Yusman dan anak-anaknya menahan lapar karena tidak ada beras untuk di makan. Sementara mengutang tidak ada yang sudi karena membayarnya lama.
Laporan : Julnadi Inderapura, Sawahlunto
Senin, 18 September 2017 siang langit Sawahlunto tampak cerah. Jalan Desa Kolok Nan Tuo Kecamatan Barangin tampak sepi kendaraan lalu lalang. Siang itu, ibu lima orang anak tampak menenteng ember tanpa alaskaki menunuju rumah panggung kayu. Rumah berukuran kurang lebih 6x4 meter itu dindingnya borlobang dimakan rayap. Rumah tersebut belum masuk listrik dan masih memakai lampu minyak pada malam hari. Kemudian untuk penghematan minyak malam hari hanya memanfaatkan biasa cahaya lampu jalan.
Sementara lantai rumah panggung itu terlihat miring. Tidak ada peralatan mewah di rumah itu. Hanya lembaran tikar usang menutupu lantai rumah untuk berlindung dari jempitan lantai naik turun saat di injak. Abu dapur yang dingin karena dari pagi belum menyalakan tungku, sebab belum ada beras untuk dimasak.
Yusma, 35, ibu lima orang anak ini mengaku tinggal di rumah itu selama dua tahun besama suami dan anak-anak. Sebelumnya ia tinggal di Sulik Aia Kabupaten Solok. Namun karena tekanan hidup dan tidak ada pekerjaan untuk bertahan hidup memaksa dirinya bersama anak-anak pindah ke Dusun Kolok Tengah Desa Kolok Nantuo. Rumah yang ditempat tersebut bukan rumah miliknya namun rumah keluarga Suami.
Yusma tinggal bersama tiga orang anaknya yang masih menjadi tanggungjawabnya. Sebab, salah seorang anaknya pergi merantau bekerja di warung nasi merupaka perempuan satu satunya. Sedangkan anak satunya lagi tinggal bersama istrinya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Saya baru pulang dari sawah menyerai pupuk karena padi telah berumur 1,5 bulan. Belum lagi penyakinya sudah mulai memguning karena hama hitam-hitam seperti 'kapindiang'. Sawah tersebut merupakan sawah sewaan, hasilnya akan di bagi empat dengan pemilik sawah. Saya, akan bayar setelah panen dengan menjual beras hasil panen yang diserahkan kepada pemilik sawah," ujarnya dengan mata sayu.
Ia menyebutkan dirinya untuk memupuk padi harus mengutang ke kios menjual pupuk. Pupuk tersebut didapatkan dengan perjanjian dibayar usai panen padi. Begitu pula dengan obat padi untuk disemparot mengusir hama. Kalau kebutuhan pupuk bisa lah utang. Namun yang lebih sulit adalah biaya harian untuk dimakan. Karena tidak ada tempat untuk mengutang beras untuk dimasak. Sementara pekerjaan disini susah didapatkan.
"tidak ada yang sudi dihutang dan dibayar setelah panen. Saya hanya buruh tani yang memakan upah untuk membeli beras. Namun, saat ini tidak ada lagi yang membawa bekerja untuk gajian harian. Upah yang didapatkan bekerja seharian sebesar Rp80 ribu, masuk pukul 07.30 keluar pukul 17.00," tuturnya.
Sembari duduk menggerutu di pelantaran depan rumahnya ia melirik kiri dan kanan menunggu suami pulang. Sebab, dirinya belum memasak karena tidak ada beras. Ia berharap suami pulang membawa beras untuk di tanak. Namun, dirinya tidak mengetahui suaminya hari ini bekerka apa, karena sang suami pun tidak ada pekerjaan.
"Semalam saya sempat nangis pada suami karena tidak ada beras untuk dimasak, sebab, sore kemarin saya belum memasak. Pagi-pagi sekali suami sudah pergi dari rumah mencari kerja. Saya berharap ada keajaiban. Sebab, suami bekerja serabutan, terkadang bokar muat pasir. Namun, saat ini tidak adalagi pesanan karena tidak ada yang membangun rumah," katanya.
Kemudian, lanjut Yusma, sebelumnya sang suami bekerja mengembala Kerbau milik tetangga yang tidak jauh dari rumahnya. Namun karena kerbau tersebut padangnya jauah di atas perbukitan sehingga suami sering pulang malam. Maka, dirinya tidak lagi mengembala kerbau, sejak pemiliknya meninggal. Namun, sekarang dirinya tidak lagi mengembala kerbau tersebut karena telah di urusi anak yang punya.
"Terkadang sudah azan Isya, suami saya belum juga bulang sehingga saya datang menyongsong menjemputnya ke hutan. Saya merasa khawatir dan kasihan karena kaki suami saya pincang. Saya takut kalau ia terjatuh atau pusing di tengah hutan siapa yang tahu dan tak bisa dibayangkan. Apalagi umurnya sudah 55 tahun sudah tua," sebutnya dengan mata yang berkaca.
Ia mengaku empat orang anaknya masih menjadi tanggungjawabnya dan keempat orang anaknya putus sekolah. Anak-anaknya hanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD) setelah itu tidak lagi menyambung ke pendidikan yang lebih tinggi karena terkendala biaya. Jangankan biaya pendidikan baju saja dikasih orang.
"Anak, saya yang keempat sebelumnya pernah mendapat Kartu Indonesia Pintar sawaktu SD. Namun, setamat SD tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Jangankan untuk biaya sekolah, makan saja susah. Sementara anak yang bunsu, perempuan merantau di kelok sembilan di warung nasi," tuturnya lugu.
Ia mengaku memilih tinggal di Desa Kolok Nan Tuo karena masih banyak peluang untuk bekerja menyambung hidup. Namun, sekarang tidak adalagi tempat bekerja, termasuk anaknya juga ikut menganggur karena tidak ada pekerjaan. Meskipun, tidak jauh dari tempat tinggalnya ada yang berkerja tambang, namun anaknya sudah coba mendekati dengan harapan bisa diikut sertakan berkerja menambang.
"Anak saya tidak diikutkan untuk bekerja, karena yang bekerja hanya keluarga penambang saja. Kalau, anak saya bekerja tentu akan dapat membantu memenuhi kebutuhan harian," sebutnya.
Ia mengaku belum ada perhatian dari pemerintah sejak tinggal rumah tersebut. Apa lagi bantuan raskin Desa. Namun, staf desa sudah pernah kesini meninta KTP- KK tapi tidak tau gunanya untuk apa. "Staf Desa pernah datang ke sini, menayakan KK dan KTP untuk di data. Sudah pernah tiga kali dstang kesini dan membawa KK dan KTP katanya untuk diajukan diberikan bantuan. Namun hingga saat ini belum ada," akunya.*
No comments:
Post a Comment