Djamaluddin terpaksa menggantikan namanya demi menulis pada jaman Kolonial Belanda. Keinginan untuk menulis tersebut Djamaluddin memilih berhenti menjadi dokter sekolah Stovia Jakarta. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Jerman tentang Jurnalistik.
Laporan : Julnadi Inderapura, Sawahlunto
Ranji Djamaluddin, A.N. Datuak Maharajo Sutan |
Rabu, 7 Februari 2018 siang rumah Kelahiran Adinegoro terlihat tampak sibuk. Rumah Gadang kelahiran Adinegoro hanya tinggal sisa tangga rumah tembok. Selin itu rumah gadang Adinegoro hanya tinggal pondasi tempat penjanggah tiang-tiang rumah gadang. Sebab, rumah gadang Adinegoro merupakan rumah panggung. Namun bekas bangun rumah tersebut telah di tanami bunga-bunga. Rumah Gadang Adinegoro tersebut masih meninggalkan kisah bagi keluarga dan masyarakat sekitar.
Adinegoro dan Muhammad Yamin adalah saudara se ayah dan lain ibu. Adinegoro dilahirkan di Talawi 14 Agustus 1904 dan meninggal 8 Januari 1967. Adinegoro memiliki suku orang Talawi menyebutnya suku Sambuang. Kemudian diikuti dengan nama kampuang Adinegoro yakin Konono, maka suku Adinegoro adalah Katapang Konono.
Rumah Gadang Adinegoro tersebut pada tahun 1805-1838 pernah dibakar akibat perang Padri. Kemudian keluarga bersar Adinegoro mengungsi hingga perang usai. Namun setelah perang Padri usai keluarga kembali membangun rumah gadang. Sampai rumah gadang tersebut kondisi tidak layak dengan atap yang telah bocor kemudian dindingnya telah miring serta lantai telah bolong. Kondisi rumah yang sudah tua tersebut sehingga rumah kelahiran Adinegoro di robohkan sejak dua tahun silam.
Medriyal Alam Syah, 54, adalah seorang cucu dari Adinegoro menyebutkan bahwa Adinegoro merupakan nama samaran bagi Djamaluddin. Nama tersebut sengaja dibuat ketika sekolah di Stovia Jakarta, usai menamatkan pendidikan di INS Kayutanam. Djamaluddin seorang penulis dan tidak dibenarkan untuk menulis pada jaman penjajahan Kolonial Belanda. Sehingga nama Djamaluddin yang bergelar Datuak Majo Sutan diubah menjadi Adinegoro sewaktu sekolah di Stovia Jakarta.
Namun, Djamaluddin tidak tamat sekolah di Stovia merupakan sekolah kedokteran, kemudian Djamaluddin hijrah sekolah ke Jerman. Djamaluddin menyelesaikan sekolah Jurnalistik di Jerman dan membawa perubahan terhadap Jurnalistik di Indonesia. Bahkan pada konferensi meja bundar di Jerman, Djamaluddin merupakan wartawan satunya yang melakukan peliputan.
Selain itu, Djamaluddin yang akrab disapa Uddin semasa kecil suka memancing ikan dan belut di sawah. Kemudian teman akrab semasa Djamaluddin adalah Munok. Sehingga sewaktu pulang kampung dari Jakarta orang yang pertama dicari alah Munok sekaligus hadiah atau oleh-oleh yang dibawa berupa cerutu dan kaim sarung. Ada pula benda benda merah seperti glas cantik buatan Belanda dan saat ini buah tangan yang dibawa Djamaluddin masih tersisa di rumah gadang. Saat ini rumah tersebut di huni oleh Iriswati Alam Syah, 78, cucu perempuan Djamaluddin.
Selanjutnya, Djamaluddin suka tidur di atas gabah kering padi dan jerami yang telah di alas dengan tikar. Sebab, semasa panen raya, gabah padi kering di bawa ke rumah dan beronggong di rumah. Maka, di atas gabah padi kering itulah Djamaluddin tidur dengan pulas. Sebab, semasa kecil alam masih asri dan dingin sehingga Djamaluddin tidur di atas padi gabah kering kerena padi tersebut memiliki hawa panas.
Struktur rumah Kediaman Djamaluddin Adinegoro merupakan rumah panggung. Dinding terbuat dari bambu yang dikenal dengan nama 'Sasak' (bambu yang di anyam) menjadi dinding rumah lada bagian depan dan belakang. Sementara dinding samping terbuat dari papan kayu beserta lantai rumah. Djamaluddin beristri dengan orang Sulit Aia Kabupaten Solok.
"Sepulang dari rantau Jakarta, Djamaluddin pulang kerumah Istrinya dengan berjalan kaki membawa barang dengan jarak tempuh 18 kilometer. Djamaluddin dikaruniai lima orang anak dan sekarang anak beliau masih ada dua orang lagi, namun sudah merantau di Jakarta dan berdomisili di sana," katanya.
