Untuk mempertahankan seni peninggalan agar tetap tumbuh dan
berkembang di kota Arang butuh perhatian dan support pemerintah. Apa jadinya
seni (keroncong) tampa dukungan pemerintah?
Sawahlunto : Julnadi Inderapura
Jumat, 5 Agustus 2016 malam nan dingin itu diwarnai hiruk
pukuk suara jangkrik. Malam telah sepi. Ya, warung kopi milik Mbak BW masih
ramai anak muda. Mereka adalah pelaku seni, baik seni musik, seni tari, teater
dan tarik suara. Disinilah mereka berkumpul seraya minum kopi jika tidak ada
program latihan. Mereka pun kerap latihan bersama di depan warung kopi didepan
kantor dinas Pariwisata Kota Sawahlunto. Ditempat terbuka itu lah mereka latihan dan duduk
lesehan bermain musik.
Sementara itu, pada gerobok warung kopi masih bersandar alat
musik kotra bass. Kemudian, diatas gerobok pun terlihat gitar dan cak yang
terselib dibawal terpal. Sebab, warung itu tidak permanen hanya ditutupi terpal
untuk berlindung dari panas dan hujan. Cerhatan hari Mbah BW pelaku seni terus
berjalan.
Adril Janggara, akrab disapa Mbah Bud Weiser (BW), mengatkan
bahwa musik keroncong pada zaman dulu dimainkan di tempat pesta perkawinan,
penyemangat orang yang mau berjuang, kemudian acara hiburan para buruh dan
acara kebesaran lainnya.
"Kalau dulu setelah kemerdekaan musik keroncong juga
ditampilkan pada perigatan 17 agustus dan mengheningkan cipta. Sekarang tidak
adalagi kegiatan seni khususnya seni musik keroncong. Hal itu bergantung pada
kepala daerahnya, jika kepada daerahnya pecinta seni maka perhatian terhadap
seni akan lebih banyak," sebutnya seraya duduk bersandar pada kursi
panjang yang reok dari kayu bekas itu.
Ia mengaku sejak didirikan musik keroncong tersebut perhatian
dari pemerintah diibaratkan seperti 'karet'. Artinya terkadang saat dibutuhkan
perhatian dari pemerintah justru molor. Terkadang perhatian terhadap musik
keroncong tidak ada sama sekali dan seperti tidak mau tahu akan keberadaan musik
keroncong di kota Tambang.
Jika pun ada pertahatian dari pemerintah terhadap musik
keroncong, pasti karena ada 'sesuatu'. Kemudian pemerintah memberikan bantuan
berdasarkan kepentingan. Kalau untuk kepentingan dan kemajuan wisata daerah
atau seni daerah tidak pernah ada melainkan didasari oleh kepentingan politik.
Meskipun hal itu tidak terjadi secara terang-terangan dilakukan oleh pelaku
politik.
"Misalnya dikumpulkan beberapa orang pemain musik
keroncong lalu kemudian diberikan bantuan materil. Namun dibelakangnya ada
bisikan berupa tolong pilih nomor sekian," ungkapnya seraya menarik nafas
dalam dan tertekun sejenak.
Sementara itu, pemerintah sebetulnya lebih terfokus pada kota
wisata dengan berbagai keunikan tersendiri seperti wisata tambang Mbah Suro,
Puncak Polan, Puncak Cemara, Danau Biru yang menjadi perbincangan banyak orang
akhir-akhir ini. Tentu banyak menyorot perhatian wisatawan baik lokal maupun
manca negara.
Berdasarkan ekon yang dimiliki tentu banyak pengunjung datang
ke kota tambang ini. Namun apabila wisatawan tersebut jika menginginkan melihat
seni tradisi yang ada di kota Sawahlunto ini tentu sangat sulit didapatkan
terutama musik keroncong itu sendiri. Suatu kelemahan pula bagi penggiat seni
keroncong, karena kelompok seni keroncong hingga kini belum memiliki basecamp
untuk tempat berkumpul dengan layak. Sebab, hingga kini belum ada perhatian
dari pemerintah untuk memikirkan nasib para penggiat seni.
"Tanpa ada dukungan dari pemerintah, seni tidak bakalan
hidup dan mati suri. Kemudian, kota wisata menjadi kurang menarik tanpa di
lengkapi dengan seni. Jika daya tarik tidak ada, wisatawan malas berkunjung.
Kalau demikian adanya, wisata jalan di tempat," tuturnya.
Seharusnya pemerintah memikirkan bentuk dan format atau
pormula yang baik bagi penggiat seni tradisi yang ada di kota Arang ini. Pemerintah
seharusnya memikirkan atau menyediakan tempat yang layak atau semacam galeri
(kios) bagi penggiat seni. Agar kelak para wisatawan yang datang ke kota
Sawahlunto dapat melihat dan menyaksikan secara langsung musik keroncong atau
seni tradisi lainnya yang ada di kota tua ini. Karena telah ada tempat khusus
yang disediakan untuk penggiat seni, sehingga wisatawan pun bisa berkunjung
untuk menikmati atau pun hanya sekedar bertanya terkait musik keroncong atau
pun seni tradisi lainnya.
