Mbah BW pencinta seni dan
budaya bertekat untuk tetap mempertahankan musik keroncong agar tidak mati di
telan zaman. Meskipun musik keroncong kurang di minati generasi muda, namun
tetap mengajarkan pada generasi muda. Bagaimana kisahnya?
Sawahlunto : Julnadi Inderapura
Adril Janggara abrab disapa Mbah Bud Weiser |
Ada banyak nama yang
diberikan oleh masyarakat untuk kota bersejarah ini. Kota Sawahlunto ini
disebut juga kota Tambang peninggalan Belanda. Kota ini pun dinamakan pula Kota
Arang, karena banyak mem- produksi batu bara dari tahun 1809 hingga saat ini.
Selanjutnya, kota ini pun disebut kota Kuali karena berbentuk kuali yang di
kelilingi bukit, terutama dikelilingi puncak Polan dan Puncak Cemara yang
menjadi objek wisata banyak diperbincangkan karena keindahan pemandangan serta
dapat melihat seluruh kota Sawahlunto yang mungil dan unik serta multi etnis
itu.
Kota Wisata Tambang
Berbudaya tersebut terdiri dari empat Kecamatan, 27 Desa dan 10 kelurahan dengan
luas 275 Km2 persegi dengan ketinggian 362 dari permukaan air laut. Di kota ini
pula, ada seorang tokoh pengembang musik keroncong yang masih eksis hingga saat
ini. Adril Janggara, akrab disapa Mbah Bud Weiser (BW) kelahiran tahun 1961,
istrinya bernama Yusnita dan dikaruniai dua orang anak.
Mbah BW pencinta seni dan
budaya bertekat untuk tetap mempertahankan musik keroncong agar tidak mati di
telan zaman. Musik keroncong yang memadukan berbagai jenis alat musik seperti
alat musik Selo, Kontra Bass, Flute, biola, gitar, ukulele dan cak. Untuk
mendapatkan alat musik tersebut baginya tidaklah mudah dan harus dibuat sendiri
seperti ukulele, kontrabass dan celo. Meskipun alat musik kontrabas dan celo
tersebut merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda, seperti kontrabas dan
celo. Namun, alat musik kortabas dan celo yang tersisa hanya tangkainya saja
karena tak terawat dan dimakan usia karena umurnya telah puluhan tahun.
Kemudian dari tangkai tersebut baru dibuatkan body kontrabas agar bisa
dimainkan.
Pembuatan alat musik kontra
bass itu hanya meniru yang telah ada, sebab contoh kontra bass dari luar telah
ada berdasarkan gambar, tatapi bukan dengan diameter yang pas, karena ukurannya
memperkirakan saja. Makanya, kontra bass yang di pakai pun tidak sama besar
dengan ukuran alat musik kontrabass yang aslinya. Alat musik kontra bass itu
sendiri, berbeda-beda jenis dan ukuran bergantung pada steman alat musik untuk
memainkannya.
Meskipun demikian, untuk
pembuatan body kontrabas dan cello tersebut tetap memakai rumus, seperti ukuran
lebar, ketebalan body, sebab ruang resonansinya harus di pertimbangkan untuk
menentukan kualias bunyi. Sementara itu, steman alat musik cello saat memainkan
musik keroncong dengan senar I- D, senar II-G senar III-D. Kemudian kontra
bassnya juga demikian, D-G-D.
Ia menceritakan alat musik
Kontra bass yang dimainkan dimasa penjajahan Belanda ada benang khususnya,
yakni tali (senar) aslinya terbuat dari kulit sapi. Cara pembuatannya kulit
tersebut direndam atau direbus terlebih dahulu kemudian di jalin. Namun, saat
ini senar alat musik kontra bass yang dimainkan terbuat dari benang. Sebab,
senar alat musik kontra Bass yang asli peninggalan zaman Belanda dulu terbuat
dari kulit tersebut telah habis dimakan tikus, karena alat tersebut tidak
terawat dengan baik. Makanya ia bertekat untuk melestarikan alat musik
keconcong tersebut agar musik keroncong tetap tumbuh dan berkembang di kota tua
itu.
Ia mengaku belajar musik
keroncong secara otodidak dengan melihat secara langsung orang memainkan musik
keroncong lalu mencoba. kemudian mendengar musik lalu mempraktekkannya dengan
menyamakan bunyi tersebut. Karena rasa ingin tahu yang tinggi akhirnya sehingga
ia banyak bertanya pada orang yang memainkan musik keroncong lalu mencobanya.
