Sabtu 22 Oktober 2016
malam kerlap-kerlip lampu kendaraan melewati kota tua tambang. Ibu-ibu berjalan
kaki mengendong anaknya menuju garase pada acara Paguyuban Adikarsa Raharja.
Janur-janur pun telah di pasang di gerbang masuk dalam rangka perayaan
penyambutan 1 Muharram 1438 Hijriyah sekaligus ulang tahun Paguyuban Adikarsa
Raharja. Paguyuban Adikarsa Raharga merupakan perhimpunan masyarakat Jawa di
Kota Sawahlunto. Ratusan penyungjung pun hadir menyaksikan paguyuban tersebut.
Mereka tidak hanya dari warga Jawa, namun terdiri dari masyarakat kota Sawahlunto.
Kegiatan yang
didahului tarian lenong Jawa untuk penyambutan tamu yang hadir Waka Polda
Sumatera Barat, Kombes Pol Nur Afiah,
Beserta Ali Yusuf Walikota dan Wakil Waliko
Sawahlunto Ismed menunju tempat duduk yang telah disediakan sembari menyaksikan
kegiatan keseniaan Jawa, seperti tari, musik keroncong dan Wayang Kulit.
"Wayang merupakan
semacam kesenian kebudayaan yang dikembangkan oleh agama Hindu dan Budha. Jadi,
makanya di India ada wayang India, Karena penyebarannya melalui agama hindu dan
budha di bawa ke Indonesia. Jadi wayang itu perkembangan diperkirakan pada abad
ke dua telah Setelah Islam Masuk," ungkap Purwoko, Ketua Umum Paguyuban
Adikarsa Raharja Kota Sawahlunto, kepada Penulis, Sabtu 22 Oktober 2016 usai
meberikan kata sambutan.
Ia menyebutkan sejarah
perkembangan wayang di kota Sawahlunto sesuai perkembangan kota Sawahlunto.
Sebelum Sawahlunto berkembang menjadi kota seperti saat sekarang ini,
sebelumnya sepi dan orang tidak ingin tinggal di Sawahlunto. Semenjak
Penjajahan Belanda barulah Sawahlunto tersebut mulai dihuni terutama karyawan
tambang batubara dan adapula pekerja paksa yang dikenal dengan Orang Rantai.
Lama-kelamaan terus berkembang karena banyaknya penduduk sehingga menjadi
perkampungan kemudian menjadi kota yang dikenal kota Sawahlunto.
Karyawan batu bara
tersebut awalnya didatangkan dari pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia
dalam bentuk tahanan politik, tahan kriminal. Tahanan tersebut 'dibuang' ke
Sawahlunto dan dikenal dengan 'orang rantai'. Sebab para tahanan tersebut semua
kaki mereka di rantai. Selain tahanan ada pula orang Jawa yang memang harus
dipaksakan ke Sawahlunto menjadi buruh.
Semenjak itu, para
tahanan tersebut semakin berkembang dan banyak dengan memiliki keturunan, baik
anak dari orang rantai itu sendiri maupun orang Jawa yang didatangkan khusus ke
Sawahlunto.
Selanjutnya,
pemerintah kolonial Belanda, berfikir bagaimana supaya buruh yang bekerja ke
Sawahlunto bisa betah. Sehingga dipakailah sarana budaya dengan artian apa yang
enak dan senang bagi karyawan tambang, maka hal itulah yang diberikan
pemerintah Kolonial menghidupakan pusat kesenian. Sehingga, disetiap asrama ada
Gedung Pertemuan Buruh (GPB), kemudian berobah nama menjadi Gedung Pertemuan
Karyawan (GPK).
"Nah, GPK itu lah
menjadi pusat menampilkan budaya salah satunya Infobox Lubang Tambang saat ini
merupkan bekas GPK. Karyawan tersebut diberikan semacam sarana untuk
berkesenian seperti Wayang, Keroncong, Tayub, Kuda Kepang, Reok dan sebagainya.
