Saturday, September 16, 2017

Masalah Irigasi dan Pupuk Menjadi Kendala Petani

Desa Talawi Hilir Kecamatan Talawi memiliki potensi bidang pertanian sawah seluas 134,5 ha dan memiliki 16 kelompok tani. Desa seluas 452 ha tersebut memiliki penduduk sebanyak 4017 jiwa tersebar di empat dusun yakni dusun Siambalau, dusun Kubang Gajah, dusun Taratak Capo dan Dusun Talago. Areal petani sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan akibanya petani harus menggunakan mesin pompa air untuk menanam padi di sawah. 

"16 kelompok tani yang ada hanya tiga kelompok tani yang aktif, yakni dua kelompok tani sawah dan kebun kakao. Kelompok tani tersebut adalah Kelompok Tani Sawah Tongah, Kelompok Tani Saiyo dan Kelompok Kakao," ujar Ferdian Irwan, Kepala Desa Talawi Hilir Kecamatan Talawi Sawahlunto, kepada Penulis, Rabu, 13 September 2017. 

Ia menyebutkan bahwa masing-masing kelompok beranggotakan 15 orang. Kelompok tani yang tidak aktivitas tersebut disebabkan terjadinya kecemburuan sosial antar sesama. Terutama dalam hal pembagian hak pakai bantuan mesin pompa air dari Dinas Pertanian Kota Sawahlunto.

"Mesin pompa air tersebut digunakan untuk mengaliri air ke sawah petani yang pemanfaatannya secara berkelompok. Namun, karena ada yang tidak kebagian memakai pompa air tersebut akhirnya kelompok menjadi pecah dan berpengaruh pada aktivitas kelompok itu sendiri," katanya. 

Selain itu, ungkap Ferdian, petani juga mengelukan sulitnya membeli pupuk, malahan, petani telah mendaftarkan diri dengan melakukan penandatanganan untuk pembelian pupuk. Namun, setelah menandatangani pupuk juga tidak bisa dibeli dari kelompok. Akibatnya, petani menjauh dari kelompok dan tidak lagi aktif. 

"Petani membeli pupuk susah, sehingga petani membeli pupuk ke Padang Ganting Kabupaten Tanah Datar. Harganya pun lebih murah sekarung seharga Rp135 ribu sedangkan di Sawahlunto di jual seharga Rp150 ribu perkarung," katanya.  

Ia mengatakan bahwa sawah petani di Desa Talawi Hilir merupakan sawah tadah hujan. Sebab, belum memiliki irigasi sehingga berisiko kekeringan dan gagal panen. Untuk mengatasi resiko kekeringan air tersebut agar petani tetap turun kesawah menanam padi dengan menggunakan mesin pompa air. 

"Mesin pompa air tersebut merupakan bantuan dari pemerintah kota untuk membantu petani. Namun, masih ditemukan kendala dilapangan atas pemanfaatan mesin pompa air tersebut, pemanfaatan yang belum merata. Kemudian tambah pula tingginya ongkos pemliah bahan bakar yang dikelurkan untuk mengaliri air ke sawah," tambahnya. 

Ia melanjutkan bahwa untuk mengaliri air ke sawah petani menghabiskan uang sebesar Rp7 juta. Sementara biaya yang terkumpul berdasarkan iyuran sebesar Rp8 juta. Sebab, biaya untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak dibantu pemerintah. Sehingga petani banyak kewalahan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan mengaliri air ke sawah. 

"Untuk membantu masyarakat petani kita akan memanfaatkan pompa air tepat guna Hidram yang akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kita akan ajukan anggaran tersebut tahun 2018 untuk membantu masyarakat petani dalam hal kekurangan air. Sebab, pompa air tersebut tidak memakai bahan bakar untuk menyedot air dan mengalirikannya ke sawah petani," katanya. 

Sementara itu, lanjut dia, pompa air tepat guna Hidram tersebut pipa sebesar 6 inci setelah konsultasi melalui studi banding sehsrga Rp17 juta satu unit pompa. Kemudian, alternatif lain untuk mengaliri air, pemerintah desa telah menggarkan teknologi pompa air tenaga surya tanpa memiliki baterai. Pompa tersebut menggunakan dana desa sebesar Rp150 juta. 

"Saat ini sedang dilakukan proses pemasangan peralatan teknologi pompa air tenaga surya akan dioperasikan dalam waktu dekat. Sehingga, sawah petani dapat dialiri air sehingga petani bisa bercocok tanam. Karena biaya terlalu mahal sehingga untuk uji coba dilakukan di sawah Tapian Tonang. Teknologi pompa air tenaga surya tersebut hidup secara otomatis untuk memompa air ke sawah petani pasaat siang hari dan malam pompa air tersebut matu karena tidak memiliki baterai," tuturnya. 

No comments:

Post a Comment