Otonomi Daerah, selama 17 tahun kondisi perjalanan reformasi, dulu salah satu agenda reformasi adalah menuntut melaksanakan otonomi daerah. Disamping setelah dilaksanakan otonomi daerah itu, telah dicoba oleh seluruh stikma dan seruluh pihak untuk menjalankan otonomi daerah. Alatnya tentu adalah relugasi kebijakan, ada tiga kebijakan yang telah di tentukan, pertama, UU pemda no 22 tahun 1999, kedua, undang-undang pemda nomor 32 tahun 2004. Ketiga, direvisi dengan undang-undang nomor 23 tahun 2014.
Dari pelaksanaan kebikan peraturan didaerah melalui peraturan perundang-undangan itu, telah banyak kemajuan yang tercapai, yakni dalam artian daerah yang menjadi penonton untuk daerah dalam pembangunan, dalam proses pelayanan public. Kini telah menjadi "pemain", ketika menjadi pemain ini apakah kita telah bermain dengan baik dan benar.
Sebagai pemain yang menjalankan roda otonomi daerah, tentu aktor-aktor otonomi daerah, tentu masih amatiran dan belum terbangun profesionalitas, sehingga pelayanan public yang aharusnya lebih baik menjadi tidak baik, lalu pembangunan daerah yang lebih macu, lebih cepat dan berkualitas malah sebaliknya. Kepemimpinan yang lebih amanah menerima pawer penerimaan kewenangan dari pemerintah pusat justru menyimpang.
Jadi, buktinya gampang saja, saat ini ada 350 kepadala erah dan wakil terkena kasus hukum yakni kurupsi. Dari 524 menjadi menjadi 350, telah lebih dari 60 persen, berarti kepemimpinan pemerintah daerah yang dipercaya oleh pemerintah pusat, untuk mengurus rakyatnya, karena dia dipilih oleh rakyatnya dan harus Setia pada rakyatnya. Namun saat ini kepala pemerintah tidak setia kepada rakyat yang memilihnya, justru mereka lebih setia ke pada kelompoknya (partai). Kemudian, mementingkan kepentingan pribagi dan golongan, sehingga rakyat tidak diacuhkan.
Sehingga Gagalah untuk mensejahteraan masyarakat, karena produk otonomi adalah mensejahterakan rakyat, diberikan kewenangan kekuasaan. Diberikan uanga dari pemerintah pusat DAU-BAK dan dana bagi hasil, lalu diberikan administrasi. Kemudian pegawai-pegawai ini Pegawai Negeri Sipil (PNS), Aparatur Sipil Negara (ASN) namanya, birokrasi, apa juga lagi kewenangan telah diberikan oleh pusat. Lalu pegawai yang menjalankan modal dari pegawai aparatur Negara RI bukan dari Sumatera Barat saja.
"Saya sebagai salah satu arsitek daerah sejak awal reformasi dan mengawalnya sampai terakhir menjadi Dirjen otonomi daerah dan kini menjadi pakar otonomi daerah di IPTDN, itu sangat prihatin dengan bertambah umurnya otonomi ini, bukan bertambah baik otonomi di kelola, tapi jauh panggang dari api," ungkap Djohermansyah Djohan, Pakar Otonomi Daerah, Rabu, 20 Mei 2015.
Mimpi kami ini untuk mendisain undang-undang yang pertama otda, tahun 1999 dibawah Presiden BJ Habibie. Kemarin kita perbaiki undang-udang pemda yang baru nomor 23 tahun 2014, saya menjadi otda ketua tim perbaikan undang-undang tersebut bersama dengan bapak Gumawan Fauzi, kita lahirkan dan sedang kita siapkan aturan melaksanakannya.
Nah, jadi untuk memperbaiki kegelihasan dan keprihatinan kita tadi, ini sedang akan di luncurkan undang-undang yang baru, meskipun undang-undang yang baru tersebut telah terbit, tapi harus disiapkan 28 peraturan pemerintah kemudian, peraturan permedagri, Perpres dan segala macamnya, yang sedang disiapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Undang-undang baru Undang-undang pemda nomor 23 tahun 2014.
