Thursday, February 9, 2017

Jeruk Nipis Membusuk Dibatang, Harga Anjlok

Anasrin, 60, Petani Jeruk Nipis
Petani Jeruk Nipis Dusun Pulai, Desa Kolok Nantuo, Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, keluhkan harga jual yang kian anjlok dipasaran. Akibatnya, petani jeruk nipis tidak lagi memanen jeruk nipis untuk dijual karena tidak ada yang membeli. Sehingga jeruk nipis tersebut dibiarkan menguning dan membusuk di batang.


"Jeruk Nipis ini merupakan sumber penghasilan petani untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Nanun saat ini jeruk nipis tidak ada yang mau membeli, sehingga jeruk nipis tidak di panen dan dibiarkan mengining serta membusuk dibatang," ungkap Anasrin, 60, warga Dusun Pulai, Desa Kolok Nantuo, Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, kepada Penulis, Rabu, 8 Februari 2017.

Ia menyebutkan bahwa alasan kenapa pengumpul tidak ingin membeli jeruk nipis, karena sebelumnya jeruk nipis ini dijual ke pulau Jawa pengumpul. Namun, saat ini harga jual jeruk nipia murah ditambah pula dengan pasokan jeruk nipis dari Surabaya. Sehingga, pengumpul disini tidak sanggup membeli dan lebih mahal biaya produksinya. 

"makanya pengumpul tidak ada yang membeli jeruk nipis. Meskipun ada yang membeli, tapi dengan takaran yang terbatas, hanya dua karung. Sebab, pasarnya hanya untuk lokal di pasar-pasar tradisional yang ada di kota Sawahlunto termasuk kota Padang dan untuk kebutuhan rumah tangga," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa sebelumnya harga jeruk nipis ini dijual Rp1200 perkilo gram. Kemudian, tidak ada lagi pengumpul yang ingin membeli jeruk nipis tersebut dan dibuarkan menguning serta membusuk di batang. Kemudian, ada juga yang membeli Rp700 perkilo gram namun tidak membeli banyak. 

"Yang berkebun jeruk nipis tidak hanya saya sendiri dan banyak lagi yang lain. Rata-rata setiap rumah memiliki batang jeruk nipis, minimal mereka menanam di belakang rumahnya dengan jumlah yang banyak. Kalau pengumpul membeli banyak maka diusahakan juga untuk memanen buahnya dari pada busuk dibatang. Kalau tidak diambil maka, batang jeruk nipis tersebut akan mati," katanya.

Ia mengaku kondisi anjloknya harga tersebut telah berlangsung selama sebulan. Sebab, sebelumnya jeruk nipis bisa menembus harga Rp12-13 ribu perkilo gram. Sehingga, banyak masyarakat yang menanam jeruk nipis dan bahkan mereka rela menebang pohon karet mereka dan menggantikannya dengan menanam jeruk nipis.

"Karena ketika itu harga jeruk nipin sangat menjanjikan pada pertengahan tahun 2015 lalu. Kemudian, harga mulai menurun hingga sampai pada harga Rp5000 perkilo gram pada pertengahan tahun 2016 lalu. Meskipin demikian, harga Rp5000 perkilo gram tersebut termasuk harga yang standar. Ketika harga jeruk nipis Rp5000 perkilo gram, petani masih bisa mengupah pekerja Rp1000 perkilo gram untuk memanen jeruk nipis," paparnya.

Anasrin menyebutkan saat ini kebun miliknya seluas 2 ha dengan kapasitas 900 batang jeruk nipis dengan jatak tanam 5x5 meter dibiarkan menguning dan membusuk dibatang karena tidak ada yang mau membeli. Jeruk nipis ditanam sejak tahun 2000 dan baru kali ini tidak yang mau membeli. 

"Hasil panen jeruk nipis saya selama setahun untuk 1 ha mencapai 30 ton pertahun. Sebab, jeruk nipis ini tidak pernah berhenti berbuah, namun ada kalanya buahnya banyak dan ada kalanya berbuah sedang. Namun, selalu berbuah dan bisa dipanen kapan pun. Ketika jeruk nipis tersebut sedang berbuah banyak dalam satu batang bisa mencapai 80 kilo gram," katanya.

Ia mengungkapkan bahwa selama ini belum ada perhatian pemerintah dalam hal pembinaan terhadap petani jeruk nipis. Sebelumnya pernah dilakukan pengajuan kepada pemerintah dalam hal untuk pembibitan jeruk nipis disampaikan pada waktu musrembang, namun, tidak pernah ditanggapi. 

Hal itu, dilakukan sewaktu harga jeruk nipis masih mahal. Karena semakin mahalnya jarga jeruk nipis ketika itu, banyak pula yang kehilangan jeruk nipis diladang, akibatnya masyarakat pun ronda dan berhasil menangkap pelaku yang mencuri jeruk nipis menggunakan senter hp.

"Jadi, masyarakat yang menanam jeruk nipis ini merupakan swadaya dari masyarakat itu sendiri dengan cara membeli sendiri bibit untuk ditanam di kebun muliknya termasuk lahan kosong dibelakang rumah," akunya.

Ia berharap kondisi seperti ini, dengan anjloknya harga jual jeruk nipis tidak terlalu berlarut-larut. Pemerintah dapat dengan sigap mencarikan solusi agar harga jeruk nipis kembali stabil seperti biasa. 

