Monday, September 18, 2017

Melirik Paguyuban Kesenian Ki Sapu Jagat Kota Sawahlunto

Grebek Suro Menjadi Tontonan dan Tuntunan Masyarakat Sawahlunto


Kelompok Seni Sapu Jagat multi etnik tergabung masyarakat Jawa, Minangkabau, Batak dan menganut kepercayaan yang berbeda-beda namun saling berbaur. Sebab, kelompok seni Ki Sapu Jagat memiliki motto "membina akhlak melalui seni dan budaya" dengan tidak membedakan suku, agama dan ras seseorang tetap bersatu dalam satu paguyuban kesenian Sapu Jagat.




Selasa, 12 September 2017 sore langit kota Sawahlunto terlihat mendung. Sore itu pula di kaki bukit puncak Polan, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Penulis, menjambangi sekret Paguyuban Kesenian Ki Sapu Jagat Kota SawahluntoDilaman sekret tampak berselempangan sisa-sisa potongan kayu dan rautan bambu pembuatan tandu yang digunakan untuk gunungan buah-buahan. 

Gunungan buah-buahan tersebut dirakit untuk persiapan kegiatan Grebek Suro peringatan tahun baru Islam yang jatuh pada 21 September bertepatan 1 Muharram 1439 Hijriyah. Anggota Paguyuban tampak sibuk mempersiapan tandu gunungan buah-buahan dan Apam. 

Paguyuban Kesenian Ki Sapu Jagat Kota Sawahlunto, berdiri sejak 1 Juli 2010 terus rutin melaksanakan kegiatan Grebek Suro yang menjadi agenda tahunan. Sapu Jagat beranggotakan 71 orang dengan penasehat, Ismed, Tukino, Zainal, Saiman, dan Zainal Arifin Dt Bandaro Putiah. Paguyuban tersebut fokus pada kegiatan yang dilaksanakan berupa kegiatan pesta ramadhan, Grebek Suro, Band, Keroncong, Kuda Kepang, Teater dan Film.

Kelompok Seni Sapu Jagat multi etnik tergabung masyarakat Jawa, Minangkabau, Batak dan menganut kepercayaan yang berbeda-beda namun saling berbaur. Sebab, kelompok seni Ki Sapu Jagat memiliki motto "membina akhlak melalui seni dan budaya" dengan tidak membedakan suku, agama dan ras seseorang tetap bersatu dalam satu paguyuban kesenian Sapu Jagat.

Agus Iwan Darmawan, Ketua Paguyuban Kesenian Ki Sapu Jagat Sawahlunto menyebutkan bahwa proses pembuatan gunungan buah terbuat dari bahan bambu dengan ketinggian 2,5 meter hingga 3 meter. Tahapan yang dilalui saat pembuatan gaunungan buah tersebut dimuai dengan penebangan bambu. Bambu tersebut telah dikebat atau diikat dengan kain merah dan telah dijaga selama 90 hari sebelum ditebang. Kemudian, tandu tersebut dilengkapi bambu kuning untuk ditengah gunungan sebagai poros. Bambu yang dikebat dengan kain merah tersebut di dzikirkan dan didoakan agar ada berkatnya, artinya sebatang bambu tersebut telah "dijaga" atau disakralkan. 



Proses pembuatan tandu gunungan buah-buahan akan menghabiskan waktu selama satu minggu. Jadi, ada dua buah gunungan yang akan akan disiapka pada peringatan 1 Muharam yang ditandai dengan Grebek Suro, yakni Gunungan Buah-buahan dan Gunungan Apam. Gunungan buah tersebut syarat dengan makna pengucapan rasa syukur dan saling berbagi. Berbagi orang yang "berlebih" atau orang kaya kepada orang yang tidak "punya" atau miskin. Sehingga gunungan tersebut menjadi rebutan oleh masyarakat. 

Ada 40 jenis buah-buahan dengan berat 150 kilogram untuk gunungan buah. Gunungan tersebut akan diangkat oleh sepuluh orang sanggar. Untuk satu gunungan menhabiskan biaya sebesar Rp8 juta. Selanjutnya, prosesi berikutnya adalah pencucian buah-buahan dengan air terjun masjid. Kemudian di dzikirkan bersama dengan tokoh agama dan masyarakat, setelah itu barulah di pasang buah-buahan tersebut ketandu yang telah disiapkan berdasarkan urutan tertinggi buah-buahan. 

Artinya buah tersebut ada pengelompokannya, seperti buah Nanas, Tomat, Apel. Buah Nanas melambangkan kejayaan, sedangkan Tomat disimbolkan darah, terong dan Timun melambangkan tulang manusia. Artinya, gunungan buah-buahan tersebut jadi kekuatan yang akan disumbangkan kepada masyarakat yang kurang mampu. 