Medriyal Alam Syah, 54, bersama sang kakak Iriswati Alamsyah, 78, melanjutkan bahwa sangat senang akan perencanaan kedatangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke Kampung halamannya.
"Kami sekeluarga sangat senang akan kedatangan Presiden kesini. Saat ketemu nanti kami punya ide harapan didirikannya sebuah museum Adinegoro- Mr Muhammad Yamin pada tanah ini," sebut Pria yang kini bekerja di Jakarta sebagai Konsultan ini.
Ia melanjutkan rumah gadang yang pernah berdiri setelah perang Padri pada tahun 1838 ini sangat bersejarah, pernah ditinggali dua orang tokoh, yaitu Tokoh Nasional Muhammad Yamin dan Tokoh Jurnalistik Djamaluddin Adinegoro. Maka, harapannya jika rumah gadang Djamaluddin tersebut akan kembali di bangun dan jika memang ini terwujud sangat, maka bermanfaat untuk generasi sekarang. Sebab, tidak banyak generasi muda yang kenal Djamaluddin tokoh yang pernah meraih anugerah raihan karya jurnalistik tertinggi di Tanah Air itu.
"Karena generasi muda perlu tahu siapa dia, kenapa dia bisa mendapatkan penghargaan tertinggi dari Insan pers, tentu akan jadi panutan generasi dalamberkarya.
Perencanaannya, kami berharap berdiri sebuah museum yang dibuat seasli mungkin dengan mencontoh rumah gadang tempat Djamaluddin Adinegoro tinggal dulu. Akan dibuat didepan dan belakangnya dari kayu, disamping rumahnya terbuat dari sasak atau jalinan bambu," ujar Medriyal, bersama kakak kesembilannya, Almahdi.
Medriyal menambahkan bahwa jika memang terwujud sekeluarga tidak mau memberikan museum tersebut ke pemerintah. Namun akan diberikan pada publik untuk kawasan wisata sejarah. Seperti diketahui, Djamaluddin Adinegoro (14 Agustus 1904-8 Januari 1967), terlahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Adinegoro dianggap kalangan pers nasional sebagai peletak dasar jurnalistik nasional, dimulai saat masih Belanda menjajah Indonesia.
Iriswati Alamsyah, 78, menambahkan bahwa dalam ukuran zaman itu, Adinegoro berkinerja reporter sekaligus fotografer, infografer dan kartografer atau multitasking. Ia pun kompeten menggunakan berbagai format alat kerjanya mulai dari mesin ketik hingga teleks/radiogram atau multiplatform.
Syamsi Jamil, 89, tokoh masyarakat Ketua veteran kota Sawahlunto menyebutkan bahwa Adinegoro merupakan seorang pengarang dan banyak karangannya. Kemudian Adinegoro juga seorang penulis dan Jurnalistik pertama Indonesia. Adinegoro dibesarkan besarkan bersama Muhammad Yamin.
"Mereka berdua di asuh oleh ibu saya, ketika masih kecil bermain do rumah. Adinegoro adalah anak yang baik dan cerdas serta memiliki prinsip hidup," katanya.
Khairul Bahri, 73, cucu Adinegoro menyebutkan bahwa Adi Negoro punya dua orang saudara perempuan dan satu orang laki-laki. Kemudian semasa kecil diperkampungan Binasi, tempat keberadaan rumah gadang kelahiran Adinegoro hanya ada dua rumah gadang. Sebelum tidak ada rumah hadang dan jaraknya pun saling berjauahan. Kemudian pada tahun 1960-an barulah disekiran rumah kelahiran Adinegoro banyak perumahan.
Kemudian, tulisan Adinegoro dikenal tajam dan berani mengkritik serta elegan. Sebagai wartawan sebelum kemerdekaan Adinegoro selalu diawasi aktivitas jurnalistiknya. Sebab, tulisan Adinegoro banyak mendukung gerakan nasionalis. Selain dikenal sebagai wartawan, Adinegoro dikenal sebagai sosok sastrawan yang produktif menghasilkan karya sastra.
Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih maju menentang adat dalam perkawinan yang dituangkan ke dalam dua romannya, Darah Muda dan Asmara Djaja. Karyanya yang lain, Melawat ke Barat, berisi kisah perjalannya ke Eropa, kerap dianggap memiliki kualitas sastra yang tinggi.
Ali Yusuf Walikota Sawahlunto menyebutkan bahwa kedatangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke Sawahlunto akan beragenda ke Kandih untuk peletakan batu pertama monumen Adinegoro, Museum dan perpustakaan Adinegoro yang berpusat di Kandih. Pembangunan perpustakaan dan museum Adinegoro dirancang seperti bangunan tua Heritage.
"Karena pemerintah kota telah mengusulkan kota Sawahlunto sebagai warisan Dunia UNESCO. Usulan tersebut telah sampai di Paris kota Sawahlunto sebagai warisan Dunia pada tanggal 26 Januari 2018. Maka, harapan kita kota Sawahlunto menjadikan kota Warisan Dunia dan di akui oleh UNESCO," katanya.
No comments:
Post a Comment