"Kalaulah di kota Sawahlunto telah ada pabrik mengolah jeruk nipis tentu harga anak stabil. Masyarakat petani pun tidak kewalahan tidak untuk menjual, karena telah ada yang menampung," harapnya.

Adeks Rossyie Mukri
Adeks Rossyie Mukri, Kepala Desa Kolok Nantuo, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, menyebutkan Desa Kolok Nantuo Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto memiliki potensi pertanian khusus kebun jeruk nipis. Namun, harga jeruk nipis tidak sebanding dengan upah memanen karena harga jeruk nipis jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga biasanya. Saat ini harga jeruk nipis dijual Rp400 perkilo gram dari harga sebelumnya mencapai Rp10000 perkilo gram.

"Saat ini banyak masyarakat kita yang mengeluh dengan anjloknya harga jual jeruk nipis. Kita juga menerima laporan dari masyarakat bahwa mereka telah terbelit hutang kepada rentenir. Ketika jeruk nipis sedang berbunga, rentenir telah menghargai jeruk nipis dengan harga Rp10 ribu perkilo gram. Sehingga banyak masyarakat yang meminjam, namun karena kondisi saat ini harga jeruk nipis anjlok, sehingga masyarakt tidak mampu membayar," ungkap 

Ia melanjutkan bahwa dengan harga Rp10 ribu per maka masyarakat petani terhutang sebesar Rp9600 kepada rentenir setiap kilonya. Maka, saat untuk mengantisipasi dan memecahkan masalah dari masyarakat tersebut, pemerintah desa telah mengusulkan anggaran APBDes untuk membeli mesin pengolah jeruk nipis sebesar Rp600 juta. Namun, usulan tersebut ditolak, menjadi Rp500 juta untuk produksi rumah tangga dan hingga saat ini belum ditanggapi. 

"Untuk membuat produk olahan jeruk nipis menjadi menjadi 'Jeruk Nipis Perah Kolok Nantuo' (Jeniperkol) membutuhkan biaya Rp400 juta untuk membeli mesin olahan tersebut. Kita telah melakukan konsultasi untuk membeli mesin olahan tersebut di Medan Rp140 juta belum termasuk ongkos kirim. Namun, kita meminta garansi untuk memberikan pelatihan kepada operasional mesin tersebut, mereka belum bersedia," ujarnya.

Selanjutnya, terang dia, konsultasi pemesanan mesin olahan jeruk nipis tersebut juga dilakukan ke LIPI senilai Rp170 juta, belum termasuk ongkos kirim. Namun, saat ditanyakan garansi dengan memberikan pelatihan tenaga operasional penggunaan mesin tersebut LIPI bersedia untuk memberikan pelatihan tenaga operasional selama 6 bulan. 

"Hal ini dilakukan untuk meningkatkan harga jual dan produksi masyarakat petani jeruk nipis. Jeruk nipis olahan ini juga bermanfaat sebagai minuman untuk meningkatkan stamina. Karena telah berbentuk olahan dengan kemasan yang bagus. Sehingga masyarakat nantinya tidak bergantung pada rentenir, maka desa melalui BUMDes bisa membeli hasil kebun masyarakat. Sebab, di Desa Kolok Nantuo ada 75 ha kebun jeruk nipis," katanya.

Kemudian, lanjut dia, alternatif lain, untuk pemesanan mesin tersebut juga telah dilakukan dengan SMK2 Kota Sawahlunto untuk membuatan mesin tersebut jika anggaran yang dianggarkan melalui APBDes dibawah Rp400 juta. 

"Karena kita menginginkan mesin ini yang multi gunan, tidak hanya untuk produk kemasan. Disamping bisa digunakan untuk jeruk nipis perahan dan juga bisa membuat produk kemasan. Sebab, di Desa Kolok Nantuo telah memulai produksi jamur tiram yang di kelola BUMDes. Maka, produksi jamur olahan ini nantinya juga bisa memanfaatkan mesin tersebut untuk pembuatan kemasannya lebih elegan," tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa jika hal itu dilakukan untuk menciptakan jeruk nipis olahan dengan menjadi jeruk nipis perahan maka, harga tentuk akan lebih mahal. Karena sebelumnya, jeruk nipis ini dijual ke Jawa ke perusahan dengan mitra Australia untuk dijadikan sabut. Tapi, dengan dengan persyarat harus menyuplay 150 ton setiap perminggu. 

"Hasil produksi panen jeruk nipis kita hanya 40 ton perminggu. Jadi, permintaan tersebut tidak terpenuhi sehingga biaya operasional lebih bahal dan tidak seimbang. Karena perusahaan menginginkan 15 truk perminggu perminggu. Makanya, jeruk nipis kita kalah dibandingkan surabanya karena jaraknya dekat dan biaya operasionalnya pun lebih sedikit," paparnya.

Ia berharap rancangan dalam APBDes tersebut bisa di terima olah pemerintah kota agar bisa terealisasi. Tidak ada yang membeli jeruk nipis dan butuh 400 juta untuk membangun produksi rumah tangga. "Hanya inilah yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat petani jeruk nipis. Semoga hal ini dirahapkan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat," ujarnya.

No comments:

Post a Comment