Idir Gindo Malin |
Selasa, 22 November 2016 pagi
menjelang siang udara masih sejuk karena matahari belumlah tinggi. Sehingga
sengatan cahaya matahari belum terasa dikulit. Sementara butiran-butiran embun
yang menempel di dedaunan sepanjang jalan menuju Desa Lumindai, Kecamatan
Barangin, kota Sawahlunto, Sumatera Barat belumlah kering benar. Embun tersebut
masih menggelembung bak bola kristal menempel di daun.
Jalanan yang kecil dan
berkelok-kelok serta dan berlobang serta becek di lereng bukit itu sangatlah
curam. Sepanjang jalan berada di pinggang bukit dengan pemandangan di atas
ketinggian bukit 800 meter hingga 1200 meter diatas permukaan laut itu udaranya
sejuk dan hijau. Diatas perbukitan itu pula dengan kemiringan mencapai 45
derajat terlihat sawah petani yang berjenjang dilereng buki yang memanjakan
mata. Kemudia beberapa rumah penduduk yang terselip di balik pepohonan di
lereng bukit.
Perjalanan masih jauh untuk
sampai ke tujuan yakni Dusun Guguak Bungu Desa Lumindai bertemu dengan Idir
Gindo Malin, petani tembakau. Siang itu pak Idir sedang tidak dirumah melainkan
bekerja sebagai buruh bangunan. Siang itu pula Penulis bertemu dengan pak Idir
di Sekolah Dasar (SD) N 29 Desa Lumindai yang berdiri di atas punggung bukit
tanpa ada lapangan sekolah dan pagar. Sekolah yang di batasi jalan ini bersebelahan
dengan jurang sedalam puluhan meter. Di sekolah itulah pebicaraan tentang
tembakau pernah dikenal di Sumatera dimulai.
Idir Gindo Malin mengaku telah
menekuni tani tembakau sejak tahun 1966 yang telah turun-temurun dari otangtua.
Pada tahun 1966 tersebut dirinya telah pandai "manyaik" tembakau
dengan halus. Suatu kebanggaan untuk bisa "manyaik" atau
"maracik" tembakau dengan halus. Sebab tidak semua orang bisa
"manyaik" tambakau dan tidak semua orang yang pandai
"manyaik" tembakau rasanya enak. Hikmatnya rasa tembakau tersebut
tergandung dinginnyan tangan seseorang yang menyaik sehingga rasanya begitu
nikmat.
Idir Gindo Malin terkenal dengan
kepiawaiannya manyaik tembakau dan rasanya enak. Di Dusun Guguak Bungo tersebut
hanya ada empat orang yang bisa manyaik tembakau. Meskipun saat ini telah ada
anak muda yang bisa menyaik tembakau namun rasanya masik keras dan menyengat
saat di hisap.
"Untuk mendapatkan kualitas
manyaik tembakau baik dibutuhkan keahlian dan kelihaian serta pengalaman
lamanya manyaik tembakau. Jika orang yang telah mahir manyaik tembakau sembari
terkantuk saja bisa mayaik tembakau dengan pisau tajam. Hasil manyaik itu pun
halus tanpa melukai tangan," ungkap Ayah tiga orang anak ini.
Ia menyebutkan bahwa manyaik
tembakau masih dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau khusus yang
tajam. Sehingga tembakau menjadi halus setelah di racik agar bisa di hisap.
"Untuk mendapatkan tembakau berkualitas tinggi bergantung pada iklim dan
cuaca. Tembakau ditaman pada ketinggian diatas 800 meter di atas permukaan
laut. Kemudian tembakau ditanam sesuai dengan cuaca panas, karena tembakau
tidak suka musim penghujan," ungkapnya sembari menggulung tembakau
olahannya.
Idir menyebutkan bahwa jika
menanam tembakau di musim hujan maka kualitas tembakau tidak bagus dan terasa
kelat dan pahit karena getah yang di kandung pada daun tembakau berkurang.
Berbeda dengan menanam di musim panas tembakau akan menjadi lembut dan halus
saat di hisap.
"Menanam tembakau adalah
perkerjaan yang mudah dan tidak sulit. Setelah lahan dibersihkan kemudian
disemai bibit setelah itu ditanam kedalam dulubang yang telah disiapkan.
Selanjutnya setelah berumur 20 hari barulah tembakau diberikan pupuk kandang,
jika itu memungkinkan karena tidak diharuskan pula," ungkap pria yang
berbaju lusuh dan sobek pada bagian bahu kanannya.
