Tuesday, May 23, 2017

Sambut Ramadhan Dengan Alek Tahunan Bapuau Sejarah Nagari Kajai Balai Batu Sandaran

"Banyak cara yang dilakukan orang untuk penyambutan bulan suci Ramadhan. Seperti di Nagari Kajai Desa Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, penyambutan dengan alek nagari bakaua. Tradisi tahunan penyambutan 15 hari jelang bulan Ramadhan dengan tradisi Bapuau. Seperti apa Sejarah Nagari Kajai?"


Senin, 15 Mei 2017 siang langit kota Sawahlunto, cerah. Jalanan berliku di lereng perbukitan serta yang pemandangan alam nan indah. Siang itu, orang-orang telah berkumpul di balai-balai adat nagari Kajai, Desa Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Ibu-ibu baya berbanjar berbaris menjunjung dulang diiringi musik perkusi tradisi Talempong Pacik dan Tambua. 

Dulang yang dibawa ibu-ibu tersebut berisi makan serta lauk-pauk untuk makan Bajamba di balai-balai (Balerong). Tari Galombang jo Siriah Carano disertai atraksi Silek Tuo Bungo anak nagari Kajai. Para tamu undangan dan penonton telah memadati lapangan balai-balai nagari Kajai menyaksikan atraksi budaya. Balai-balai tersebut dilengkapi dengan sembilan batu sandaran diperuntukan untuk datuk 'Manduduakan' (mengonsep atau merumuskan) nama Nagari. Hingga saat ini Batu Sandaran Tersebut masih terjaga dan menjadi objek wisata.

Pengunjung duduk lesehan bersila di balai-balai dengan Duduak Baselo (duduk bersila, bagi laki-laki) dan Duduah Basimpuah (duduk bersimpuh, bagi kaum perempuan). Sebelum makan bajamba berlangsung pengunjung dzikir dan berdoa serta selawatan kepada nabi Muhammad, SAW. Kegiatan tersebut disebut dengan Tradisi 'Bakaua' (berkaul) sebagai perayaan syukuran usai panen raya serta terhindar dari penyakit dalam diri. Bakaua juga digunakan untuk doa meminta hujan. Kemudian dilanjutkan dengan makan bajamba bersama tokoh masyarakat.

Usai berdoa dan berselawat dilanjutkan dengan 'Ureh tawa nan ampek', yakni Sitawa, Sidingin, Sikupa, Sikarau serta daun Sicerek datang Kudian, (terakhir) sebagai 'paureh' merupakan ramuan obat tradisi. Ramuan obat penawar tersebut dipercikkan oleh 'Urang pandai' (Ahli Spiritual) nagari Kajai kepada ubun-ubun pengunjung yang hadir, menggunakan daun sicerek. 

'Sicerek nan datang kudian' sebagai 'paureh' bertujuan untuk perlindungan diri agar terhindar dari penyakit dan mendapatkan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa. 'Ureh tawa nan ampek' tersebut menjadi rebutan bagi pengunjung yang hadir termasuk anak-anak. Kemudian, dilanjutkan dengan tradisi 'Bapuau' anak nagari Kajai di halaman balai-balai atau Balerong.

Kasir, nan bagala Sutan Karaniah, urang pandai ditinggikan sarantiang didulukan salangkah di Nagari Kajai, Desa Balai Batu Sandaran mengatakan bahwa 'Bapuau' pada dasarnya melemparkan lawan yang saling berhadapan dengan pohon pisang yang telah di potong. Tradisi Bapuau dari leher ke bawah tidak bokeh mengelak pada saat dilempar. 

"Bapuau pada hakikat lahirnya adalah melempar semua hal-hal negatif dalam tubuh seseorang, termasuk melemper penyakit yang ada dalam tubuh. Sehingga dalam menjalan ibadah puasa ramadhan terlepas dari sifat negatif. Bapuau tersebut dilakukan 15 hari menjelang ramadhan," ujar paruh baya yang mengenakan kopiah ini.

Sebelum pelemparan, lanjut dia, maka diharuskan kedua belah pihak yang akan saling melempar untuk bersilat atau mambukak langkah. Setelah itu, barulah kedua belah pihak saling melempar. Kenapa harus bersilat, karena hal ini akan berkaitan dengan etika, sebab Bapuau merupakan tandingan datuak-datuak nan manitah.

Maka, jika lemparan mengenai tubuh lawan maka pohon pisang yang mengenai lawan tersebut jangan di buang. Karena bisa dimanfaatkan untuk menjadi obat bagi kesehatan dengan cara pohon pisang tersebut bisa di rendam menggunakan air panas kemudian di minum airnya. Sehingga, tak heran pohon pisang yang berserakan tersebut di pungut secara berebutan oleh warga. 

"Bahan pelemparan batang pisang yang telah di potong tersebut tidak bisa di gantikan dengan yang lain. Karena pohon pisang adalah pandinginan datuak datuak," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kajai, Tamrin Datuk Malelo menambahkan bahwa Tradisi Bapuau lahir sejak zaman nenek moyang turun temurun semenjak Nagari Kajai ada pada abad ke 13 masehi (1200 M). Nagari Kajai sendiri berasal dari Pariangan Padangpanjang, terus ke Gunuang Talang berjalan menuju daerah Selatan sampai ke Panjaringan.

