Masyarakat masih saja kesulitan untuk
mengakses layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kendati memiliki
'kartu saksi' namun tak berarti masyarakat dengan mudah mendapat pelayanan
kesehatan. Maulai dari antrean panjang saat mendaftar, masij adanya kewajiban
pembayaran untuk mendapatkan pelayanan, beli obat hingga kesulitan untuk
mendapatkan kamar di rumah sakit.
Lapaoran : Julnadi Inderapura, Padang
Rabu 29 April 2015 kemarin penulis
mencoba menjambangi ruang tunggu RSUP Dr M Djamil Padang. Di tempat tersebut,
terlihat dipadati pengunjung yang akan berobat. Selain itu, pengunjung juga
tampak gelisah karena kelamaan menunggu antrean panjang. Apa boleh buat, di
ruang tunggu tersebut meskipun terdapat banyak kursi, namun tidak semua
pengunjung yang dapat tertampung. Pengunjung ada yang berdiri dan mondar mandir
karena takut namanya tak terdengar di panggil petugas.
Meskipun memiliki pengeras suara, namun
suara di pengeras suara tersebut seakan tak terdengar. Karena banyaknya
pengunjung yang ada dalam ruangan tersebut dan saling cerita tentang penyakit
yang dialaminya.
Para pengunjung yang datang pun kian
bertambah menjelang siang hari. Hingga pasien yang ingin mendapatkan pelayanan
kesehatan semakin menumpuk akibat listrik mati. Nomor antrian pun di buat
secara manual dengan menuliskan nomor antrean dengan pena. Meskipun demikian,
prosedur antrean obat terus berjalan seperti biasa. Lampu ruang tunggu tersebut
mati dari pukul 09.45 dan kembali menyala sekital pukul 11.00.
Salah seorang pengunjung, Rizki, 27,
mengaku kedatangannya ke RSUP M Djamil dari Padangpanjang untuk mengantarkan
orangtua laki-lakinya berobat. Orang tua Rizki menderita penyekit jantung.
Sebelum di rujuk ke Padang, Rizki telah membawa orang tuanya untuk berobat ke
RSUP Padangpanjang. "Dokter menyarankan untuk dirujuk ke RSUP Dr M
Djamil," katanya.
Untuk pengobatan orangtuanya, ia
menggunakan kartu BPJS. Kendati merasa pelayanan BPJS sedikit lamban, namun ia
tetap bersyukur biaya rumah sakit ditanggung BPJS, walaupun masih ada beberapa
obat yang harus di beli ke luar. "Obat yang dibeli tersebut tidak di
tanggun BPJS. Saya tidak mengetahui alasan kenapa obat-obat tersebut tidak di
tanggung sepenuhnya oleh BPJS," katanya.
Dia menyebutkan, pemegang kartu BPJS
tergantung kelas. "Saya dari Padangpanjang memakai BPJS kelas 2. Tidak ada
klaim dan bentuk upaya apapun untuk biaya obat. Saya tidak terlalu paham protes
layanan BPJS," sebutnya.
Saat ia berusaha untuk mendapatkan akases
pelayanan usai di rujuk RSUD Padangpanjang, ia pun berniat menyelesaikan
administrasi. Namun, karena lampu mati, petugas menyarankan datang siang hari
setelah lampu menyala karena sistemnya online. Seorang ibu muda yang berambut
pendek memakai baju warna cokelat juga terlihat memeluk anak perempunnya
berkepala besar. Ibu muda tersebut mengaku bernama Yuyuk, 35, warga Muarobungo
Provinsi Jambi. Ia datang untuk mengobati sakit kanker otak yang diderita
anaknya.
"Saya di Padang sejak tiga hari
lalu. Anak saya sudah harus di operasi tahap dua. Namun, hingga saat ini belum ada
penanganan dari RSUP Dr M Djamil untuk di rawat inap. Seharusnya telah ada
penanganan dari RSUP Dr M Djamil, tapi surat konsul dokter anak saya hilang.
Saya tidak tahu di mana tercecer surat konsul dokter tersebut," katanya.
Dia menyebutkan, akibat surat konsul
dokter anak hilang tercecer, anaknya belum dapat dirawat. "Saya harus
menunggu dokter dulu untuk konsul. Karena surat konsul tersebut harus ada.
Kalau tidak ada, maka perawatan mungkin di tunda lagi besok. Saya berobat
menggunakan BPJS," katanya.
Lain lagi cerita warga Pasarambacang
Zuwendrizal,45, kendata mengantongi kartu BPJS namun tak cukup membantunya.
Karena kartu itu tak terlalu banyak membantu saat anaknya mengalami panas
tinggi dan step, ia membawa anaknya ke Rumah Sakit. Saat memperlihat kartu
BPJS, rumah sakit tidak mau menerimanya, dengan alasan harus ada rujukan dari
puskesmas. Sementara puskesmas tidak buka 24 jam. Sehingga, surat rujukan tak
mungkin bisa didapatkannya. "Akhirnya saya membayar dan pakai jalur umum
saja. Tak mungkin menunggu satu hari lagi, anak saya untuk mendapat rujukan ke
rumah sakit. Sementara, anaknya yang baru saja berusia 4 tahun butuh penanganan
segera," ucapnya.
