"Banyak
cara yang dilakukan orang untuk penyambutan bulan suci Ramadhan.
Seperti di Nagari Kajai Desa Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin,
Kota Sawahlunto, penyambutan dengan alek nagari bakaua. Tradisi tahunan
penyambutan 15 hari jelang bulan Ramadhan dengan tradisi Bapuau. Seperti apa Sejarah Nagari Kajai?"
Laporan : Julnadi Inderapura, Sawahlunto
Senin, 15 Mei 2017 siang langit kota Sawahlunto,
cerah. Jalanan berliku di lereng perbukitan serta yang pemandangan alam
nan indah. Siang itu, orang-orang telah berkumpul di balai-balai adat
nagari Kajai, Desa Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin, Kota
Sawahlunto, Sumatera Barat. Ibu-ibu baya berbanjar berbaris menjunjung
dulang diiringi musik perkusi tradisi Talempong Pacik dan Tambua.
Dulang yang dibawa ibu-ibu tersebut berisi makan serta lauk-pauk untuk makan Bajamba di balai-balai (Balerong). Tari Galombang jo Siriah Carano disertai atraksi Silek Tuo Bungo anak nagari
Kajai. Para tamu undangan dan penonton telah memadati lapangan
balai-balai nagari Kajai menyaksikan atraksi budaya. Balai-balai
tersebut dilengkapi dengan sembilan batu sandaran diperuntukan untuk
datuk 'Manduduakan' (mengonsep atau merumuskan) nama Nagari. Hingga saat ini Batu Sandaran Tersebut masih terjaga dan menjadi objek wisata.
Pengunjung duduk lesehan bersila di balai-balai dengan Duduak Baselo
(duduk bersila, bagi laki-laki) dan Duduah Basimpuah (duduk bersimpuh,
bagi kaum perempuan). Sebelum makan bajamba berlangsung pengunjung dzikir dan berdoa serta selawatan kepada nabi Muhammad, SAW. Kegiatan tersebut disebut dengan Tradisi 'Bakaua'
(berkaul) sebagai perayaan syukuran usai panen raya serta terhindar
dari penyakit dalam diri. Bakaua juga digunakan untuk doa meminta hujan.
Kemudian dilanjutkan dengan makan bajamba bersama tokoh masyarakat.
Usai berdoa dan berselawat dilanjutkan dengan 'Ureh tawa nan ampek', yakni Sitawa, Sidingin, Sikupa, Sikarau serta daun Sicerek datang Kudian, (terakhir) sebagai 'paureh'
merupakan ramuan obat tradisi. Ramuan obat penawar tersebut dipercikkan
oleh 'Urang pandai' (Ahli Spiritual) nagari Kajai kepada ubun-ubun
pengunjung yang hadir, menggunakan daun sicerek.
'Sicerek nan datang kudian' sebagai 'paureh' bertujuan untuk perlindungan diri agar terhindar dari penyakit dan mendapatkan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa. 'Ureh tawa nan ampek' tersebut menjadi rebutan bagi pengunjung yang hadir termasuk anak-anak. Kemudian, dilanjutkan dengan tradisi 'Bapuau' anak nagari Kajai di halaman balai-balai atau Balerong.
Kasir, nan bagala Sutan Karaniah, urang pandai ditinggikan sarantiang didulukan salangkah di Nagari Kajai, Desa Balai Batu Sandaran mengatakan bahwa 'Bapuau' pada dasarnya melemparkan lawan yang saling berhadapan dengan pohon pisang yang telah di potong. Tradisi Bapuau dari leher ke bawah tidak bokeh mengelak pada saat dilempar.
"Bapuau
pada hakikat lahirnya adalah melempar semua hal-hal negatif dalam tubuh
seseorang, termasuk melemper penyakit yang ada dalam tubuh. Sehingga
dalam menjalan ibadah puasa ramadhan terlepas dari sifat negatif. Bapuau tersebut dilakukan 15 hari menjelang ramadhan," ujar paruh baya yang mengenakan kopiah ini.
Sebelum pelemparan, lanjut dia, maka diharuskan kedua belah pihak yang akan saling melempar untuk bersilat atau mambukak langkah.
Setelah itu, barulah kedua belah pihak saling melempar. Kenapa harus
bersilat, karena hal ini akan berkaitan dengan etika, sebab Bapuau merupakan tandingan datuak-datuak nan manitah.
Maka,
jika lemparan mengenai tubuh lawan maka pohon pisang yang mengenai
lawan tersebut jangan di buang. Karena bisa dimanfaatkan untuk menjadi
obat bagi kesehatan dengan cara pohon pisang tersebut bisa di rendam
menggunakan air panas kemudian di minum airnya. Sehingga, tak heran
pohon pisang yang berserakan tersebut di pungut secara berebutan oleh
warga.
"Bahan
pelemparan batang pisang yang telah di potong tersebut tidak bisa di
gantikan dengan yang lain. Karena pohon pisang adalah pandinginan datuak datuak," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kajai, Tamrin Datuk Malelo menambahkan bahwa Tradisi Bapuau
lahir sejak zaman nenek moyang turun temurun semenjak Nagari Kajai ada
pada abad ke 13 masehi (1200 M). Nagari Kajai sendiri berasal dari
Pariangan Padangpanjang, terus ke Gunuang Talang berjalan menuju daerah
Selatan sampai ke Panjaringan.
