Batombe Kesenian Langka |
Laporan: Julnadi Inderapura, Padang
Cahaya bulan yang merah karena tertutup kabut asap. Orang-orang sibuk
dengan aktivitas masing-masing dengan gerobolannya. Ada yang sembari berdiri
bercengkrama di pelataran sembari memakan gorengan. Ada pula yang sibuk dengan
gadgat seraya tesenyum. Tak lama kemudian terdengar sumber suara mengajak masuk
para penonton ke gedung pertunjukan Manti Manuik.
Jam menunjukan pukul 20.00 malam pada Kamis, 3 September 2015 lalu,
Orang-orang tampak berdesakan masuk ke gedung pertunjukan, Mantin Manuik Festifal Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3. Sembari membuka alas
kaki mereka masing-masing, kemudian penonton menuju tempat duduk masing-masing.
Ada dua pertunjukan yang berlangsung pada malam itu Randai dan Batombe.
Randai yang ditampilkan pun mempunyai khas tersendiri dalam
penampilannya. Anak randai tidak memakai galembong seperti randai pada umumnya.
Namun, randai yang dimainkan Anak Nagari Sangir Batanghari ini anak randainya mengenakan kain sarung Palakaik atau Palakat. Kemudian tapuak (galembong) yang dipakaipun lebih keras dibandingkan
galembong. Kesenian tradisi randai dan Batombe yang berada di Nagari Stampus
yang merupakan kebiasaan rantau surambi dan rantau balai koto. keberadaan
nagari yang berada di empat koto itu, telah melahirkan kesenian randai tuo dan
batombe.
Selain itu, Keseni tradisi--Batombe--adanya hanya di nagari Stapus
Kecamatan Sangir Batanghari Kabupaten Solok Selatan tampil di Ladang Tari Nan
Jobang Tanggal 3. Kesenian Batombe merupakan kesenian langka yang sakral
berkembang di daerah Sangir perbatasan Solok Selatan dengan Darmasraya. Batombe
ini sediri keluar pada acara pengangkatan gelar mamak kegiatan adat alek nagari
dan acara pernikahan. Berbain Batombe tidak dibenarkan bermain sembarang dan
ditempat-tempat terbuka. Melainkan bermain batombe hanya dibolehkan pada acara
tertentu dan bertempat di rumah gadang. Sementara alat musik yang digunakan
pada saat batombe adalah biola (viol) atau rabab bagi orang Pesisir.
Syafruddin Pendendang dan Pelaku seni tradisi batombe mengatakan Batombe
merupakan bahasa asli dan bahasa tua di daerah Sangir. Batombe artinya
'berbalas'. Dalam kesenian tradisi dengan cara berbalas pantun. Pantun yang
dimainkan dengan bersajak AB-AB. Kesenia Batombe tersebut lahir sejak
turun-temurun dari leluhur. Meskipun kesenian batombe sempat fakum, namun
kesenian batombe ini kembali hadir ditengah masyarakat dengan pengelolaan
oleh nagari.
"Kesenian batombe ini dimainkan oleh pedendang dengan berbalas
pantun. Tidak ada pembatasan terhadap pemain dan pedendang batombe. Pemain
boleh atau pedendang boleh dilakukan dua orang pedendang dengan berpasangan.
Artinya pedendang lelaki dan pedendang perempuan. Berdendang batombe ini boleh
lebih dari dua orang, boleh empat orang dan boleh pula enam orang. Tidak batasan
pada pendendang, hanya saja di batasi dengan pola duduk pemain saat berdendang.
Kelompok perempuan dan kelompok laki-laki, karena pantun yang disampaikan dalam
bermain batombe cenderung tanya jawab. Kemudian penyampaiannya yang
didendangkan," katanya.
Kesenian batombe idealnya dimainkan oleh umur di atas 40 tahun. Pemain
atau pedendang batombe banyak didendang oleh janda dan duda. Sebab, jika
pedendangnya adalah seorang janda atau duda, maka tidak ada rasa cemburu dari
pihak keluarga. Kemudian
jika pemain masih berstatus suami istri makan hal tidak diinginkan pun dapat
terjadi. Atau sang istri bisa cemburu kepada sang suami jika memainkan batombe
dan begitu sebaliknya, sang muami juga akan cemburu pada istrinya yang memaikan
batombe. Maka, alasan-alasan inilah yang kemudian membuat kesenian tradisi
batombe ini hilang karena ada pelarangan dari tokoh-tokoh adat dan pemerintahan
nagari untuk dimainkan.
"Jika yang muda memiliki suami atau istri memainkan batombe, pantun
yang dimainkan pun berupa sindiran dan bersifat tanya jawab. Apalagi
penyampaian pantun secara 'mendalam' oleh pedendang batombe maka pemaknaan dari
pantun tersebut akan tergambar bahwa maksud dan tujuan dari seseorang pemain
batombe. Kepada siapa arah sasaran pantun yang di tuju, kemudian seperti apa
respon dari lawan pantun. Maka, dampak buruk pun bisa terjadi kepada pemain
batombe itu sendiri. Misakan pengungkapan sayang, cinta dan sebagainya kepada
lawan main batombe. Maka, jika suami atau istri dari pemain batombe yang
menyaksikan dan mendengarkan secara langsung akan merasa cemburu. Merusak pada
hubungan keluraga dan rumah tangga seseorang dari pemain batombe. Akibatnya
dari batombe tersebut retaknya rumah tangga seseorang dan berujung pada
perceraian," lanjutnya.
Selain itu, kesenian tradisi batombe pun tidak dapat dimainkan di
galanggang dan tempat terbuka. Kesenian batombe dimaikan pada acara pernikahan
(alek). Kemudian acara persepsi pernikan itu dilaksanakan dirumah gadang, tidak
dibenarkan melaksanakan persepsi dirumah masing-masing. Persepsi pernikahan itu
dilaksanakan dirumah gadang kaum.
Kemudian persepsi pernikahan itu, dengan menyembelih seekor kambing.
Untuk masakan adat, baru kemudian batombe boleh dikeluarkan pada acara persepsi
pernikan itu. Fasalnya, batombe dimainkan mulai senja hari (usai isya) sampai
parak siang (waktu subuh). Selama pertunjukan batombe tersebut maka, banyak
yang meninggalkan istri mereka dirumah, meninggalkan ladangnnya di malam hari
sehingga dimakan musuh. Alasan-alasan itulah kemudian batombe mulai hilang dari
generasi. Namun saat ini batombe muncul dengan sebuah proses kreatif kesenian
anak nagari. Sehingga dapat ditampilkan di Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3
ini. Meskipun para pedendang yang memainkan masih belum percaya diri dan
malau-malu. Karena mengingat latar belakang akibat yang dihadirkan oleh batombe.
No comments:
Post a Comment