Katanya, jika harus mengikuti prosedur
begitu, ia khawatir sesuatu yang buruk dapat terjadi pada anaknya menanti
pelayanan BPJS datang. Dia merasa lebih nyaman dengan pelayanan jaminan
kesehatan daerah (jamkesda) terdahulu. Di mana, jika dalam keadaan terdesak,
jamkesda masih dapat dipergunakan untuk berobat. "Saat namanya masih
jamkesda, jika dalam kondisi terdesak masih bisa tolak ansur. Namun, sejak
berganti nama dengan BPJS, bukan malah mempermudah justru mempersulit,"
ujarnya.
Katanya, dalam penempatan aturan ranjang
kaku. Tidak ada masyarakat yang menginginkan atau merencanakan akan sakit.
Bila, sakit itu baru terasa menjelang sore hari atau pada saat puskesmas tutup,
haruskan pasien menunggu satu hari untuk mendapat pelayanan. "Pasien sudah
sekarat, pelayanan belum juga didapat. Kalau kami harus lewat jalur umum pula,
untuk apa pakai kartu BPJS. Kalau pakai umum, setidaknta saya harus membayar
sekitar Rp. 90 ribu untuk biaya periksa dan biaya dokter dan obat,"
ucapnya.
Senada dengan itu, warga kuranji Ridwan,
37, juga mengaku kesulitan mendapatkan pelayanan BPJS. Dalam preminya, ia harus
mendapat pengobatan di tingkat pertama. Namun, pada saat hari libur, klinik
tempatnya mendapat pengobatan tidak buka. Sementara ia sedang mengalami demam
disertai menggigil yang kuat.
"Saya datangi klinik rupanya tutup
dan baru buka hari senin. Artinya, selama dua hari saya harus menunggu
mendapatkan pelayanan kesehatan. Saya berinisiatif datang ke rumah sakit dengan
membawa kartu BPJS, namun di tolak dengan alasan tak ada rujukan," ucapnya.
Lebih lanjut, disampaikan bapak dua orang
anak ini, setiap bulannya gajinya selalu di potong untuk membayar premi jaminan
kesehatan. Baik sakit atau tidak. Tapi, saat gilirannya sakit, katu BPJS tak
membantunya. "Kami bukan gratis berobat dan bayar asuransi tiap bulan.
Jika kami harus kelauar uang juga, lebih baik tak usah ikut BPJS kesehatan
karena tak ada artinya," lanjutnya.
Di tempat terpisah Humas dan pengaduan
masyarakat Gustafianof, menyebutkan RSUP Dr M Djamil memberlakukan pelayanan
menggunakan BPJS mulai dari 1 Januari 2014 lalu. Dia menyebutkan prosedur
layanan BPJS sistemnya sesuai daerah dengan peraturan pemerintah. Pelayanan
BPJS di RSUP Dr M Djamil sesuai dengan tipe C yakni rujukan dari dokter
keluarga, klinik. Jika pelayanannya tidak sanggup juga, kemudian rujukan dari
rumah sakit tipe D. Jika tipe D juga tidak sanggup, kemudian di rujuk ke rumah
sakit tipe A.
"Untuk pelayanan bagi pemegang kartu
BPJS itu sama. Namun, permasalahan yang terjadi saat ini adalah penindakan,
pengobatan dan obat. Obat tersebut ada yang di tanggung BPJS dan ada pula yang
tidak di tanggung pembiayaannya oleh BPJS. Sehingga obat yang tidak di tanggung
BPJS tersebut harus beli sendiri. Seperti obat penyakit jantung. Misalnya
pengguna BPJS dapat memperlihatkan hasil labor ke apotek obat-obatan yang
dibutuhkan. Jika obat tersebut tidak dibiayai oleh BPJS maka obat tersebut
tidak diberikan. Sebab obat tersebut ada pula yang tidak ditanggung oleh
BPJS," katanya.
Dia menyebutkan untuk pelayanan rawat
inap dibagi sesuai dengan kelas masing-masing pengguna atau pemegang kartu
BPJS. Yakni sesuai dengan kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. "Yang membedakan
adalah fasilitas kamar rawat inap. Untuk kalas 1 dalam satu kamar di huni oleh
dua orang pasien. Sementara kelas 2 dihuni oleh 1 sampai enam orang pasien.
Kalas 3 dihuni oleh empat orang sampai enam pasien. Pelayanan BPJS sesuai
dengan peraturan semua pembiayaan dengan peraturan semua pembiayaan pengobatan
ditanggung BPJS," katanya.
Kamis 30 April 2015 siang itu, penulis
berkunjung ke rumah sakit Semen Padang. Siang itu, banyak pengunjung yang
berobat kerumah sakit tersebut. Terlihat pengunjung rumah sakit yang di ketahui
bernama Albusrah,50, yang buru-buru menuju parkiran dan ingin cepat pulang.
Saat diwancarai, ia mengatakan tidak mengetahui prosedur pelayanan BPJS yang
menggunakan BPJS yang ada dirumah sakit Semen Padang. "Saya barusan pulang
membezuk teman sakit. Teman yang mengalami penyakit dalam. Teman saya
menggunakan BPJS tenaga kerja, tapi saya tidak tahu pasti tentang hal tersebut.
Saya kebetulan tadi di ruangan saat membezuk bertanya kepada teman. Kamu pakai
BPJS, teman saya menjawabnya," katanya.
Dia mengatakan untuk pelayanan BPJS tidak
tahu pasti, karena yang lebih mengetahui sebenarnya adalah orang yang
bersangkutan. "Orientit atau tidaknya yang bertolak dari BPJS itu sendiri.
Saya tidak bisa berpendapat. Maaf saya bauru," katanya sembari segera
bergegas pergi.
No comments:
Post a Comment