Tujuan Otonomi Daerah adalah agar rakyat lebih sejahtera, jadi meningkat indek pembangunan, pengangguran makin berkurang, pendidikan akan lebih maju, pelayanan public akan lebih baik, infestor bertambah banyak, ekonomi rakyat berkembang dan meningkat, angka kemiskinan terus menurun. Dari semua indeks tersebut, otonomi daerah saat ini sangat sedikit progresnya, padahal uang yang dikunculkan untuk daerah sudah besar. Karena seper tiga APBN itu dialirkan kepada daerah.
Menurut Djoherman Syah Johan, tidak tercapainya tujuan otonomi daerah tersebut hal ini persoalannya lebih kepada lidersip, manajemen, tata kelola kepemerintahan derah yang kurang baik menjadi biangnya. Sehingga tidak optimal pemerintah daerah itu menjalankan.
Kepemerintahan daerah yang menjadi motor-roda kepemerintahan, hal itu karena lidersip yang lemah sehingga tidak mampu membuat perubahan yang signifikan untuk memajukan kesejahteraan rakyat itu, yang di ukur dari indek pembangunan, kemiskinan, pengangguran, pelayanan public yang bertambah baik, infestor yang bertambah maju, jalan-jalan yang telah bagus, sarana dan prasaranan yang lebih baik. Saat kita lihat jalanan banyak yang buruk dan berlobang, pendidikan juga tidak sehebat dulu.
Djoherman Syah Johan berpandangan Jika di bandingkan dengan dulu, ketika pemerintah pusat yang menjalankan kepemerintahan semuanya itu ternyata tidak kalah capaiannya. Namun otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah daerah saat ini tidak sesui harapan dan terdapat banyak asalah. Ia berpendapat kelemahan itu terdapat dari lidesip yang menjalankan roda pemerintahan daerah tidak cakap, tidak terampil, kurang canggih untuk menjadi pengelola otonomi darah.
Otonomi daerah ini akan bisa maju kerena dia harus didukung oleh kalangan lapisan masyarakat, dari orang dikampung dan di rantau. Hal itu harus sokong-menyokong dan bahu membahu untuk menjalankan roda kepemerintahan daerah. Hal inilah yang belum tergarap dengan baik, disamping manajeman pemerintahan yang lupa dan lemah.
Untuk menggerakan otonomi daerah untuk mencapai tujuan, berapa kemampuan resorsis, bagaimana menggerakan pelayanan public yang lebih baik, dan kualitas demokrasi yang bertambah maju.
"Ini kan kemiskinan yang turun secara siknifikan, pertumbuhan penduduk yang lebih dikontrol, bukan bertambah meningkat pertumbuahn penduduk kita. Hal tersebut dinamakan tata kelola roda keperintahan daerah, penduduk jangan bertambah banyak, sehingga jangan menyulitkan kita untuk memenuhi kebutuhannya, pendidikannya, sekolahnya, berasnya, hal itulah yang lebih lemah dari pengelola tata pemerintah kita," ungkapnya.
Hal itu di sebabkan karena kapasitas kepemimpinan kepala pemerintahan daerah kurang baik, tidak merangkul dan tidak melibahkan kalangan luas, sehingga melibatkan miliaran networking dengan baik. Dulu Sumatera Barat ini bisa maju di jaman orde baru, pemerintah derah mulai melakukan networking dengan pemerintah pusat, banyak program-program pusat yang bisa di bawa ke daerah. Jadi, orang tidak ada jalan, kita mendapat jalan, orang tidak memiliki jembatan kita mendapat jembatan. Kemudian, networking atau jaringan dengan perantau, atau jaringan dengan pemerintahan atau Parlemen.
