Thursday, March 1, 2018

Hutan Produksi Konversi Diusulkan Menjadi Hutan Areal Penggunaan Lain

Pemerintah Kota Sawahlunto ajukan hutan produksi konversi menjadi hutan areal penggunaan lain (APL) ke Kementerian Kehutanan. Pada tahun 2016 pemerintah kota Sawahlunto telah mengajukan 1400 hektar hutan produksi konversi sebagai APL. Kemudian izin prinsip dari gubernur telah diupayakan dan sudah di ajukan ke Kementerian Kehutanan. Sehingga pada tahun 2016 sudah dianggarkan melalui APBD namun tidak terealisir anggaran tersebut.

"Kita telah usulkan hutan produksi konversi menjadi areal pengguna lain (APL) sehingga lahan 1400 hektar itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Hutan produksi konversi bisa diusulkan menjadi hutan kawasan hutan kemasyarakatan. Namum hingga saat ini belum ada tindak lanjut usulan yang telah APL tersebut. Sebab, pada bulan oktober 2016 kebijakan Kementerian Kehutanan beralih ke Provinsi. Jadi pengolahan hutan itu sekarang sudah berada di Provinsi, apakah usulan ini sudah diterima atau belum kita pun belum mengetahui," ujar Hilmed, Kepala Dinas Ketahahan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Sawahlunto, kepada Penulis, Senin, 19 Februari 2018. 

Ia menyebutkan bahwa usulan menjadikan hutan produksi konversi menjadi APL tersebut akan ditindaklanjuti oleh Kementrian termasuk kabupaten kota lain untuk menindaklanjuti nya. Kemudian biaya keberangkatan mereka untuk meninjau ke lapangan maka pemerintah daerah yang akan membiayai. Karena di kementerian kehutanan anggotanya masih kurang sehingga pengerjaan areal penggunaan laindilakukan secara bertahap. 

"Pada tahun 2016 lalu sudah kita anggarkan namun tidak terealisir anggaran tersebut. Kemudian pada oktober tahun 2016 kementerian kehutanan pindah ke provinsi. Kemudian lahan 1400 hektar tersebut diusulkan menjadi lahan pertanian oleh masyarakat. Jadi kawasan hutan tersebut jika menanam boleh namun yang boleh dipanen buahnya saja. Kemudian tidak dibenarkan menebang batang," tuturnya.

Ia mengatakan bahwa pasa tahun 2016 tersebut sudah ada diupayakan izin prinsip dari gubernur untuk menjadikan areal penggunaan lain (APL) berarti keluar dari kawasan hutan sudah ada. izin prinsip gubernur dan sudah diajukan kementerian kehutanan namun belum tuntas hingga saat ini. 

"Jika usulan menjadikan APL ini bisa terealisasi dengan baik maka pemanfaatan hutan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tahun 2016 lalu desa Taratak Bancah juga diusulkan sebagai hutan kemasyarakatan, Kemudian desa pasar kubang. Kemudian Desa Balai Batu Sandaran, lasuang manangih akan dijadikan objek wisata," paparnya. 

Ia melanjutkan bahwa pengelolaan hutan kemasyarakatan yang dikelompok masyarakat seperti di Desa Batu Tanjuang. Pengelolaannya ada nama kelompoknya lurah basung sudah keluar SK menteri hutan sebagai hutan kemasyarakatan. Misalnya ada hutan kemasyarakatan dengan luas 150 hektar yang dikelola oleh kelompok. Ada aturan bahwa mereka boleh menebang hutan dan ada aturan tertentu sekian hektar dan boleh menam kembali.

