Pengelolaan sampah medis, yakni sampah infeksius dan non
infeksius hingga kini masih belum dikelola dengan baik. Padahal dampak yang
ditimbulkan kepada masyarakat sangat membahayakan. Dari sekian banyak rumah
sakit, Padang hanya memiliki satu tempat pengelolaan limbah infeksius yang
dikenal dengan nama insenerator.
Limbah medis bersifat infeksius dan kimia beracun. Dapat mempengaruhi kesehatan
manusia dan memperburuk kelestarian lingkungan hidup apabila tidak dikelola
dengan baik. Sampah
infeksius berupa kasa/verband pembalut luka, jaringan tubuh, kertas tissue
bekas, kateter urine bekas, selang infuse, selang drainase, plester, pampers,
sarung tangan bekas pakai, kantong darah bekas, botol infus, dan benda yang
terkontaminasi cairan tubuh lainnya.
Pejabat pemberi informasi dan dokumentasi RSUP MDjamil Gustafianof
mengatakan, pengelolaan sampah infeksius yang dihasilkan oleh RSUP M Djamil
Padang sedang mengalami gangguan. Sejak Januari lalu, Insenerator sebagai alat
pembakaran sampah medis mengalami kerusakan. Hal itu menjadikan pihak rumah
sakit tidak bisa mengelola sampah medis sebagaimana mestinya. Sehingga pihak
rumah sakit terpaksa bekerjasama dengan pihak ketiga, yakni PT Multazam yang menyediakan
jasa transportasi penangkutan limbah medis dan B3. Sedangkan sampah Non
infeksius dikelola oleh petugas kebersihan.
“Untuk satu sampah infeksius dan limbah b3, berhubung
insenerator rusak, kami dibantu oleh PT Multazam. Pengambilan dan pemusnahan semua
ditanggung oleh PT Multazam,” jelasnya.
Gustafianof menjelaskan, limbah yang dikumpulkan selanjutnya
akan dikirim ke Jakarta untuk dilakukan proses pemusnahan. Sedangkan untuk
perbaikan insenerator, pihak rumah sakit tengah melakukan perbaikan agar
terhindar dari penumpukan sampah.
“Selanjutnya kami akan tetap bekerjasama engan PT. MUltazam
untuk pengiriman limbah B3. Mereka kan punya standar, pengawasannya juga ketat,”
Jelas Gustafianof.
M Djamil memiliki dua pembagian sampah. Sampah medis yang dihasilkan dalam
waktu seminggu sekitar 200 kg per hari. Untuk keamanan, setiap sampah yang akan
dikirim, dilakukan pengepakkan/packing
menggunakan karton, dan terdapat box khusus untuk menjaga keamanan limbah.
Marketing PT Multazam, Fahrry Muhardhany membenarkan bahwa PT
Multazam sudah bekerjasama dengan RSUP M Djamil Padang sejak akhir Januari
lalu. Hal tersebut karena tempat pengelolaan limbah, yakni insenerator rumah sakit
tersebut dalam keadaan rusak. Selain RSUP M Djamil, PT Multazam juga
bekerjasama dengan 76 rumah sakit lain se-Sumbar.
Menurut Fahrry, limbah infeksius yang dihasilkan rumah sakit
se-Sumbar sekitar 1 ton per minggu. Sedangkan dalam waktu sebulan, limbah
infeksius yang dihasilkan mencapai 10 ton. Limah tersebut dikatakannya akan
dikirim ke Jakarta, tepatnya ke PT Jasamedivest untuk dikelola. Jasamedivest merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
manajemen pengelolaan limbah medis & B3, khususnya jenis padat, dan sudah mendapatkan izin dari
kementrian lingkungan hidup. Pengiriman dikemas dengan rapi sesuai standar
keamanan yang telah ada.
“Untuk Kota Padang, rumah sakit yang bekerjasama dengan kami
adalah RSUP M Djamil, Ibnu Sina, dan Yos Sudarso.” Ungkapnya.
Kepala UPT TPA Sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP)
Padang, Azwardi mengatakan, sampah medis tidak boleh dibuang bersamaan dengan
sampah domestic lainnya. Hal itu karena sampah medis memiliki tingkat bahaya
yang sangat tinggi dan dikhawatirkan bisa membahayakan manusia. Ia mengatakan,
sejak dua bulan terakhir sudah dilarang masuknya sampah infeksius ke TPA Air
Dingin. Tidak hanya itu, penjemputan sampah medis ke rumah sakit pun sudah
dihentikan.
“Sejak adanya larangan dari DPRD mengenai pembuangan sampah
medis ke TPA, dari dua bulan lalu kami tidak lagi menerima sampah tersebut.
Setahu saya pengelolaannya langsung dilaksanakan di RS Yos Sudarso dan RSUP M
Jamil Padang,” paparnya.
Namun Hal berbeda disampaikan oleh Kepala Bapedalda Padang,
Edi Hasymi melalui Kepala Bidang Pengawasan Pengendalian, Mairizon bahwa sampah
medis masih ditemukan di TPA Air Dingin sekitar satu bulan lalu. Hal ini
menandakan bahwa masih banyak pihak rumah sakit yang tidak patuh dan membuang
sampah medisnya ke TPA domestic.
Untuk pengelolaan limbah medis Padang, dinilainya masih
sangat jauh dari kata baik. Bahkan di rumah sakit negeri saja, pengelolaan
limbah medih hanya berjalan 30 persen dari target seharusnya yakni 100 persen.
Tidak hanya Padang, untuk pengelolaan limbah medis di Indonesia masih
bermasalah. Perlu adanya penambahan tempat pengelolaan limbah sehingga seluruh
limbah medis yang dihasilkan bisa dikelola dengan baik.
Pengankutan sampah medis ber-biaya 40 ribu per kilo. Jika
dibandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan sebuah rumah sakit, tentu
tidaklah seberapa. Namun, masih saja ditemukan alasan-alasan biaya pengangkutan
limbah yang mahal dari instansi-instansi kesehatan.
“Harusnya setiap rumah sakit mampu mengelola limbah yang
mereka hasilkan. Tidak hanya limbah cair, tapi juga limbah padat. Jangan
bisanya cuma mendirikan RS, tapi tidak bisa mengelola limbah yang dihasilkan,”
jelasnya.
Dari sekian banyak rumah sakit yang ada di Padang, yang
memiliki Insenerator hanya tiga rumah sakit. Namun dua diantaranya dalam
keadaan rusak. Ditambah lagi, masih ada rumah sakit yang memiliki insenerator
namun tidak punya izin penggunaan dari Kementrian Kesehatan.
“Mau bagaimana, daripada limbah tidak dikelola dan dibuang
disembarang tempat, terpaksa penggunaan insenerator yang belum mengantongi izin
tersebut dibiarkan,” paparnya.
Mairizon menambahkan, bahwa pengelolaan limbah medis
sepenuhnya merupakan tanggung jawab rumah sakit. Jika masih ada pihak yang
melanggar, akan ada sanksi yang nantinya diterima baik itu dari pihak rumah
sakit, maupun tempat pembuangannya. Sanksi terberat yang diterima berupa
pencabutan izin dari rumah sakit tersebut
No comments:
Post a Comment