Pencucian buah-buahan bersamaan dengan pencucian benda pusaka dengan mandi kembang dari air terjun masjid. Pencucian buah-buahan Apam dan benda Pusaka dilakukan pada malam pergantian tahun dengan air terjun masjid dengan prosesi ritual. Kemudian di sakralkan dengan membaca dzikir dan doa-doa malam hari di halaman sekret Paguyuban. 

Buah-buahan tersebut seluruhnya sudah di sakralkan, sehingga memiliki karomah tersendiri karena di dzikirkan. Grebek Suro di Sawahlunto tidak ada kaitannya, hanya saja sejarah budaya yang dibawakan oleh nenek moyang dulu. Karena Sawahlunto multi etnik, maka kita mengadopsi apa yang menjadi kebiasaan dan budaya nenek moyang dari Klaten tanah Jawa.

Berbeda dengan proses Apam, yang merupakan perjalanan Ki Ajeng Gribik melakukan perjalanan ke Makkah pulang dan pergi mamakan waktu selama 1000 hari dan membawa bekal satu hari satu Apam. Untuk 1000 apam, karena mengikuti perjalanan Ki Ajeng Gribik yang melakukan perjalanan haji selama 1000 hari untuk menjemput kebaikan di Makkah. 

Sesampai di Makkah diberikan makan Affan (Apam), oleh seorang syeh berjumlah seribu buah hingga menuju pulang Apam tersebut tidak berkurang jumlahnya meskipun telah dimakan. Orang Makkah menyebutkan Affan orang Jawa menyebut Apam atau kue Panukuik. Apam itu sendiri terbuat dari beras dan kelapa. Beras tersebut dicuci dengan air pancuran tujuh masjid dan didzikirkan.

Ada lima warna Apam, warna tersebut terkolaborasi membentuk kalimat Allah dan Muhammad. Warna tersebut mengijuti jadwal waktu shalat sebanyak 17 rakaat di mulai dari Isya emapat rakaat shalat ditandai dengan warna Merah, Subuh dua rakaat diwarnai dengan warna hijau, Dzuhur empat rakaat ditandai dengan warna cokelat, Ashar empat rakaat shalat ditandai dengan warna putih dan Maghrib ditandai dengan warna hitam.

Grebek Suro ada sejak jaman kerajaan Maja Pahit dibawah kekuasaan Protu Wijaya V diadakannya Grebek Suro. Karena suatu daerah kekeringan sehingga gagal panen, ada suatu kampung yang di naungi oleh Ki Ajeng Gribik yang merupakan tokoh ulama di Maja Pahit,tidak mengalami kekeringan, justru hasil panen mereka sangat berlimpah ruah. 

Ki Ajeng Gribik memerintahkan kepada masyarakat untuk saling berbagi kepada yang tidak "memiliki" (kampung sebelah yang gagal panen) sehingga tradisi Grebek Suro di tanah Jawa tetap dilaksanakan, saling berbagi dan rebutan bagi masyarakat terhadap gunungan buah-buahan. Jadi yang memiliki (kaya) dibagi kepada masyarakat yang tidak memiliki (miskin). Jadi, Grebek Suro merupakan bentuk mengenang Ki Ajeng Gribik pada tahun suro. 

Saling berbagi tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Al quran surat Alkahfi ayat 30-47 tentang kemakmuran masyarakat yang saling berbagi antar sesama. 

Tradisi Grebek Suro hanya diadakan pada tahun baru Islam tidak dilakukan pada hari lain. Kecuali Grebek Sawal diisi dengan ketupat, Grebek Maulid isi dengan sayur-sayuran dari hasil panen, artinya Grebek Suro hanya diadakan pada peringatan hari besar Islam. 

Acara puncak Grebek Suro pada tangga 1 Muharram, gunungan buah-buahan dan Apam akan diarak ke sekeliling kota diawali dengan pembacaan doa dan pemotongan Tumpeng. Selanjutnya, gunungan buah-buahan dan Apam di rebut oleh masyarakat di alun-alun kota dan berakhir di Goedang Ransoem. 

Kemudian di Sawahlunto sendiri Grebek Suro menjadi destinasi wisata religius sebagai contoh bagi masyarakat. Grebek Suro tersebut pada prosesinya sama dengan yang diadakan di Jawa, sehingga berbagi bersama memperebutkan gunungan buah-buahan dan Apam. Grebek Suro tersebut merupakan tahun ke 7 dilaksanakan di kota Sawahlunto oleh Paguyuban Kesenian Ki Sapu Jagat Kota Sawahlunto.

Untuk pelaksanaan kegiatan Grebek Suro, Agus Iwan Darmawan mengaku mencari sponsor keluar, sebab tidak ada bantuan dari pemerintah kota terutama dalam hal pembinaan. Kegiatan yang lakukan hanya bersifat swudaya dan hanya hargai dengan tepuk tangan penonton. Sebab, Paguyuban Ki Sapu Jagat berbuat tidak hanya sebagai tontonan namun juga menjadi tuntunan bagi masyarakat khususnya di Kota Sawahlunto.*

No comments:

Post a Comment