Suprianto, (tengah) Ajarkan Generasi Membuat Janur |
Suara anak berlarian di halaman komplek Goedang Ransoem membawa anyaman daun kelapa muda (pucuk daun kelapa) dalam bahasa Jawa
disebut Janur. Disela- sela tamu undangan untuk lesehan diatas tikar pandan itu
lah anak-anak berlarian sembari tertawa ngekeh diiringi musik Orkesra Keroncong Buana Lestari (OK Buana Lestari) tampil diatas pentas.
Pada setiap sudut, dipasang lampu togok yang
menyilang diketinggian, memper-lihatkan suasana malam yang sakral. Pelestarian
sejarah dan kebudayaan semalam di Soedut Kampoeng menampilkan seni tradisi,
Kuda Kepang, Orkesra Keroncong Buana Lestari, Silek Tuo, Randai. Selanjutnya,
komplek tersebut juga menjual jajanan tempo doelu, dan bandek untuk sajian ke
pengunjung.
Acara pojok kampoeng tersebut bertujuan agar
masyarakat sekitar bisa bersilaturrahmi menampilkan kebudayaan yang ada di Kota Sawahlunto dengan cara bergantian. Rutinitas, menampilkan Silek, randai,
keroncong, tari, baik dari etnis Jawa, Batak, Minang yang bergantian
ditampilkan. Sesuai dengan fisi dan misi kota mewujutkan kota tambang menjadi
kota wisata yang berbudaya. Sehingga seni dan budaya yang ada di Sumatera Barat
pada umumnya, kota Sawahlunto khususnya. Kegiatan ini diadakan setiap bulan
pada hari Sabtu diminggu pertama.
Kegiatan malam itu, apapun seni tradisi yang ada
di kota Sawahlunto ditampilkan, termasuk kerajinan tangan seperti membuat
Janur. Karena janur merupakan salah satu bagian dari adat istiadat Jawa, khususnya
dalam pesta pernikahan. Karena Tansi merupakan kampung seni, sehingga diajarkan
kepada generasi agar kerajinan tangan seperti anyaman (Janur) tidak hilang
begitu saja ditelan jaman atau telan masa.
Tokoh Masyarakat Suprianto,56, warga Tansi Baru,
RT04 RW02, menyebutkan bahwa yang lebih spesifik dari keseluruhan seni yang ada
kerajinan tangan atau anyaman (janur) diajarkan cara pembuatannya kepada
generasi muda. Khususnya kepada kenerasi mudah yang hadir pada malam ini, dalam
artian menjemput bola dan terjun langsung ketengah masyarakat.
Janur untuk saat ini susah orang mencari untuk
kepentingan adat Jawa. Karena tidak ada pengrajin untuk membuat Janur secara
umum di kota Sawahlunto, banyak pesanan sehingga tidak terkafer oleh kita.
Makanya, saat ini diadakan latihan secara langsung untuk pembuatan Janur
tersebut. Kita melihat respon masyarakat untuk belajar pembuatan Janur.
Ternyata masyarakat sangat antusias untuk belajar membuat Janur, khususnya
genersasi muda.
"Saya sendiri untuk satu hari ada yang
membutuhkan Janur empat buah. Maka pembuatan janur tersebut tidak terkejar.
Sebab, pembuatan janur itu kerjanya ringan namun membutuhkan waktu yang cukup
lama. Karena Janur itu sendiri pada akhirnya berbentuk suatu bangun, berbentuk
bulat, meruncing ke atas dengan falsafah menghadap pada yang satu atau sang
khalik," ungkapnya kepada penulis, Jumat 23 September 2016 sembari membuat
burung dari anyaman daun kelapa muda.
Ia mengaku untuk membuat satu buah Janur bisa
memakan makan waktu empat sampai enam jam. Maka, untuk satu satu buah Janur
dijual Rp 200 ribu. Berbeda dengan Janur kreasi mengarah pada rangkaian bunga.
Kita juga bangaimana bisa mengembangkan rangkain bunga untuk kota Sawahlunto.
Ia menyebutkan bagian dari Janur tersebut
digunakan dalam adat Jawa, khususnya dalam acara temu pengantin. Maka, dalam
adat Jawa harus memakai Janur yang dinamakan 'Kembar Mayang'. Jadi, tradisi
adat dan istiadat Jawa yang sarat dengan makna dan falsafah. Sebab Budaya
adalah Tradisi yang terpola dari sekelompok orang atau masyarakat.
"Jadi, 'Kembar Mayang' dalam adat istiadat
Jawa dilambangkan dengan 'Janur' yang diartikan dengan 'Jan Manusia yang
diberikan Nur Ilahi'. Maka 'kembar mayang' atau dinamakan dengan pengantin pada
acara pengantin. Artinya, pengantin adalah pasangan (lelaki dan perempuan).
Maka 'Janur' tersebut maknya manusia itu telah menemukan pasangannya,"
katanya.
Makanya dikatakan bahwa 'Kembar Mayang' adalah
'kembar' artinya sepasang, yakni laki-laki dan perempuan (pengantin). Jadi, dua
anak manusia menemukan pasangannya. Selanjutnya, dalam adat istiadat Jawa
disebut 'Temu Manten' dalam istilah Minang disebut juga menjemput 'Marapulai'
atau mempertemukan 'Anak daro jo marapulai'. Maka, dalam kegiatan mempertemukan
'anak daro jo marapulai' tersebut disambut dengan tarian galombang serta
petatah petitihnya dan seterusnya sampai 'anak daro jo mara pulai' duduk di
pelaminan. Kemudian, dalam adat istiadat Jawa digunakan 'Janur' sebagai simbol
'manusia yang ditemukan pasangannya.
