada penerangan seperti listrik.
Untunglah tetangga basih mempunyai perhatian terhadap Syamsiar, sehingga rumah Syamsiar bisa menikmati terangnya listrik. Listrik yang didapatkan merupakan penyambungkan kabel listrik dari rumah tetangga untuk ukuran satu buah bola lampu. Satu buah bola lampu tersebut berada di ruangan tengah sebagai pusat penerangan. Selain itu, dirumah tersebut juga tidak terlihat satu pun barang elektronik yang dimilikinya.