Laporan: Julnadi Inderapura, Padang,
Beranjak dari sejarah seni pertunjukan tanpa kata di Sumatera Barat yang
berkembang pada tahun 1990-an. Kemudian, sejarah seni merupakan sejarah
pertarungan konsep-konsep dan kledo seni pertunjukan bagi pengkarya. Sehingga
seni pertunjukan melibatkan struktur dramaturgi serta memfungsikannya menjadi
sebuah kerangka teater arena.
Pembacaan terhadap teater arena di Sumatera Barat itu sendiri ada banyak
antologi sebagai bahan baku kultur Minangkabau untuk sebuah kajian. Banyak
kritikus yang mambahas tentang teater arena Sumbar di era 90-an tersebut. Hal
itu bermula dari 'Eksperimen' pertunjukan Bumi Teater Wisran Hadi.
Selanjutnya dalam pembacaan teater arena di Sumbar tek terlepas dari
pengaruh 'Habitus' (kelompok komedi Stambul) bahwasanya tidak boleh kalah
dengan konsep-konsep dari luar Sumbar. Sehingga dalam pertunjukan teater arena
sebagai wadah pertarungan konsep-konsep dari masing-masing sutradara. Sebab,
sutradara tidak ingin bodoh dari sutradara yang lain dan tidak ingin terkalah
saat pertunjukannya mengenai konsep yang ditawarkan.
Sementara itu, Pandangan Pandu dari Leskep pertunjukan teater arena
'minim kata' adalah untuk menggugat 'kata' itu sendiri di wilayah Sumatera
Barat. Sementara tekstual analitis sebagai konstruksi drama turgi sebagai
bentuk kajian. Maka dalam seni pertunjukan teater arena, tekstual analitis itu
terlihat dalam 'lakon' yang tertuang dalam pertunjukan Bumi Teater Wisran Hadi.
Kemudia dua pertunjukan 'Lini' dan 'Menunggu' tersebut dramaturgi-nya
tidak tertuang dalam 'lakon' drama. Namun, kedua pertunjukan tersebut
dramaturgi-nya terlahir dari diskusi-diskusi secara tematik pada saat latihan.
Sementara itu, tokoh dalam pertunjukan Wisran Hadi terdapat tokoh-tokoh
yang 'berdarah daging'. Artinya tokoh yang di ambil dari kultur Minangkabau
seperti Imam Bonjol, atau tokoh fiksi sekalipun. Simbol-simbol yang lebih pasif
menerimanya dalam pertunjukan Wisran Hadi karena tokohnya yang 'mendarah
gading'. Sedangkan tokoh-tokoh 'Lini dan Menunggu' merupakan tokoh yang 'bukan'
mendarah gading.
Kemudian dalam diskusi tersebut Pandu menjelaskan Eksperimen adalah
upaya menembus kledo yang terlahir dari tokoh-tokoh yang sangat simbolik kedua
Sutradara 'Lini dan Menunggu'. Kemudian teater berpolitik dengan perkembangan
era pemerintahan. Sehingga teater Sumatera Barat kaya dengan teater Eksperimen.
Teater tradisi menuju teater modern atau 'Auto ship art'. Eksperimentasi
pertunjukan dalam kelompok komedi stambul telah mempengaruhi teater tradisi
Minangkabau. Misalnya pada tahun 1889 teater arena kelompok komedi stambul
masuk ke Indonesia melalui pulai Jawa kemudian berkembang Sumatera barat.
Sesampai di Sumatera Barat pada tahun 1901 kelompok komedi stambul bubar.
Komedian stambul yang dibawa oleh Habitus ini hanya bertahan selam tiga tahun
di Indonesia.
Kemudian, berawal pada tahun 1889 itu sesungguhnya teater tradisi arena
yang disebut juga Randai belum memakai kata-kata. Randai waktu itu, masih
memakai gumam dan tidak berkata-kata. Namun, setelah 1901 tersebut Randai
mengadopsi cerita kaba dan berkata-kata sehingga Eksperimentasi dapat terlahir
dalam perjuntujan randai atau teater arena di Sumbar. Terlahirkan eksperimental
dengan adanya tokoh dalam cerita yang ada dalam pertunjukan.
Pandu kemudian memberikan argumenya terhadap disiplin ilmu yang masih
dalam perdebatan untuk membahas perbedaan tari dan teater minim kata tersebut.
Sebab, tari memiliki alur dan tokoh dalam pertunjukannya. kemudian muncul
anggapan baru apakah bisa dikatakan 'tari' sebagai 'teater minim kata'. Dalam
hal ini, Pandu menyebutkan 'performance studies' tidak membedakan antara tari,
teater dan musik. Namun terlebih pada pertunjukan (performa): kajiannya tidak
lagi membahas tentang pisiologis tokoh melainkan hasil dari sebuah pertunjukan.
Sementara itu, S. Metron sutradara Ranah Teater menyanggah tentang
eksperimen yang dipaparkan Pandu. Dalam hal ini Metron berpendapat bawa
eksperimen itu jika mengacu pada bahasa artinya strategi dalam seni pertunjukan
secara sistematis dalam sebuah pertunjukan. Maka, sistematis dalam pertunjukan
tersebut dicurigai oleh politikus karena berangkat pada pengertian eksperimen
itu sendiri.