"Pada
abad ke 13 masehi (1200 M) dari puncak Panjaringan, rombongan dipimpim
Dt. Bandaro Sati berjalan menelusuri sungai dan sampai pada suatu daerah
kemiringan (nagari Kajai, red), disepakati berhenti. Disanalah
rombongan mulai membuka lahan sawah dan ladang. Kemudian memulai membuat
rumah tempat tinggal. Daerah tersebut diberi nama koto nan Balainyo, Balai Satu atau pasarnya setiap hari Sabtu," ujar pria memakai saluak dikepala dengan Keris berselip dipinggang.
Sementara
itu, lanjut dia, saat itu pimpinan rombongan Dt. Kepala Kaum bergelar
Dt. Rajo Lelo memelihara tiga ekor Kuda yang selalu lepas dari ikatan
tali. Lalu kuda tersebut pergi minum air ke anak sungai yang ada di
depan 'Guo'.
Suatu
ketika, pada saat hari sedang tengah hari, ketiga kuda tersebut lepas
dari ikatan dan pergi menuju hulu sungai untuk minum. Melihat kejadian
serupa yang berulang kali, Dt. Kepala Kaum, mengikuti sampai ke lereng
bukit. Namun kuda tersebut berlari kencang, sehingga kuda tersebut tagolek
(jatuh). Dt. Kepala Kaum sangat geram sehingga kuda tersebut di sumpah.
Atas izin tuhan yang maha kuasa kuda tersebut berubah menjadi batu
hingga saat ini di kenal dengan kudo tagolek (Kuda Jatuh). Hingga saat ini batu Kudo Tagolek tersebut menjadi tempat wisata.
Selanjutnya,
kuda kedua terus berlarian hingga hilang dari pandagan mata. Maka,
diberitahukan kepada orang banyak untuk di Kajai (mengejar) kuda yang
hilang tersebut. Kemudian, karena lama berjalan mengejar kuda tersebut
sampailah pada gua. Lalu, Dt. Sutan Dilangik dan Khatib Rajo bertemu
kuda yang sedang minum. Lalu mereka memberi tahu kepada Dt. Kepala Kaum
si pemilik kuda bahwa kudanya sedang minum dihulu sungai.
Dt.
Kepala Kaum bergelar Dt. Rajo Lelo pun datang dan melihat kudanya
sedang minum. Karena masih kesal dengan kuda tersebut, Dt. Rajo Lelo pun
menghardi kuda tersebut dengan keras. Kuda tersebut terkejut sehingga
berhamburan, satu ekor pergi ke atas bukit bukit. Sementara, kuda satu
lagi masih berdiri ditempat dan hanya menoleh ke belakang. Seketika itu
pula, induk kuda tersebut disumpah menjadi batu yang dikenal dengan Guo Batu Kudo
(Goa Batu Kuda). Goa Batu Kuda tersebut saat ini masih ada dan menjadi
ikon objek wisata nagari Kajai. Sedangkan kuda yang lari ke atas bukit
tersebut juga menjadi batu dan daerah tersebut dinamai dengan Batu
Tangah.
Kemudian, melihat daerah sekitar 'guo'
tersebut bagus untuk berladang dan bersawah disamping itu bagus sebagai
tempat tinggal menurut Dt. Kepala Kaum pada saat itu, Maka Dt membawa
anak, cucu dan kemanakannya untuk tinggal di daerah tersebut yang di
berinama Koto Tingga, (Kota tempat tinggal).
"Melihat kondisi daerah tempat tinggal belum ada balai-balai dan
masjid maka di Kajai untuk bermusyawarah. Tujuan bermusyawarah tersebut
untuk menentukan nama daerah, menentukan status Tanah Ulayat (nagari),
dan Tanah Suku, serta menentukan undang-undang atau peraturan nagari,"
ujarnya.
Tanpa
ada persiapan, maka di undanglah datuk yang sembilan dari dua nagari.
Dua orang datuk dari nagari Kubang, dua datuak dari nagari Kolok, dua
datuk dari Lunto, dua datuk dari Sebarambang dan satu orang datuk dari
nagari Kajai nan di tuakan (yang dihormati). Kesembilan datuk tersebut
duduk di batu sandaran yang berada di balai-balai (balerong).
"Lalu
dihari yang ditentukan datanglah datuk Nan Sembilan dan duduk bersandar
dibatu sembilan dibawah pohon kayu yang besar untuk bermusyawarah.
Maka, musyawarah tentang nama nagari (daerah) yang menjadi pertimbangan yakni asal mulanya ditemukan nagari baru berawal dari kuda lepas sehungga di Kaja'i (kejar) oleh orang kampung. Kemudian, terdirinya musyawarah tanpa persiapan atau di Kaja'i," paparnya.
Selanjutnya,
lanjut Tamrin, musyawarah dibawah batang kayu besar dan rindang dengan
ciri-ciri apabila batang kayu tersebut di gores mengeluarkan getah.
Kemudian, getah tersebut apabila ditarik akan semakin panjang. Maka
diberilah nama pohon tersebut Batang Kajai, sehingga dalam musyawarah
tersebut ke sembilan datuk tersebut mengepakati nama nagari (daerah)
dengan nama Nagari Kajai.
"Alek nagari Bakaua
ini merupakan acara tahunan. Hanya sekali seja dalam setahun yang
dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan. Kegiatan diisi dengan acara seni
budaya dan agama, yakni pertunjukan randai anak nagari, Talempong Pacik, Tari Piriang, atraksi Silek Tuo termasuk Bapuau anak nagari," katanya.*
No comments:
Post a Comment