"Pada abad ke 13 masehi (1200 M) dari puncak Panjaringan, rombongan dipimpim Dt. Bandaro Sati berjalan menelusuri sungai dan sampai pada suatu daerah kemiringan (nagari Kajai, red), disepakati berhenti. Disanalah rombongan mulai membuka lahan sawah dan ladang. Kemudian memulai membuat rumah tempat tinggal. Daerah tersebut diberi nama koto nan Balainyo, Balai Satu atau pasarnya setiap hari Sabtu," ujar pria memakai saluak dikepala dengan Keris berselip dipinggang.

Sementara itu, lanjut dia, saat itu pimpinan rombongan Dt. Kepala Kaum bergelar Dt. Rajo Lelo memelihara tiga ekor Kuda yang selalu lepas dari ikatan tali. Lalu kuda tersebut pergi minum air ke anak sungai yang ada di depan 'Guo'.

Suatu ketika, pada saat hari sedang tengah hari, ketiga kuda tersebut lepas dari ikatan dan pergi menuju hulu sungai untuk minum. Melihat kejadian serupa yang berulang kali, Dt. Kepala Kaum, mengikuti sampai ke lereng bukit. Namun kuda tersebut berlari kencang, sehingga kuda tersebut tagolek (jatuh). Dt. Kepala Kaum sangat geram sehingga kuda tersebut di sumpah. Atas izin tuhan yang maha kuasa kuda tersebut berubah menjadi batu hingga saat ini di kenal dengan kudo tagolek (Kuda Jatuh). Hingga saat ini batu Kudo Tagolek tersebut menjadi tempat wisata.

Selanjutnya, kuda kedua terus berlarian hingga hilang dari pandagan mata. Maka, diberitahukan kepada orang banyak untuk di Kajai (mengejar) kuda yang hilang tersebut. Kemudian, karena lama berjalan mengejar kuda tersebut sampailah pada gua. Lalu, Dt. Sutan Dilangik dan Khatib Rajo bertemu kuda yang sedang minum. Lalu mereka memberi tahu kepada Dt. Kepala Kaum si pemilik kuda bahwa kudanya sedang minum dihulu sungai.

Dt. Kepala Kaum bergelar Dt. Rajo Lelo pun datang dan melihat kudanya sedang minum. Karena masih kesal dengan kuda tersebut, Dt. Rajo Lelo pun menghardi kuda tersebut dengan keras. Kuda tersebut terkejut sehingga berhamburan, satu ekor pergi ke atas bukit bukit. Sementara, kuda satu lagi masih berdiri ditempat dan hanya menoleh ke belakang. Seketika itu pula, induk kuda tersebut disumpah menjadi batu yang dikenal dengan Guo Batu Kudo (Goa Batu Kuda). Goa Batu Kuda tersebut saat ini masih ada dan menjadi ikon objek wisata nagari Kajai. Sedangkan kuda yang lari ke atas bukit tersebut juga menjadi batu dan daerah tersebut dinamai dengan Batu Tangah. 

Kemudian, melihat daerah sekitar 'guo' tersebut bagus untuk berladang dan bersawah disamping itu bagus sebagai tempat tinggal menurut Dt. Kepala Kaum pada saat itu, Maka Dt membawa anak, cucu dan kemanakannya untuk tinggal di daerah tersebut yang di berinama Koto Tingga, (Kota tempat tinggal).

"Melihat kondisi daerah tempat tinggal belum ada balai-balai dan masjid maka di Kajai untuk bermusyawarah. Tujuan bermusyawarah tersebut untuk menentukan nama daerah, menentukan status Tanah Ulayat (nagari), dan Tanah Suku, serta menentukan undang-undang atau peraturan nagari," ujarnya.

Tanpa ada persiapan, maka di undanglah datuk yang sembilan dari dua nagari. Dua orang datuk dari nagari Kubang, dua datuak dari nagari Kolok, dua datuk dari Lunto, dua datuk dari Sebarambang dan satu orang datuk dari nagari Kajai nan di tuakan (yang dihormati). Kesembilan datuk tersebut duduk di batu sandaran yang berada di balai-balai (balerong).

"Lalu dihari yang ditentukan datanglah datuk Nan Sembilan dan duduk bersandar dibatu sembilan dibawah pohon kayu yang besar untuk bermusyawarah. Maka, musyawarah tentang nama nagari (daerah) yang menjadi pertimbangan yakni asal mulanya ditemukan nagari baru berawal dari kuda lepas sehungga di Kaja'i (kejar) oleh orang kampung. Kemudian, terdirinya musyawarah tanpa persiapan atau di Kaja'i," paparnya.

Selanjutnya, lanjut Tamrin, musyawarah dibawah batang kayu besar dan rindang dengan ciri-ciri apabila batang kayu tersebut di gores mengeluarkan getah. Kemudian, getah tersebut apabila ditarik akan semakin panjang. Maka diberilah nama pohon tersebut Batang Kajai, sehingga dalam musyawarah tersebut ke sembilan datuk tersebut mengepakati nama nagari (daerah) dengan nama Nagari Kajai.

"Alek nagari Bakaua ini merupakan acara tahunan. Hanya sekali seja dalam setahun yang dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan. Kegiatan diisi dengan acara seni budaya dan agama, yakni pertunjukan randai anak nagari, Talempong Pacik, Tari Piriang, atraksi Silek Tuo termasuk Bapuau anak nagari," katanya.*

No comments:

Post a Comment