Ia mengungkapkan bahwa setelah
tembakau berumur dua bulan pucuk tembakau tersebut di potong. Hal itu bertujuan
untuk mendapatkan kualitas tembakau yang baik karena akan tumbuh tunas yang
baru hingga menunggu sampai pada saat waktu panen tiba.
"Tembakau itu bisa di panen
tiga kali dan sampai batangnya mati. Untuk memanen daun tembakau tersebut harua
menunggu daunnya berubah warna membayang kuning dan diracik," sebut Idir
ketua kelompok tani Tembakau Mandiri.
Ia menyebutkan bawa tembakau
tersebut setelah diracik di jual Rp4500 perlempeng dijual kepada toke. Kemudian
tembakau Lumindai dalam 100 lempeng tersebut seberat 3,5 kilogram. Selanjutnya
produksi tembakau di desa lumindai dalam setahun yang terkumpul oleh lima orang
toke sebesar Rp0,5 miliar pertahun.
"Belum lagi toke-toke kecil
yang membeli tembakau tersebut. Saya sendiri dengan bertani tembakau bisa
menyekolahkan anak dan menguliahkan sampai sarjana. Anak saya sekarang menjadi
guru honorer di SD. Hal itu 50 persennya dari hasil tembakau. Meskipun tembakau
bukanlah sumber pendapatan utama atau andalan bagi masyarakat melainkan
pekerjaan sampingan, termasuk saya sendiri. Saya juga kesawah bertani, bertanam
cabe untuk menambah pedapatan keluarga," ungkap pria yang punya selera
humoris ini.
Ia menyebutkan bahwa yang menjadi
kendala saat ini bagi petani tembakau adalah pemasaran tembakau yang sulit.
Sebab, saat pemasaran tembakau masih dalam lingkup pasar tradisional saja.
Belum mampu menembus pangsa pasar industri di Jawa dan Medan. "Tembakau
ini di jual di pasar Silungkang, Sei Lasih, Simarambang, Pasar Ganting dan
Balai Selasa. Karena yang menggunakan tembakau masih di dominasi oleh orang tua
50-an tahun saja. Kemudian pelanggannya pun terbatas," ungkapnya.
Ia berharap pemerintah dapat
mencarikan langkah dan solusi untuk petani tembakau agar pangsa pasarnya
meningkat dan bisa bersaing dengan tembakau di daerah lain. Jika pangsa
pasarnya tembakau tersebut telah ada dan bisa menjanjikan maka petani tembakau
jumlahnya akan terus bertambah.
"Sewaktu saya mengikuti
pelatihan di provinsi saya telah mengusulkan bagaimana produksi tembakau di
Sumbar bisa di kenal ditingkat nasional. Sebab kualitasnya pun tidak kalah
dengan jenis tembakau yang ada di pulau Jawa dan Medan. Di pulau jawa dan medan
petani di untungkan dengan adanya pabrik yang dapat menampung tembakau petani.
Sementara di sumbar khususunya di lumindai di kelola oleh toke dan di pasarkan
ke pasar tradisional. Sehingga tembakau tersebut tidak di kenal oleh masyarakat
luas. Tentunya perlu dukungan pemerintah dan suport untuk membantu
mempromosikan tembakau," harapnya.
Ia mengaku di dusun guguak bungo
mempunyai kelompok tani tembakau mandiri beranggotakan 20 orang. Kelompok tani
tembakau di bantu oleh pemerintah berupa beacukai yang diganti dalam bentuk
ternak sapi. "Bantuan ini diberikan pada zaman Ali Amran, namun saat ini
tidak ada lagi bantuan diberikan. Solusi yang diberikan pemerintah ini pun
telah bisa dimanfaatkan. Saat ini sapi ternak tersebut telah beranak dan
berkembang," ungkapnya.
Idir mengaku bahwa dirinya
tembakau tersebut telah ada jauh sebelum dirinya mengenel tembakau. Sebab
tembakau itu telah ada sejak zaman Belanda menjajah sekitar tahun 1835-an.
Namun secara detailnya ia sendiri tidak mengetahui sejarah tembakau tersebut
siapa yang membawa dan mengenalkan tembakau tersebut. "Entah orang belanda
yang membawa tembakau ke sini, atau karena disini ada tembakau kemudian di olah
dan di perkenalkan pada masyarakat. kita tidak tau," ungkapnya dengan
gelagat yang lucu.
No comments:
Post a Comment