Kemudian, ada juga persoalan kepemimpinan yang lemah itu, perekrutannya dari kawan-kawan partai politik. Makanya lebih terbuka, mode pemilihan yang bebas partai juga harus lebih terbuka, menampung calon-calon terbaik yang bukan mungkin berasal dari partai politik. Sehingga mereka mempunyai mengalaman, memiliki latar belakang pendidikan yang bagus,. Ini mungkin yang harus kita prio ritaskan untuk lebih baik. Maju atau tidaknya, atau sentralisai kepemerintahan terletak kepada kepala daerah sebagai lokomotif pembangunan.
"Dapat disimpulkan bahwa Omonomi daerah sudah berjalan namun belum optimal, dan masih banyak kekurangan terutama dirasakan, atau dihitung-hitung dari mimpi orang yang merancang otda ini di jaman reformasi. Hasilnya tidak memuaskan, jika diberikan nilai, telah di berikan nilai 6. Jadi hasilnya tidak memuaskan, bukan berarti tidak lulus, saya tidak puas," katanya.
Sementara itu, Prof. Dr. rer.soz. Damsar, MA mengatakan sebelumnya otonomi daerah ini telah diminta oleh Soekarno bahwa pembangunan dilakukan untuk daerah pulau Jawa, kemudian, ada program-program daerah untuk diberikan kekuasaan terhadap daerah, membagi "kue" pembangunan. Kemudian, pada tahun 1998 kemarin mendorong pemerintah daerah untuk mendistribukan kewenangannya ke daerah lebih leluasa untuk melakukan membangunan karena tidak harus sesuai ke pusat.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat apa yang dilihat sekarang, memang ada sebagian daerah yang mempu memanfaatkan momen untuk memanfaatkan otonomi daerah ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Disisi lain tidak sedikit pemerintah kabupaten dan kota belum mampu untuk menggunakan momen otonomi daerah itu untuk kesejahteraan daerahnya.
Kenapa demikian, karena berujung dari konsekuensi dari otonomi daerah itu sendiri, pemerintah tidak lagi memberikan ketentuan penguasa di daerah kota dan Kabupaten. Dengan rezim pemilihan langsung ini efek sampingnya adalah kepala daerah yang mau bersaing itu harus didorong menggalang dana dari pengusaha-pengusaha, sponsor. Konsekuensi itukan tidak ada yang gratis, bukan tidak ada makan siang yang gratis, dan konsekuaensinya harus mengembalikan uang, yang terkait dengan pemilihan tempohari.
Nah, kemudian hari apa yang terjadi adalah kita tahu banyak para pejabat, bupati dan kota dan gubernur termasuk juga yang terlibat dalam pengadilan tipikor. Ini merupakan indicator bahwa, otonomi daerah memakan karena ketidak mampuan mengola otonomi daerah itu sendiri. Untuk menjadi suatu kekuatan bagi daerah untuk melakukan pencapaian tujuan kesejah teraan masyarakat yang di idamkan oleh para mahasiswa ketika reformasi dulu.
Nah, pada akhirnya kita berfikir, seperti banyak orang yang berfikir, apakah kita memerlukan orang pada level kota dan kabupaten kota itu, pemilihan langsung kepala derah. Atau cukupkan saja. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan kerena dana yang begitu besar sekali juga kurangnya konflik yang horizontal yang begitu dahsyat, sehingga polemic itu muncul.
"Saya kita persoalan ini harus diselesaikan dengan waktu yang tidak begitu lama oleh bangsa ini, terhadap bagaimana otonomi daerah itu sendiri tujuannya adalah untuk mensejahterakan masyarakat, lokal dan memberikan pelayanan terbaik tingkat lokal. Kita masih memiliki rekaman jejak yang dimiliki oleh pemerintah kota dan kabupaten terhadap pelayanan. Nah, mamng perlahan sudah, dari beberapa kota dan kabupaten untuk mencapai pada titik tertentu. Tapi, sangat sedikit," Ungkap Damsar, guru besar Sosiologi Ekonomi.