Eri Mefri seorang Koreografer tari mengartikan eksperimen merupakan
sebuah pertunjukan yang belum pernah selesai dan selalu berkelanjutan sampai
pada sebuah titik temu. Maka, sebuah seni akan terus berlanjut tanpa melihat
sebuah pertunjukan. Randai pada awalnya ber-ilau, dalam dendangnya banyak
bercerita. Sehingga siapa saja yang melakukan eksperimen pertunjukan hendaklah
jangan menolaknya.
Menurut Ery Mefri, dua hal yang patut di telusuri bahwa eksperimen
dimulai dari karya sendiri, kemudian eksperimen dari bahan sendiri. Sutradara
tidak akan bisa mencapai keinginannya tampa mecoba. Sutradara akan medapatkan
apa yang diinginkan sesuai dengan bahan yang dimiliki sesuai latar belakang
aktornya.
Kemudian pertanyaan pun muncul, kapan puncuk eksperimen yang dilakukan
Wisran Hadi menghilangkan dunia nyata. Eksperimen apa yang hendak dicapai
seorang pengonsep. Maka, akibat dari eksperimen tersebut hendaklah jelas
hasilnya dalam pertunjukan. Namun sampai kapan bereksperimen dan mencoba-coba
sebuah pertunjukan belum jelas konsepnya. Menurut Ery Mefri bahwa Bumi Teater
Wisran Hadi memiliki bahasa dan bereksperimen dengan bahasanya.
Sementara itu, budayawan Sumatera Barat Darmawan menyebutkan teater
tanpa kata itu terlahir pada tahun 1970-an di Sumatera Barat. Kemudian teater
minim kata itu telah ada mensejak Wisran Hadi. Penokohan dalam pertunjukan
Wisran Hadi telah mempungsikan dramatuginya. Karena Wisran Hadi menghadirkan
pohon di pentas atau teater arena melalui aktornya. Wisran Hadi saat itu tidak menghadirkan
pohon sesungguhan di atas pentas. Selanjutnya tokoh yang diperankan oleh lakon
Wisran Hadi tiba-tiba berobah menjadi meja makan. Hal ini merupakan suatu
eksperimen juga dari sebuah teater minim kata tersebut. Maka pertanyaannya
sistematis dua pertunjukan 'Lini dan Menunggu' tersebut belum sebagai
eksperimen. Dua pertunjukan tersebut lebih kekinian dan kontemporer untuk
memberikan alternatif terhadap seni pertunjukan.
Pengalaman menarik diuraikan oleh Pandu mengenai pertunjukan 'Menunggu'
karya/sutradara Yusril. Pertunjukan ini bagi Yusril terhadap aktornya adalah
'Pembongkaran' yang mendalam atas tubuh. Dalam arti kata tubuh tidak lagi
menjadi tubuh sehari-hari. Dimulai dari mengikuti harmoni alam dan tubuh yang
bergerak tanpa giesture.
Dalam hal ini Pandu kemudian menyebutkan bahwa 'diskusi tematik' sebagai
sebuah kajian dramaturgi. Merobah tubuh dari tubuh tradisi dan keluar dari
tubuh yang lebih sistematis. Namun dalam capaiannya metode Yusril termasuk
gagal membawa tubuh aktornya di pentas.
Kemudian muncul anggapan baru apa yang menjadi pembeda antara
eksperimen dan eksplorasi. Pandu menyebutkan pembeda eksperimen dan eskplorasi
tersebut lebih dekat pada teater post-dramatik sebagai sebuah teori. Eksperimen
artinya mencoba dan menggali lebih dalam---pendalaman tentang sejarah.
Ekplorasi artinya lebih eksperimen dan mencari makna yang mendalam.
Selanjutnya, eksperimen dan ekplorasi menjadi kasus dalam 'performer studies'
atara sutradara dan aktor.
Koreografer Inpessa Dance Company Jhoni Andra menyebutkan performer
studies adalah sebuah keinginan yang menentang dengan memaksakan kehendak
sutradara kepada aktor berarti sutradara telah gagal bereksperimen. Sulit
membedakan taater eksperimen minim kata dengan pertunjukan tari yang memiliki alur
dan tokoh. Apakah boleh disebutkan sebagai teater minim kata.
Identitas teater kata tidak eksperimen lagi dan lebih pada
post-dramatik. Pembauran antara teater-tari bermula dari performace Studies
tahun 1980-an telah berkembang. Meskipun Pandu tidak sepakat antara tari dan
teater yang terdiri dari kajian-kajian disiplin ilmu bahwa sesungguhnya antara
tari dan teater terpisah. Kemudian bagi performace studies telas meleburkan
Teater dan tari tidak ada pembeda dan batas keduanya. Selanjutnya Pandu menyatakan
dirinya lebih sepakat dengan keduanya (teater-tari) merupakan seni pertunjukan
No comments:
Post a Comment