Ada pula sarana-sarana perjudian yang ada di setiap asrama karyawan. Perjuadian
tersebut seakan-anak di perbolehkan dengan tujuan bagaimana karyawan tersebut
betah tinggal di Sawahlunto," jelasnya.
Purwoko, menyebutkan
kesenian tersebut selalu berkembang sehingga buruh mulai bertahan dan
betah tinggal di Sawahlunto. Setelah kemerdekaan RI setelah Kolonial hengkang
dari Indonesia bertepatan pada pergerakan G30/S-PKI, maka seluruh pelaku seni
atau seniman dilibatkan menjadi anggota PKI. Gerakan PKI tersebut dibubarkan
pada tahun 1965, maka, pelaku seni dan seniman tersebut ditahan dan diproses.
Selanjutnya ada yang tidak berproses namun telah di cap sebagai PKI. Maka
timbulah dari itu timbuhan rasa tidak senang dan rasa sakit hati sehingga
dihancurkan segala pelaratan kesenian seperti Gemelan, karena mereka ingin
menghilangkan jejak.
"pada tahun
1996-1997 terpanggil mengumpulkan dan menghimpun kembali orang Jawa keturunan
serta Jawa Asli tergabung dalam suatu wadah perhimpunan Paguyuban. Ketika
itulah mulai menggagas dan membangkitkan kembali seni tradisi," jelasnya
singkat.
Selanjutnya, pada
tahun 1998 dirinya diangkat dan dipercayakan untuk memimpin Badan Koordinasi
Kesenian Nasional Indonesia Sawahlunto. Maka, mulailah dihidupkan dan
dikembangkan kembali kesenian yang ada di Sawahlunto termasuk kesenian Jawa,
salah satunya Wayang Kulit.
"Wayang kulit
tersebut memiliki banyak tokoh dan bergantung pada cerita yang ingin disampikan
ke pada penonton atau penikmat. Karena literatur dalam kesenian wayang tersebut
banyak, seperti tokoh Pendawa Lima. Lima orang kakak beradik dan kelimanya
laki-laki," katanya.
Wayang Kulit merupakan
permainan dan tokoh atau lakon dalam cerita digambarkan dalam bentuk lempengan
kulit. Orang yang memaikan wayang kulit atau pencerita disebut Dalang. Dalang
tersebut berlaku sebagai sutradara dan sekaligus bercerita. Dalang harus
mengerti dan faham karakter siapa yang dimainkan. Kalau misalnya, dalang
memegang tokoh begatotkaca, maka dalang mengibaratkan dirinya seperti
begatotkaca. kalu dalang memegang Limbung, tokoh perempuan, maka dalam harung
mengibaratkan menjadi perempuan. Dalang harus memiliki multi karakter untuk
menyampaikan cerita dan harus dikuasainya.
"Sama halnya
dengan mendongeng. Maka, di kenal sebagai wayang kulit. Tetapi masing-masing
totoh memiliki karakter sesuai dengan cerita atau naskah yang diingin
disampaikan," terangnya.
Sementara itu, lanjut
dia, jika ditelusuri dari sejarah kesenian wayang kulit dilihat dari alur
cerita lebih banyak bercerita (Naskah) atau menyampaikan pesan kerajaan.
Kemudian sesuai perkembangan zaman ketika wayang kulit itu dibawa oleh agama
hindu maka banyak bercerita tentang hindu dan kerajaannya.
"Setalah Agama
Islam masuk kepulau Jawa maka wayang kulit tersebut dimanfaatkan untuk
berdakwa. Hal itu dikembangkan oleh Sunan Kalijogo merupakan Walisongo semenjak
Islam masuk ke pulau Jawa," akunya.