Kemudian, konsekuansi logis, di otonomi daerah adalah terjadinya pemekaran-pemekaran. Menurutnya, pemekaran tersebut memang idenya itu bagus, tetapi ternyata ide itu ada penompang gelapnya. Kepentingan-kepentingan politik yang massif ditingkat, eksekutif dan legistatif di tingkat daerah yang berujung kepada memperjuangkan otonomi daerah. Damsar berpandangan pemekaran daerah itu justru, pelayanan akan menjadi tambah amburadul. Kesejahteraan tidak kunjung datang seperti yang diharapkan. Jika di evaluasi, kepemimpinan dan itu akan kita temukan. Ini kan masalah politik. Itu juga yang kita hadapi bersama, mengembalikan roh esensi reformasi itu kepada awalnya, esensi reformasi yang di perjuangkan oleh mahasiswa zaman 1998.
Jalan yang terbaik yang di tempuh untuk menggapai cita-cita awal itu, pertama kita haarus membuka kembali hasil penelitian misalnya. Seberapajauh kita dan kabupaten itu untuk mendirikan pencapaian kesejahteraan mayarakatnya, kalu tidak mampu, yang terjadi adalah justru yang menyengsarakan masyarakat dikabupaten kota maka yang penting harus di evaluasi.
Persoalannya adalah, ini adalah politik jiwa satu lagi, karena sekali orang berkuasa, sekali maju untuk mendur lagi itu susah. Ini persoalannya. Karena situasi politik tubuh masing-masing di daerah pemekaran itu, akan terjadi gejolak supermasif. Oleh sebab itu, lakukan saja moratorium pemekaran daerah ini baik kabupaten kota maupun Provinsi. Benahi ini terlebih dahulu, sampai pada titik dimana kita sudah pada mencapai pada titik kesejahteraan yang kita idam-idamkan dan kita canangkan bersama. Itu dulu.
Daerah yang lebih kita sejahterakan karena seperti yang saya katakana tadi baik kalangan partai baik dari kalangan eksekutif, mereka ingin berkuasa semuanya. Kemudian terjadi pemekaran, sebahagian eksekutif mampu mendapat jabatan strategis, dulu dia mendapat posisi trategis. Kemudian bermunculan barbagai posisi yang baru, nah, ini yang harus kita hentikan pertamakali. Monitoring itu tetap kita pertahankan, sebab, kita sudah merasa, sejah tera, khusu bagi daerah yang kawannya itu bbisa dilakukan secara baik.
Persoalan mendasar adalah politik yang ingin berkuasa, otonomi daerah itu, seyogyanya itu adalah untuk kesejahteraan masyarakat, kontestan pilkada mereka akan mensejah terakan masyarakat, semua tidak ada yang tidak mengatakan demikian, tetapi dalam kenyataannya tidak ada yang mensejahterakan masyarakat, kita menggunakan sponsor yang begitu banyak, konsekuansi sponsor itu adalah mereka harus mengembalikan sesuai dengan dana yang dia habiskan dimasa kampanye dulu.
Ini persoalan, ketika undang-undang pilkasa itu, baru-baru ini ke ikut sertaan sponsor dengan memberikan dana kepada para petarung dana segar untuk para calon untuk baliho dan seterusnya itu, pertanyaan kita adalah kita rujuk advokasi apakah betul itu tidak berberdampak nantikan, atau tidak akan menhasilakan para koruptor-koruptor berikutnya,
Nah, jika itu terjadi, berarti ada persoalan lain yang kita hadapi di republic ini, kalau misalnya, kalau namanya orang baru kan di jelaskan bahwa semua calon itu, yang sudah terdaftan dan disahkan telah mendapat dana untuk baliho dan segala macam Negara yang membiayai, petanya kita adalah apakah setelah mereka nantinya menduduki jabatan tersebut, apakah tingkat konsinya akan semakin turun dibandingkan masa lampau atau berbanding sama. Nah, kalu sama itu, berarti dana masyarakat itu tidak ada kontribusainya memberantas korupsi, karena dana itu bisa untuk kegiatan masyarkat untuk pembangunan proyek dan infrastruktur dan sebagainya,
Yang membuat otonomi daerah jauh dari panggang dari api adalah orang partai, coba kita pahami, seberapa banyak orang kepala derah kita yang berasal dari partai, bukankah. Bukan hukum daerah kita berasal dari penguasai sebelumnya. Berapa banyak kepala daerah kita yang berasal dari partai, disumatera banyak, kalau orientasinya partai. Pada umumnya ada semacam birokrat, mereka membeli perahu bukan orang partai, pada umumnya adalah birokrat. Mungkin saja di Sumatera Barat orang partai, namun di tempat lain tidak, mereka berasal dari birokrat. Jadi, kalaulah orang partai yang kita lihat apa betul orang partai.