"Hutan desa dikelola oleh masyarakat desa, hutan nagari dikelola oleh masyarakat nagari. Atau hutan ke masyarakat dikelola oleh kelompok masyarakat. Kemudian dibolehkan mereka kembali menanam dan budidaya tanaman seperti biasa. Kemudian untuk hutan kemasyarakatan ini selain ada juga di Desa Rantih," katanya

Sementara itu, Andi Rastika, Badan Perencanaan Penelitian Pembangunan Daerah (Barenlitbangda) Kota Sawahlunto menyebutkan bahwa pemerintah Kota Sawahlunto ajukan hutan produksi konversi menjadi hutan areal penggunaan lain (APL) ke Kementerian Kehutanan. Hutan seluas 1400 hektar diusulkan menjadi huta Areal Penggunaan Lain pada tahun 2016. Usulan tersebut agar hutan konversi produksi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebab, hutan produksi konversi bisa diusulkan menjadi kawasab hutan kemasyarakatan.

"Pemerintah kota Sawahlunto telah mengajukan 1400 hektar luas hutan produksi konversi sebagai APL. Tujuannya adalah agar hutan konversi produksi tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kemudian, melakukan revisi RT RW pada tahun ini, memang berpengaruh pada pelepasan status hutan produksi konversi menjadi hutan kemasyarakatan," ujarnya. 

Ia menyebutkan bahwa usulan tersebut sedang dalam proses dengan pemerintah provinsi sebab, ketuhanan telah menjadi kewenangan provinsi. Sehingga dengan tata ruang dan tata wilayah memang harus diusulkan hutan produksi konversi menjadi hutan kemasyarakatan. Sehingga bisa dilakukan pembangunan pembangunan dan lokasi rumah, perkantoran serta pasar. 

"Jika statusnya masih hutan konversi produksi tidak boleh digarap, sebab status hutan produksi konversi itu statusnya dibawah hutan lindung. Sekarang sudah berjalan proses revisi tata runag dan tata wilayah, Karena RT RW tersebut setelah berlaku selama lima tahun akan dilakukan peninjauan kembali. Kemudian rekomendasi dari peninjauan kembali RT RW tersebut adalah harus dilakukan revisi. Karena banyak perubahan-perubahan terjadi dilapangan yang harus dikaji ulang," katanya. 

Ia mengatakan bahwa ditahun 2018 Bappeda melakukan revisi tata ruang dan tata wilayah. Kemudian sebelum revisi RT RW tersebut disahkan, maka harus keluar putusannya hutan konversi produksi menjadi hutan kemasyarakatan oleh Kementrian Kehutanan, melalui provinsi. Sehingga hutan konversi produksi tersebut bisa dijadikan sebagai hutan kemasyarakatan yang dapat diolah oleh masyarakat kalau hutan tersebut dikembalikan ke ulayat. 

"Saat ini sedang diupayakan agar pengurusan hutan konversi produksi tersebut bisa dijadikan sebagai hutan kemasyarakatan, karena kita tidak bisa langsung ke pusat sebab, kewenangannya susah berada di Provinsi. Kemudian kepada provinsi sudah diusulkan agar Kementerian kehutanan dapat mengeluarkan izin," tuturnya. 

Ia menyatakan bahwa sebelum revisi RT RW sebaiknya memang harus keluar izin dari Kementerian kehutanan status hutan produksi konversi menjadi hutan kemasyarakatan atau APL, kemudian dimasukkan ke dalam RT RW status hutan tersebut. Sehingga masyarakat dapat beraktivitas dalam hutan tersebut untuk kebutuhan ekonomi, Pertanian, perusahaan ataupun perkantoran. Misalnya, Desa Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto berdasarkan status hutan merupakan hutan konversi produksi. 

"Padahal secara faktual dilapangan kenyataannya berbeda karena aktivitas ekonomi, Pemukiman kemudian jalan jalan telah dibuka. Makanya diusulkan Kementerian kehutanan bahwa hutan konversi produksi tersebut berubah statusnya menjadi hutan kemasyarakatan, sehingga ada kepastian terhadap penguasaan lahan di hutan. Kemudian dicocokkan dengan mengendalian tata ruang kota Sawahlunto," paparnya

No comments:

Post a Comment