Selanjutnya untuk
memainkan Wayang Kulit tersebut diirigi oleh musik seperti gamelan. Gamelan itu
sendiri terdiri dari dua jenis nada, yakni Pelog dan Selendro. Pelog merupakan
nada-nada tertentu, tetapi nada dari nada itu tidak ada di nada Selendro. Tidak
sama dengan nada musik yang lain mempunyai tangga nada seperti do, re, mi, fa,
so, la, si, do. Kalau nada Selendro seperti 1-do, 2-re, 3-fa, 5-la dan 4-so
tidak ada dalam Selendro.
"Alat musik yang
digunakan dalam wayang kilit barmacam-macam seperti Saron, Kempul, Kendang,
Gong, Gender dan seperangkay alat gamelan lainnya," tutupnya.
Sejarah Keberadaan Wayang Kulit di Sawahlunto
Sumiyar, 83, tokoh Pengrawit di Sungai Durian Kota Sawahlunto pada 18 Oktober 2010 lalu, menyebutkan bahwa Wayang Kulit di Sawahlunto pertama kali dipentaskan pada tahun 1901. Pada tahun tersebut eksistensi wayang bersamaan dengan eksisnya penambangan batubara Sawahlunto. Artinya sebelum tahun 1901 tersebut Wayang Kulit telah dikenalkan di kota Sawahlunto untuk menghibur tamu dan pekerja tambang.
Kemudian, pada perkembangannya pewayangan di Sawahlunto terdapat banyak pelaku seni (Dalang) yang memperkenalkan wayang kepada masyarakat. Dalang Dalang yang pernah eksis dalam pelestarian dan pengembangan wayang kulit di Sawahlunto antara lain pada tahun 1901-1951 adalah Dalang Ki Raden Ardjo Purwoko.
Kemudian, pada tahun 1951 tersebut untuk mementaskan atau mempertunjukan Wayang Dalang Ki Raden menggunakan perangkat gamelan milik Saniman. Nama gamelan serta Paguyuban tersebut adalah Paguyuban Langen Kridha Utama (LKU) yang pernah eksis di Sawahlunto. Selanjutnya, kegiatan wayang tersebut mentas setiap minggu di Ombilin Sawahlunto.
Selanjutnya pada tahun 1930-1946, wayang dipentaskan oleh Dalang Ki Jenggot. Kemudian pada tahun 1935-1968 di pentaskan Dalang Ki Sukiman di Kampung Surian. Selanjutnya tahun 1939-1976 dipentaskan Dalang Ki Rono di kampung Surian. Pada tahun 1946-1950 dipentaskan Dalang Ki Suradi di Asrama Durian. Kemudian pada tahun 1966-1994 dipentaskan Dalang Ki Karjo di Sungai Durian.
Selanjutnya, pada tahun 2005 hingga sekarang dipentaskan oleh Dalang Ki Slamet yang merupakan Paguyuban Bina Laras. Tahun 2008 hingga sekarang dipentaskan oleh Dalang Ki Bandung Sriyanto dari Paguyuban Bina Laras.
Wayang Kulit kuno ini terdapat di Sungai Durian tempatnya di rumah Sajiman berjumlah 87 buah. Tiga buah Wayang Kulit Sawahlunto dengan tokoh Adipati Karno, Arjuno dan Kresno telah masuk menjadi dokumentasi di Museum Wayang Jakarta.
Sementara itu, Ali
Yusuf Walikota Sawahlunto menyebutkan bangsa yang besar adalah memperhatankan
mempertahankan budaya. Sehingga kota Sawahlunto di tahun 2020 akan menjadi kota
Tambang wisata dan berbudaya. Paguyuban Adikarsa Raharja berperan dalam hal
mendorong pembangunan kota serta eksistensi budaya.
"Kita bangga
menjadi orang sawahlunto karena beragam budaya tetap terpelihara dengan baik.
Hal ini tetap perlu ditumbuh kembangkan dan menjadi persatuan serta kesatuan
kota akan terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan menjadikan kota
Sawahlunto menjadi Kota Tambang Berbudaya," ungkapnya.
No comments:
Post a Comment