Surya Cutut
Shouvenir Shop
|
Minggu, 27 November 2016 malam langit kota
Sawahlunto mendung dan diiringi hujan. Orang-orang menyenakan pakaian serba
baru menuju Garase PT Bukit Asam, menyaksikan Pagelaran Multicultural in Harmony, peringatan hari jadi kota Sawahlunto
ke 128 tahun 2016 menggelar berbagai ivent. Kegiatan tersebut berlangsung 25
November - 2 Desember dan tersebar di beberapa titik.
Kegitan tersebut juga warnai dengan
berbagai pameran Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), salah satunya Surya Cutut
Shouvenir Shop Tansi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar yang
menjual berbagai produk kerajinan tangan, seperti lampu lampion.
Disela sibuk lalu lalang pengunjung yang menjambangi
stand lainnya, meskipun hanya sekedar melihat, mengkubik-kubik pernak pernik
yang bergelantungan serta hiruk pikuk musik aksi panggung utama multikultural.
Lampu lampion yang warna warni berjejer di
rak-rak yang unik karena berbentuk wajah tokoh komik, seperti teletabis,
pokemon, hello kyti dan sebagainya. Malam pemilik stand tampak sibuk
melayani pengunjung yang membeli lampu lampion, sebagai lampu tidur.
Surya, 36, pengrajin lampion mengaku memulai
membuat lampion sejak dua tahun silam. Ia belajar membuat lampion secara
otodidak, Lampion tersebut berbahan Benang, Lem, Karton, Kain Panel.
"Untuk membuat satu buah lampion menghabiskan Rp30 ribu dengan bahan
baku," sebut pria berbadan kurus ini.
Sembari memperlihatkan lampu lampion, pria
berambut gondrong itu mengatakan bahwa satu buah lampu lampion di jual sebesar
Rp70 hingga Rp90 ribu. Kemudian, satu buah lampion boneka di jual Rp300 ribu,
harga bergantung pada besar dan kecilnya ukuran.
"untuk bahan baku yang digunakan membuat
lampu lampion, bahannya di beli di kota Bukittinggi. Karena pusat glosir
yang murah dan lengkap hanya ada di Bukittinggi, meskipun di kota
Sawahlunto ada yang menjual namun harganya selangit," ungkapnya polos.
Ia melanjutkan, proses pembuatan lampu
lampion dalam sehari bisa nyelesaikan sebanyak 50 hingga 100 buah.
"Membuatkan lampu lampion tidaklah sulit dan mudah, namun butuh ketekunan
serta keseriusan. Selain itu, pemasarannya juga masih sulit karena banyak yang
hutang," ujarnya.
Ia mengaku, meskipun saat inj telah ada yang
memesan dan telah bersedia menampung lampu lampion untuk dijual seperti di
Lampung dan Jakarta. Namun, karena si pemesan uangnya tidak kes dan
dibayar setelah lampionya habis terjual, maka tawaran itu di tolak.
"terpaksa dibatalkan tawaran tersebut
karena pembayarannya tidak tunai. Jika, tawaran itu diterima modal akan
terbenam dan perputaran uang pun lambat, sedangkan modal kita sedikit. Untuk
memenuhi permitaan tersebut butuh modal besar. Sebab, hasil penjualan tersebut
akan di putar lagi untuk membeli bahan baku," Anak bunsu dari tiga
bersaudara ini.
"Berbeda dengan pelanggan yang memesan
dari Jambi. Begitu barangnya sampai uangnya dikirim kes atau kontan.
Setiap minggu pesanan 50 buah lampu lampion dari kota Jambi," sambungnya.
Selain itu, lanjut Surya, untuk pemasaran
dijual secara online penjualan dan pesanan banyak melalui media sosial
(medsos). "Alhamdulillah, omset yang didapatkan dalam sebulan dari
penjualan sebesar Rp10 juta. Bisa membantu kedua orang tua untuk kebutuhan
harian," tuturnya.
Kemudian, limbah yang dihasilkan dalam
pembuatan lampu lampion tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk membuat pernak
pernik yang lain. "Semuanya berguna dan tidak ada yang tersisa, seperti
gantungan, tempat tisu, tempat pensil anak sekolah, dompet dan sebagainya,"
akunya.
No comments:
Post a Comment