Meskipun belajar musik
keroncong secara otodidak, namum banyak komunitas keroncong yang telah dibuat
agar di kota Tua musik keroncong tetap ada dan tidak mati. Ada beberapa
kolompok telah dirintisnya, seperti keroncong Pak Mo dari Tansi, 2015,
keroncong Tanjung Sari 2013, Keroncong Oka Lapangan Segi Tiga (Lapseg) 2012,
kemudian Keroncong Sapu Jagat, 2015. Ia mengaku setelah keroncong didirikan,
lalu ditinggalkan dengan tujuan agar keroncong tersebut lebih mandiri dan
berkembang, sehingga musik keroncong ini tetap tumbuh dan berkembang.
Setelah itu, Mbah BW
mendirikan kembali group Keroncong Buana Lestari 24 November 2014 dan telah
berbadan hukum. Sejak berdiri group tersebut banyak diminati generasi muda.
Sementara, ketika musik keroncong tersebut telah berdiri lalu ditinggalkan,
namun keroncong tersebut mati. Sangat disayangkan bahwa musik kerongcong yang
telah dibangun tersebut harus di monitoring terus. Jika tidak demikian, maka
koroncong tersebut akan mati sama halnya dengan sebelumnya. Terpenting mereka
mau bermain saja dan mempertahankan musik keroncong itu lebih baik.
Kalau group Buana Lestari
yang dipimpinya itu tidak memakai alat musik gendang, karena mempertahankan
keaslian musik keroncong itu sendiri. Berangkat dari asal-muasal musik
keroncong itu berasal dari Fortugis yang dibawa ke Indonesia dimasa penjajahan
dan semula musik keroncong berkembang di Ambon. Kemudian musik keroncong
tersebut berkembang di pulau Jawa, lalu menyebar di seluruh Indonesia termasuk
Kota Tambang ini.
"Makanya musik
keroncong ini tetap dihidupkan kembali dan dipertahankan dengan cara
mengajarkan musik keroncong ke generasi muda untuk bermain musik keroncong. Ada
beberapa generasi muda yang telah bisa bermain musik keroncong, terutama anak
Komunitas Kuali, namun belum begitu menjiwai musik keroncong tersebut. Sebab,
anak muda saat ini terpengaruh sengan band, sehingga belum menjiwai musik
keroncong tersebut," ungkapnya saat ditemui di kedai kopi miliknya Jumat,
5 Agustus 2016 di depan kantor Dinas Pariwisata.
Ia menyebutkan bahwa musik
keroncong itu sendiri telah ada di Kota Sawahlunto sejak tahun 1930-an pada
masa penjajahan Belanda, meskupun telah pernah hilang dan fakum kemudian
dihidupkan kembali. Kemudian di era tahun 1960-an ada satu group musik
keroncong Kenari. Musik kerencong ini merupakan musik keroncong tertua yang
pernah ada di kota Arang ini. Selanjutnya, pada tahun 1970-an muncul musik
keroncong Peta dan musik Keroncong Anak Desa Sikalang.
"Saat ini generasi
mudah hanya beberapa orang saja yang telah menjiwai musik keroncong seperti
Riano Firaniko, Jesi Prima, dan Bara. Sedangkan yang lain masih
meraba-raba. Musik keroncong ini hingga kini digemari dari semua kalangan untuk
melestarikan budaya lama sejak masa penjajahan. Maksudnya budaya peninggalan,
sebab musik keroncong ini dibawa pada masa penjajahan Belanda," sebut
lekali berkumis tebar ini.
Ia juga mengajarkan
pakem-pakem musik keroncong ke pada generasi muda. Sebab, musik keroncong
tersebut terdiri dari beberapa pakem (bagan) seperti part atau bagian yang
harus dilalui dalam bermain musik keroncong. Seperti memperkenalkan bermain
keroncong setelah intro lute dengan memaikan musik dengan tempo cepat. Sebagai
pembeda pekem keroncong tersebut misalnya, satu bait harus ada intro putar.
Kemudian untuk bait kedua mutar dan habis intro putar kembali ke musik awal.
Seperti masuk dengan diawali alat musik Flute, viol, gitar, semuanya
bergantian.
Ada beberapa jenis musik
keroncong, seperti langgam, stambul, dan keroncong dolanan jenis musik
keroncong hiburan atau musik keroncong jenaka dengan artian lebih banyak
menyanyikan lagu-lagu gembira. Hanya saja, masuk musik tersebut bisa diawali
dengan ukulele. Namum pakem-pakem musik tersebut banyak yang tidak dikuasai
oleh kelompok musik keroncong tersebut.
"Kalau langgam, intro
musik diberengi langsung dengan lagu sepenggal perbait. Langgam keroncong ini
hampir sama dengan dengan musik pop. Berbeda dengan stambul di dahului dengan
suara kemudian masuk lagu kemudian disambut musik. Artinya lagu dulu baru
musik," akunya.
No comments:
Post a Comment