Selanjutnya, 'temu manten' tersebut ada tatacara
yang disebut 'Pawiwahan Panggeh Temu Manten' artinya antara pengantin pria dan
wanita di pertemukan. Setelah mereka menikah dan masuk pada prosesi 'Temu
Manten' untuk duduk di pelaminan, tentu melewati rangkaian atau prosesinya.
Maka, disana dibutuhkan, karena adat istiada, adat yang diadatkan dipakailah
yang namannya 'kembar mayang'.
'kembar mayang' itu sendiri dibutuhkan adalah
simbol dari mempertemukan manusia dengan manusia atau pasangan atara pria dan
wanita. Tetapi dalam pembuatan 'kembar mayang' itu sendiri dalam adat pada
'Janur' terbuat dari daun kelapa yang muda dilengkapi dengan Keris, Walang, Pecut
(cambuk) dan Burung.
"Keempat simbol tersebut menjadi penting dan
dilengkapi dengan hiasan lain seperti daun-daun dan bunga. Karena ada
tumbuh-tumbuhan yang dianggap memiliki nilai 'megis' dan memiliki kekuatan.
Maka janur itu sendiri syarat akan falsafah seperti Keris merupakan sejata yang
pada umumnya digunakan untuk membunuh. Namun, pada Janur ini keris menjadi
simbol dari dari pertahanan diri. Jika diartikan lebih luas, senjara itu
sendiri diartikan adalah sebuah ilmu. Maka, manusia harus memiliki ilmu dan
dalam agama pun dijelaskan bahwa setiap orang Islam memiliki ilmu,"
ungkapnya sembari mengiris daun dengan pisau.
Selanjutnya orang yang ber-ilmu sering
diasumsikan dengan orang yang memiliki kekuatan gaib. Maka, dalah hal ini keris
menjadi simbol sebagai ilmu pengetahuan untuk melangkah pada kehidupan 'baru'
(setelah menikah) dibutuhkan pengetahuan dalam membina rumah tangga. Sehingga
apapun kebutuhan dalam membina rumah tangga dalam berjalan dengan baik.
Sekalipun simbol yang harus dipertahankan serta
diperjuangkan harus tetap dipelihara oleh individu, sosial bermasyarakat dan
bernegara. Maka, dalam hal ini dibutuhkan 'senjata' (keris) atau ilmu
pengetahuan untuk membina rumah tangga.
Kemudian, Walang atau Bilalang, merupakan simbol
dari pekerja keras. Sehingga dalam membina rumah tangga harus bekerja keras.
Cambuk, merupakan simbol dari pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Maka,
cabuk adalah spirit yang lahir dari seseorang untuk terus bergerak maju. Sebab,
dalam membina rumah tangga dalam adat Jawa dikatakan bahwa memenuhi Sandang
(pakaian), Pangan (makanan), Papan (rumah).
Burung merupakan simbol dari pelambangan
cinta-kasih yang penuh kesetiaan dan pantang menyerah serta setia. Meskipun
secara sifikasi tidak disebutkan jenis burungnya apa. Burung tersebut meskipun
terbang kemana-kemari untuk mencari makan namun tetap kembali pulang kepada
anak-anaknya. Karena ada rasa tanggungjawab terhadap kaluarga dan tidak gampang
menyerah.
Maka, jika dibolehkan berandai-andai simbol
burung yang banyak digunakan adalah merpati, sebab merpati tidak pernah ingkar
janji. Suprianto, menganalogikan kisah sepasang burung dara (merpati)
pasangannya meninggal. Lalu, merpati tersebut berbang kehutan hingga pada dahan
pohon. Setiap saat perpati tersebut selalu hinggap pada dahan pohon tersebut.
Tanpa disadari dahan pohon tersebut berdekatan dengan mawar putih. Karena
merpati berduka ditanyakan oleh mawar putih. Lalu, merpati menceritakan bahwa
ia telah kehilangan pasangannya.
Karena, selalu dan selalu bersama dan berdekatan
sehingga perpati pun jatuh cinta keada mawar. Mawar dengan berat hati menerima
cinta merpati. Namun, karena selalu didesak menikah oleh merpati tersebut,
akhirmanya mawar membuat syarat. Jikalau merpati mencintai aku kata mawar, bisa
tidak menjadikan aku menjadi merah. Maka disanggupi oleh merpati sehingga
merpati melukai tubuhnya dan lakukan untuk mawar sehingga mawar tersebut merah
oleh darah merpati. Artinya, untuk menunjukan merpati rela berkorban hingga
mati karena kehabisan darah.
"Maka, makna yang dapat diambil adalah
merpati memperlihatkan kesetiaannya, sehingga ia rela berkorban meskipun
nyawanya diambil," tuturnya.
Ia menyebutkan bahwa kegiatan Semalam di soedoet
Kampoeng tersebut merupakan kegiatan sosial. Sehingga peserta penampil pun
tidak dalam kegiatan tersebut tidak dibayar. Sehingga kegiatan tersebut dari
masyarakat untuk masyarakat. "Kegiatan ini adalah bentuk memupuk dan
menjaga keakraban dan silaturrahmi antar sesama. Sehingga siapa pun dan dari
group lain pun boleh tampil di panggung pada kegiatan selama di soedout
kampoeng karena tidak membayar dan tidak pula dibayarkan oleh penyelenggara.
Ini murni semangat bersama dan kebersamaan," katanya.
No comments:
Post a Comment