Selain itu, alat-alat musik pun masih kurang dan seadanya
saja. Mendaur ulang alat musik yang lama agar bisa dimanfaatkan kembali.
Sementara untuk kebutuhan alat musik tersebut juga tidak tahu harus kemana
diajukan proposal agar bisa dibantu peralatan alat musik tersebut. Kemudian,
jaringan untuk ke luar pun tidak punya sehingga bergerak sendiri, butuh alat musik
berusaha sendiri.
Jika pun ada perhatian dari pemerintah tergantung pada orang
yang bisa 'dekat'. Bukan perhatian menyeluruh kepada pengembang seni tradisi
itu sendiri. Perhatian yang diberikan jangan hanya berdasarkan 'dekat'.
Kemudian, berdasarkan 'kedekatan' sehingga hanya kelompok tertentu yang akan
beruntung dan sering diikut sertakan untuk tampil pada ivent tertentu.
Padahal untuk menampilkan 'sesuatu' (musik keroncong)
diperuntukkan untuk orang luar (wisatawan) tentu dengan tampilan yang bagus dan
melalui persiapan yang matang serta proses latihan berkelanjutan. Tapi sekarang
hal itu seolah-olah ditinggalkan begitu saja. Tampil dengan apa adanya. Asal
ada.
"Makanya terkadang aku malu ketika mengikuti acara atau
ivent. Aduh, kok kayak gini yang ditampilin. Mereka sadar, apa yang aku bilang
salah saat bermain. Karena mereka bisa tampil berdasarkan pendekatan itu tadi.
Sebab yang membackup mereka adalah pejabat. Jadi, yang salah dalam bermain
tersebut tetap dilanjutkan saja. Tetap saja menarik menurut mereka," aku lelaki
berambut grondrong ini.
Keroncong Buana Lestari, karena umurnya masih muda tentu
sipak terjangnya belum seberapa. Pentas terjauhnya adalah Bukittinggi dan
Padang, mengisi festival lagu keroncong di Kejari Sumbar. Keroncong Buana
Lestari sebagai musisiknya. Saat bermain tersebut yang mengundang sangat puas
dengan tampilan Keroncong Buana Lestari. Kalaulah moment tersebut tidak ada
Time Limitnya, mungkin diajak main keroncong sampai pagi, karena mereka puas
dengan tampilan musik keroncong yang disuguhkan tersebut. Jika dibandingkan, di
Kota Sawahlunto ini suportnya yang kurang terhadap seni.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan seni, tidak hanya
seni keroncong saja, tetapi seni tradisi lainnya yang ada di kota wisata ini.
Kalau kota wisata, apa-pun yang dibutuhkan oleh wisatawan sebetulnya lebih
cepat tersaji dengan baik. Haruskah orang ingin menikmati musik keroncong harus
menunggu moment terlebih dahulu. Hal itu menurutnya sesuatu yang tidak mungkin
kota arang ini akan banyak dikunjungi wisatawan.
Maka, jika tempat kumpul atau basecampnya telah ada,
wisatawan akan mudah untuk mecari dan menikmati musik keroncong, demi mendukung
pariwisata Kota Sawahlunto. Orang tidak hanya mengenal bangunan tua peninggalan
Belanda saja, tetapi juga mengenal budaya dan kearifan lokal serta seni musik
yang ada di kota Sawahlunto.
Sebab, seni peninggalan pada jaman penjajahan dan peperangan
ada Randai, kuda lumping, keroncong, ludruk, wayang, ketoprak. Semua jenis seni
berkembang pesat di kota ini dan cukup di segani oleh orang luar. Namun
sekarang tinggal hanya namanya saja, sebab dukungan dari pihak pemerintah dan
dukungan dari dinas terkait pun kurang saat ini.
Karena ada yang beranggapan bahwa seni ini merupakan
ladangnya pekerjaan dan ada penghasilan diharapkan. Namun ada pula yang
berkesenian ini dengan ikhlas dan tulus melakukannya. Ada pula berbuat kesenian
berharap ini dan itu. Kalau pemerintah mendukung percepatan dan berkembangan
wisata yang lebih baik maka perhatian yang diberikan jangan serba tanggung.
"Karena kurangnya perhatian dari sehingga seni tradisi
tertua yang ada di kota Sawahlunto hilang di telan zaman seperti Tradisi
Barzanji. Mengaji dan mengkaji kebersihan daerah dari wabah. Membaca doa-doa
untuk membuang tolak bala. Apakah seni lainnya akan bernasib sama seperti
barzanji," tutupnya. *
No comments:
Post a Comment