Ada dua hal yang perlu di jelaskan, yang pertama partai itu pada saat ini merupakan konteks pada saat sekarang ini lebih kepada kendaraan kendaraan sewa yang bisa di sewa, telah selesai masa sewa, selesai pula dan tidak ada hubungan lagi. Hanya saja segelintir partai yang mencoba mengusung kadernya menjadi kepala daerah, pada umumnya mereka adalah sewaan. Artinya memang ada persoalan dari kita persoalan kita. Persolaan partai itu memang salah satu akarnya. Mudah sekali membuat partai, ketika suatu kalon kandidat kuat itu menjadi calon ketua partai besar, kemudian, pada politiknya dia akan membangun politiknya dengan kekuatan ekonomi sehingga ketika dia membangun partai itu, orangyang sebelumnya juga bermasalah dari partai-partai. Atau orang yang keluar dari partai-partai, kemudian apa yang kita dapati adalah, seserang yang bisa jadi akan menjadi legislativ seumur hidup, karena masih di pilih partai.
Okelah, partainya membatasi pencalonan dua paeriode, namun dia bisa beralih ke partai lain karena tidak system. Karena orang yang berpindah partai itu menurutnya adalah sesuatu yang jelek. Adalah sesuatu batu loncat dan seterusnya. Tidak ada dan seterusnya. Kalau di luarkan jelaslah ya, kalau tidak partai oposisi partai, partai pemerintahan dan batu loncatan, jika mereka pindah partai maka strigmanya akan tetap jelek bagitu. Kalau di daerah kita tidak, dan masih ada tradisi seperti itu, setelah keluar, karena masih bisa mencalonkan diri dari partai yang baru.
Persoalan kita oleh karena itu, yang mengisi DPR kita memang orang baru dari partai baru tetapi orangnya yang lama juga, kemudian partai-partai ini selain yang saya sebutkan itu ada kecaenderungan leih pada ketokohan bukan kepada partai kader, nah ketika ketokohan itu masih habis masa kejayaannya maka akan redup pula partai itu.
Karena partai itu di anggap partai ketokohan maka tidak ada idiologi yang akan dibangun, sehingga di idiologi itu ada partai idiologi, tidak ada partai ideology. Siapa saja bisa berpindah-pindah kualisi dan idiologi. Gambaran ini lah yang berimbas yang melatar belakangi bagaimana pilar Negara itu dibangun di repoblik ini.
Jadi bertambah komplek permasalahan otonomi daerah di negara kita ini dari jika dikaitkan dengan system kepartaian kita, kemudian jika dikaitkan dengan sistim kepemilihan kita, sengsara belum mencapai tujuan, memang dari masing-masing beberapa daerah yang kita lihat bukan dari partainya namun bisa kita lihat karena orangnya, bisa kita temukan risma yang betul-betul, risma tidak sama sekali tokoh yang di orbitkan oleh media, seperti yang lain itu, memang begitu riil.
Jadi kesimpulan yang dapat di ambil, dibeberapa tempat, berhasil mencapai tujuannya, namun dikebanyakan daerah yang saya dengar, belum mencapai apa yang diharapkan, atau tujuan yang di capai, tidak ada yang total menjalankan otonomi daerah. Kenapa demikian salah satunya adalah, karena kepemimpinannya. Persoalan kepemimpinan, lidersip, system kepartaian, sistim pemilihan yang kacau.
No comments:
Post a Comment