Ia mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus
mendukung penuh apa yang talah dilakukan oleh perupa yang berasal dari sumbar,
karena mereka telah memberikan energi baru bagi kesenian di Sumbar. Ada sebanyak
19 orang perupa yang mengikuti pameran 'Tambo Rupa' yang tergabung dalam
"Kampuang Sakato".
"Saya merasa terhormat bisa datang untuk pembukaan
pameran seni rupa ini. Kali ini merupakan kehadiran yang kedua kali untuk
membuka dan mengapresiasi karya seni rupa. Termasuk gubernur provinsi sumbar
yang ikut serta mendukung pameran ini. Jangan hanya janji-janji, Pemprov harus
memberikan ruang yang lebih bagi para perupa di sumbar, saya punya usul istana
bung hatta juga bisa digunakan sebagai pameran seni nantinya," kata Padli
Zon sembari menayakan kepada Gubernur Sumatera Barat saat itu.
Para perupa yang telah mendapatkan pendidikan dan pengalaman
secara akademis, baik itu melukis atau pun seni patung serta kegiatan seni lain
yang ada di Jogjakarta, kemudian kembali ke Sumatera Barat dan berkiprah. Tuah
sakato ini sering melakukan iven pameran seni rupa yang merupakan iven tahunan.
"Pamerannya selalu banyak dan cukup dominan di
Jogjakarta kawan-kawan seni rupa dari Sumatera Barat, yang belajar di Jogjakarta.
Kemudian kembali ke Sumatera Barat untuk berkiprah pada saat ini menurut saya
seuatu energi baru, semangat baru yang berkolaborasi dengan seniman dan
budayawan yang sudah berkiprah di Sumater Barat," katanya.
Menurut ia, sangat dan energi baru ini merupakan suatu
kolaborasi yang sangat konstruktif. Hanya dukungan termasuk dari lingkungan
pemerintah provinsi Sumbar, Kabupaten/kota perlu menunjukan, karena karya para
seniman ini merupakan karya yang sangat baik. Sebab, karya-karya 19 seniman rupa bisa nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
"Pencapaiannya pun juga sangat baik untuk mencapai
proses artistik tertentu apalagi para seniman telah merantau dan kembali
keranah minang tentu membawa karya yang sangat baik. Saya yakin karya perupa
yang dipamerkan ini ada karya yang bisa membanggakan," katanya.
Menurut Padli Zon, bangsa yang beradab adalah bangsa yang
menghargai kebudayaannya sendiri. Untuk itu Sumatera Barat harus memulai
terlebih dahulu. Kita juga harus berkaca kepada negara luar yang menjadikan
karya seni sebagai karya nasional. Jika kita melihat pada negara-negara yang
perdabannya telah maju, terutama di Eropa, karya seni rupa tersebut disupor
oleh pemerintah. Lukisan dan karya pelukis ini adalah kebanggaan nasional
mereka. Kita memang masih belum mencapai pada suatu tingkat peradaban itu. Kita
menghargai karya-karya seni yang pencapaian artistiknya yang tinggi, namun
diakui bahwa kita belum sampai ke arah itu. Tapi kita harus menunuju ke arah
peradaban tersebut.
Suatu hari di Indonesia termasuk Sumatera Barat diharapkan
ada musium-musium seni rupa yang repsentatif dengan hasil karya-karya terbaik
yang akan di pampang di musium tersebut. Hal itu tidak hanya menjadi kebanggaan
provinsi dan kebanggaan nasional. Bahkan sejumlah perupa dari Sumbar dari Jogja
juga dikoleksi oleh kolektor dunia. Mereka juga mempunyi waorkshop, musium dan
jika mereka di undang untuk menghadiri pameran seni rupa ini, akan memberikan
energi dan kegairahan bagi seniman rupa di Sumatera Barat.
Sumatera Barat merupakan provinsi yang sangat maju untuk para
perupa, pelukis dan pematung dan dari dulu telah berkiprah di level nasional.
Namun pada hari ini jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dulu. Melalui
'Kampuang Sakato' ini tidak hanya menjadi pameran yang pertama dan yang
terakhir. Tetapi harus menjadi iven yang terus menerus, mungkin yang diperlukan
adalah ruang untuk pameran dan tidak hanya di taman budaya saja.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno pada kesempatan itu
mengatakan, Pemerintahan Provinsi berjanji akan mengakomodir seniman yang
memberikan nilai tambah bagi masyarakat Sumbar, hal diwujudkan dalam bentuk
diprioritaskannya masalah kesenian dalam bahasan RPJM Provinsi. "kita juga berikan Fasilitas gedung gratis bagi seniman
yang ada di Sumbar untuk menampilkan hasil karya mereka," sebutnya.
Menurut Gubernur Banyak akar budaya di Sumatera Barat yang
bisa diekspresikan dalam bentuk lukisan yang akan menghasilkan daya jual dan
nilai seni yang tinggi.
