Wednesday, August 24, 2016

Latah, Tetap Mempertahankan Budaya



Kerlap-kerlip lampu kota membias dijalan pada aspal jalan yang basah usai hujan sore itu. Azan maghib telah dikumandangkan, imam shalat telah membacakan salam tanda shalat masgrib selesi, tertengar jelas dari corong pengeras suara mesjid tidak jauh dari kantor dinas Pariwisata Kota Sawahlunto.

Hujan rinai masih turun, beberapa kawan tampak duduk minum kopi Adril, yang akrab disapa mbah BW. Mereka menikmati dinginnya senja saat hujan masih turun. Jam menunjukan pukul 19.00, Rabu, 27 Juli 2016. Senja itu, Penulis bertemu dengan beberapa orang pemuda diwarung kopi sembari menikmati pemandangan lampu kota arang senja itu.

Kehidupan masyarakat kota Sawahlunto pada umumnya sejahtera, sebab ketika pekerja PT Bukit Asam dipindahkan ke tanjung angin mereka meninggalkan budaya yang sampai saat ini masih terawat. Masyarakat kota Sawahlunto itu ibaratkan seperti jamur, mereka buntuh dan tumbuh. Kehidupan yang bersaing sangat tinggi atar sesama, namun persaingan secara sehat dan positif.

Kecenderungan masyarakat terutama anak muda di kota Sawahlunto ini kebanyakan latah dan ikut-ikutan. Mereka sering nongkrong, secara bersama-sama tanpa ada tujuan yang jelas. Mereka juga sangat cuek dan santai dengan lingkungan yang ada. Kebanyakan anak muda suka berleha-leha menghabiskan waktu bersama-sama sampai larut malam.

Anak muda saat ini suka berondoh-ondoh atau pergi berduyun-duyung ke suatu tempat. Misalkan ada warung yang baru buka, dan banyak didatangi pengunjung. Apalagi menonton bola di siaran televisi mereka juga datang beramai-ramai.

Melihat kondisi tersebut pasti ada pula masyarakat membuka warung yang sama dengan menu yang sama. Sehingga sampai pada akhirnya warung yang pertama tersebut menjadi lengang, karena pelanggannya terbagi. Meskipun demikian, masyarakat tetap hidup rukun dan damai tanpa ada cikcok.

Selain itu, dari segi agama juga bisa hidup berdampingan. Hal itu diungkap Riano, 30, warga Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar menyebutkan budaya yang masih dipakai tersebut misalnya seseorang membuka usaha menjual kain, jika kain tersebut di pasaran katakanlah di jual Rp 100 ribu. Sesampai di kota Sawahlunto kain tersebut di jual Rp150 ribu atau Rp200 ribu pasti akan dibeli. terpenting menurut mereka ada.

"Jadi, gaya hidup masyarakat di kota ini ada, harus ada. Bisa dikatakan mereka bersaing untuk memdapatkan suatu barang, namun mereka latah atau ikut-ikutan. Yang terpenting bagi mereka adalah mereka memiliki barang yang mereka inginkan tersebut, tidak mempersoalkan harganya," sebut rian.

Ia mengakui persaingan dan gaya hidup masyarakat di kota ini sehat. Sebelumnya, di kota Sawahlunto ini ada yang membuka usaha warnet, kemudian anak muda ikut berduyun main warnet, sehingga warnet menjadi ramai. Melihat kondisi seperti itu, pengungasaha yang lain juga ikut membuka warnet.

Setelah warnet, masuk Wifi id orang pada beralih dan memburu Wifi id sehingga warnet menjadi lengan karena orang telah banyak memakai wifi id. Meskipun demikian, warnet tetap bertahan dan tetap berjalan, namun tidak se ramai yang dulu. Tapi pengusaha tersebut tidak ingin membanting stir untuk membuka usaha yang lain pula. "Siap kuat, maka ia akan bertahan. Seperti itulah istilahnya," ungkap rian saat di temui di warung kopi.

Hal serupa juga dikatakan Jesi Prima, kecenderungan masyarakat serta anak mudanya terlihat santai, cuek, dan suka berleha-leha. Dikota ini juga banyak komunitas dan anak nongkrong, seperti klub motor, komunitas seni, komunitas budaya dengan kajian kebudayaan atau kebiasaan, tidak lagi seni, termasuk komunitas sosial. "Kalau hubungan agama di kota Sawahlunto ini lebih aman dan lebih nyaman dibandingkan kota-kota lain. Kami bisa hidup berdampingan dan saling menghargai," katanya sembari menyeduh kopi hangat yang baru saja sampai dimeja duduknya.

Masyarakat disini memang cuek, misalkan saja sehebat apa-pun artis papan atas yang manggung di sini paling mahal untuk memberikan tepik tangannya. Karena begitu cueknya masyarakat di kota ini. "Tepuk tangannya mana? Sampai Armada komplen ketika itu dan dikatakah kalian udah masuh tidak bayar tepuk tangan saja susah," kata Rian sembari tertawa meniru gaya Armada tersebut. "Jika dikatakan gaya hidup masyarakatnya masa bodoh, tidak juga. Mereka memang peduli, buktinya mereka hadir untuk menonton," sambungnya Rian kereranan.

No comments:

Post a Comment