Wednesday, October 21, 2015

Batombe Kesenian Tradisi Langka Yang Sakral


                       

 
Batombe Kesenian Langka
Kesenian Batombe adalah kesenian berbalas pantun merupakan kesenian langka. Kesenian tersebut perheltannya dimainkan pada saat pengangkatan gelar adat. Batombe tidak bisa dimainkan ditempat terbukan karena memiliki mistik tersendiri. Batombe hanya diperbolehkan di rumah gadang. Seperti apa ceritanya?

Laporan: Julnadi Inderapura, Padang


Cahaya bulan yang merah karena tertutup kabut asap. Orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing dengan gerobolannya. Ada yang sembari berdiri bercengkrama di pelataran sembari memakan gorengan. Ada pula yang sibuk dengan gadgat seraya tesenyum. Tak lama kemudian terdengar sumber suara mengajak masuk para penonton ke gedung pertunjukan Manti Manuik.


Jam menunjukan pukul 20.00 malam pada Kamis, 3 September 2015 lalu, Orang-orang tampak berdesakan masuk ke gedung pertunjukan, Mantin Manuik Festifal Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3. Sembari membuka alas kaki mereka masing-masing, kemudian penonton menuju tempat duduk masing-masing. Ada dua pertunjukan yang berlangsung pada malam itu Randai dan Batombe.

Randai yang ditampilkan pun mempunyai khas tersendiri dalam penampilannya. Anak randai tidak memakai galembong seperti randai pada umumnya. Namun, randai yang dimainkan Anak Nagari Sangir Batanghari ini anak randainya mengenakan kain sarung Palakaik atau Palakat. Kemudian tapuak (galembong) yang dipakaipun lebih keras dibandingkan galembong. Kesenian tradisi randai dan Batombe yang berada di Nagari Stampus yang merupakan kebiasaan rantau surambi dan rantau balai koto. keberadaan nagari yang berada di empat koto itu, telah melahirkan kesenian randai tuo dan batombe.

Selain itu, Keseni tradisi--Batombe--adanya hanya di nagari Stapus Kecamatan Sangir Batanghari Kabupaten Solok Selatan tampil di Ladang Tari Nan Jobang Tanggal 3. Kesenian Batombe  merupakan kesenian langka yang sakral berkembang di daerah Sangir perbatasan Solok Selatan dengan Darmasraya. Batombe ini sediri keluar pada acara pengangkatan gelar mamak kegiatan adat alek nagari dan acara pernikahan. Berbain Batombe tidak dibenarkan bermain sembarang dan ditempat-tempat terbuka. Melainkan bermain batombe hanya dibolehkan pada acara tertentu dan bertempat di rumah gadang. Sementara alat musik yang digunakan pada saat batombe adalah biola (viol) atau rabab bagi orang Pesisir.

Syafruddin Pendendang dan Pelaku seni tradisi batombe mengatakan Batombe merupakan bahasa asli dan bahasa tua di daerah Sangir. Batombe artinya 'berbalas'. Dalam kesenian tradisi dengan cara berbalas pantun. Pantun yang dimainkan dengan bersajak AB-AB. Kesenia Batombe tersebut lahir sejak turun-temurun dari leluhur. Meskipun kesenian batombe sempat fakum, namun kesenian batombe ini kembali  hadir ditengah masyarakat dengan pengelolaan oleh nagari.

"Kesenian batombe ini dimainkan oleh pedendang dengan berbalas pantun. Tidak ada pembatasan terhadap pemain dan pedendang batombe. Pemain boleh atau pedendang boleh dilakukan dua orang pedendang dengan berpasangan. Artinya pedendang lelaki dan pedendang perempuan. Berdendang batombe ini boleh lebih dari dua orang, boleh empat orang dan boleh pula enam orang. Tidak batasan pada pendendang, hanya saja di batasi dengan pola duduk pemain saat berdendang. Kelompok perempuan dan kelompok laki-laki, karena pantun yang disampaikan dalam bermain batombe cenderung tanya jawab. Kemudian penyampaiannya yang didendangkan," katanya.

Kesenian batombe idealnya dimainkan oleh umur di atas 40 tahun. Pemain atau pedendang batombe banyak didendang oleh janda dan duda. Sebab, jika pedendangnya adalah seorang janda atau duda, maka tidak ada rasa cemburu dari pihak keluarga. Kemudian jika pemain masih berstatus suami istri makan hal tidak diinginkan pun dapat terjadi. Atau sang istri bisa cemburu kepada sang suami jika memainkan batombe dan begitu sebaliknya, sang muami juga akan cemburu pada istrinya yang memaikan batombe. Maka, alasan-alasan inilah yang kemudian membuat kesenian tradisi batombe ini hilang karena ada pelarangan dari tokoh-tokoh adat dan pemerintahan nagari untuk dimainkan.

"Jika yang muda memiliki suami atau istri memainkan batombe, pantun yang dimainkan pun berupa sindiran dan bersifat tanya jawab. Apalagi  penyampaian pantun secara 'mendalam' oleh pedendang batombe maka pemaknaan dari pantun tersebut akan tergambar bahwa maksud dan tujuan dari seseorang pemain batombe. Kepada siapa arah sasaran pantun yang di tuju, kemudian seperti apa respon dari lawan pantun. Maka, dampak buruk pun bisa terjadi kepada pemain batombe itu sendiri. Misakan pengungkapan sayang, cinta dan sebagainya kepada lawan main batombe. Maka, jika suami atau istri dari pemain batombe yang menyaksikan dan mendengarkan secara langsung akan merasa cemburu. Merusak pada hubungan keluraga dan rumah tangga seseorang dari pemain batombe. Akibatnya dari batombe tersebut retaknya rumah tangga seseorang dan berujung pada perceraian," lanjutnya.

Selain itu, kesenian tradisi batombe pun tidak dapat dimainkan di galanggang dan tempat terbuka. Kesenian batombe dimaikan pada acara pernikahan (alek). Kemudian acara persepsi pernikan itu dilaksanakan dirumah gadang, tidak dibenarkan melaksanakan persepsi dirumah masing-masing. Persepsi pernikahan itu dilaksanakan dirumah gadang kaum.

Kemudian persepsi pernikahan itu, dengan menyembelih seekor kambing. Untuk masakan adat, baru kemudian batombe boleh dikeluarkan pada acara persepsi pernikan itu. Fasalnya, batombe dimainkan mulai senja hari (usai isya) sampai parak siang (waktu subuh). Selama pertunjukan batombe tersebut maka, banyak yang meninggalkan istri mereka dirumah, meninggalkan ladangnnya di malam hari sehingga dimakan musuh. Alasan-alasan itulah kemudian batombe mulai hilang dari generasi. Namun saat ini batombe muncul dengan sebuah proses kreatif kesenian anak nagari. Sehingga dapat ditampilkan di Ladang Tari Nan Jombang Tanggal 3 ini. Meskipun para pedendang yang memainkan masih belum percaya diri dan malau-malu. Karena mengingat latar belakang akibat yang dihadirkan oleh batombe.

No comments:

Post a Comment