Kepala UPTD Taman Budaya Sumatera Barat Muasri mengatakan,
Pemaran seni rupa diikuti oleh 19 Orang perupa asal Sumbar jebolan kampus
ternama diluar daerah yang sudah malang melintang di dunia seni rupa.
Pergelaran kali ini bertujuan sebagai pembanding bagi perupa lokal dari segi
hasil karya. "ini juga sebagai salah satu strategi pemerintah daerah
dibidang kesenian untuk merangkul seniman yang menuntut ilmu diluar daerah
untuk pulang kampung," sebut Muasri usai acara pembukaan pergelaran
pemeran seni rupa di Gedung Gallery Taman Budaya Sumatera Barat, Senin, 23 Mei
2016.
Muasri menjelaskan, Pergelaran seni rupa di aktori oleh
Komunitas Kampuang Sakato bekerjasama dengan UPTD Taman Budaya Sumatera Barat,
dengan mengangkat tema tambo rupa. Tambo rupa mengangkat konsep kontemporer,
dalam hasil karya tetap mempertimbangkan etika yang dianut budaya lokal.
"dalam konsep kontemporer tidak hanya mengedapankan estetika tatapi juga
etika dalam menghasilkan karya," katanya.
Lebihlanjut kata Muasri saat ini Sumatera Barat punya sekitar
200 seniman aktif dibidang senirupa, potensi itu akan dikembangkan agar mereka
eksis dengan cara memberi ruang untuk berkarya.
Sementara itu, kurator Ibrahim mengatakan bahwa Tambo bagi
masyarakat Minangkabau merupakan sumber informasi yang bercerita tentang Alam
Minangkabau (Tambo Alam) maupun adat Minangkabau (Tambo Adat). Tambo tersebut
menggambarkan atau mengisahkan kepada masyarakat minang itu sendiri tentang
sejarah, adat istiadat dan masalah kepemimpinan serta prana sosial di
tengah-tengah masyarakat.
Tambo tidaklah sesuatu yang dipandang ekslusif, karena Tambo
tersebut digunakan sangat fleksibel oleh masyarakatnya baik falam pemakaian
kata 'Tambo' maupun saat menjelaskan kisah di dalam Tambo tersebut. Sebab
cerita yang ada di dalam tambo itu sendiri akan menjadi konstruktif atau
improfit bergantung pada orang yang mengabarkannya. Hal itu bisa saja terjadi
karena penyesuaian terhadap kondisi dan situasi saat terjadinya komunikasi
antara orang yang mengabarkan kepada masyarakat.
Pikiran tersebut dituangkan oleh Ibrahim Kurator 'Tambo Rupa'
visual art axhibition Pameran Seni Rupa Kampuang Sakato di Gallery UPTD Taman
Budaya Provinsi Sumatera Barat, 23-30 Mei 2016. Ia menghubungkan Tambo
Minangkabau untuk dikonversikan menjadi 'Tambo Rupa' menyampaikan pesar atau
kabar sejarah, adat istiadat dan mesalah kepemimpinan serta prana sosial
melalui karya Seni Rupa.
Ia mengatakan bahwa seni rupa di Ranah Minang tergolong unik
dan terkadang rumit untuk dipahami. Sebab, ada pemahaman yang dibangun dari
realitas kesenian berbeda antara 'Tambo dan Seni Rupa', namun bersumber dari
masyarakat ( pelaku ) seni yang sama. Ia berpandangan persoalan klasik yang
dihadapi adalah terjadinya perbedaan eksistensi dan pemahaman antara seniman di
Ranah Minang ( lokal ) dengan seniman Minang yang ada di perantauan.
Ia menunjukan fakta dilapangan bahwa seniman Minang di
perantauan lebih memiliki mobilitas yang tergolong tinggi karena banyaknya
ruang-ruang mediasi serta iklim kesenian yang kompetitif. Sementara itu,
seniman Minang ( lokal ) dinilai masih berada pada taraf membangun pondasi,
tetapi wujud akhirnya tidak dapat ditebak. Maka, turunan dari realitas ini
melahirkan "perbedaan" dalam menjaring pemahaman pemikiran yang
dibawa oleh perantau ke Ranah Minang ( saat kembali ke kampung halaman ).
Sehingga terjadi perlambatan akslerasi dan eksekusi gagasan akibat terkukung
dalam wacana yang sulit di "bumika" dengan kondisi di Ranah Minang.
Ibrahim menyebutkan bahwa untuk berkarya lebih maju
diharapkan terus berupaya menggelar dan memodifikasi aksi agar semakin semarak
seni rupa di Ranah Minang ( lokal ) dengan cara berbeda dari sebelumnya. Maka,
kerja yang dilakukan selama ini butuh sentuhan langsung serta pengorganisasian
petensi 'rang rantau' agar mampu menambah kekuatan pergerakan kesenian di Ranah
Minang
No comments:
Post a Comment