Thursday, September 29, 2016

Semalam di Soedut Kampoeng Ajarkan Generasi Muda Membuat Janur



Suprianto, (tengah) Ajarkan Generasi Membuat Janur
Suara anak berlarian di halaman komplek Goedang Ransoem membawa anyaman daun kelapa muda (pucuk daun kelapa) dalam bahasa Jawa disebut Janur. Disela- sela tamu undangan untuk lesehan diatas tikar pandan itu lah anak-anak berlarian sembari tertawa ngekeh diiringi musik Orkesra Keroncong Buana Lestari (OK Buana Lestari) tampil diatas pentas.

Pada setiap sudut, dipasang lampu togok yang menyilang diketinggian, memper-lihatkan suasana malam yang sakral. Pelestarian sejarah dan kebudayaan semalam di Soedut Kampoeng menampilkan seni tradisi, Kuda Kepang, Orkesra Keroncong Buana Lestari, Silek Tuo, Randai. Selanjutnya, komplek tersebut juga menjual jajanan tempo doelu, dan bandek untuk sajian ke pengunjung.

Acara pojok kampoeng tersebut bertujuan agar masyarakat sekitar bisa bersilaturrahmi menampilkan kebudayaan yang ada di Kota Sawahlunto dengan cara bergantian. Rutinitas, menampilkan Silek, randai, keroncong, tari, baik dari etnis Jawa, Batak, Minang yang bergantian ditampilkan. Sesuai dengan fisi dan misi kota mewujutkan kota tambang menjadi kota wisata yang berbudaya. Sehingga seni dan budaya yang ada di Sumatera Barat pada umumnya, kota Sawahlunto khususnya. Kegiatan ini diadakan setiap bulan pada hari Sabtu diminggu pertama.

Kegiatan malam itu, apapun seni tradisi yang ada di kota Sawahlunto ditampilkan, termasuk kerajinan tangan seperti membuat Janur. Karena janur merupakan salah satu bagian dari adat istiadat Jawa, khususnya dalam pesta pernikahan. Karena Tansi merupakan kampung seni, sehingga diajarkan kepada generasi agar kerajinan tangan seperti anyaman (Janur) tidak hilang begitu saja ditelan jaman atau telan masa.

Tokoh Masyarakat Suprianto,56, warga Tansi Baru, RT04 RW02, menyebutkan bahwa yang lebih spesifik dari keseluruhan seni yang ada kerajinan tangan atau anyaman (janur) diajarkan cara pembuatannya kepada generasi muda. Khususnya kepada kenerasi mudah yang hadir pada malam ini, dalam artian menjemput bola dan terjun langsung ketengah masyarakat.

Janur untuk saat ini susah orang mencari untuk kepentingan adat Jawa. Karena tidak ada pengrajin untuk membuat Janur secara umum di kota Sawahlunto, banyak pesanan sehingga tidak terkafer oleh kita. Makanya, saat ini diadakan latihan secara langsung untuk pembuatan Janur tersebut. Kita melihat respon masyarakat untuk belajar pembuatan Janur. Ternyata masyarakat sangat antusias untuk belajar membuat Janur, khususnya genersasi muda.

"Saya sendiri untuk satu hari ada yang membutuhkan Janur empat buah. Maka pembuatan janur tersebut tidak terkejar. Sebab, pembuatan janur itu kerjanya ringan namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena Janur itu sendiri pada akhirnya berbentuk suatu bangun, berbentuk bulat, meruncing ke atas dengan falsafah menghadap pada yang satu atau sang khalik," ungkapnya kepada penulis, Jumat 23 September 2016 sembari membuat burung dari anyaman daun kelapa muda.

Ia mengaku untuk membuat satu buah Janur bisa memakan makan waktu empat sampai enam jam. Maka, untuk satu satu buah Janur dijual Rp 200 ribu. Berbeda dengan Janur kreasi mengarah pada rangkaian bunga. Kita juga bangaimana bisa mengembangkan rangkain bunga untuk kota Sawahlunto.

Ia menyebutkan bagian dari Janur tersebut digunakan dalam adat Jawa, khususnya dalam acara temu pengantin. Maka, dalam adat Jawa harus memakai Janur yang dinamakan 'Kembar Mayang'. Jadi, tradisi adat dan istiadat Jawa yang sarat dengan makna dan falsafah. Sebab Budaya adalah Tradisi yang terpola dari sekelompok orang atau masyarakat.

"Jadi, 'Kembar Mayang' dalam adat istiadat Jawa dilambangkan dengan 'Janur' yang diartikan dengan 'Jan Manusia yang diberikan Nur Ilahi'. Maka 'kembar mayang' atau dinamakan dengan pengantin pada acara pengantin. Artinya, pengantin adalah pasangan (lelaki dan perempuan). Maka 'Janur' tersebut maknya manusia itu telah menemukan pasangannya," katanya.

Makanya dikatakan bahwa 'Kembar Mayang' adalah 'kembar' artinya sepasang, yakni laki-laki dan perempuan (pengantin). Jadi, dua anak manusia menemukan pasangannya. Selanjutnya, dalam adat istiadat Jawa disebut 'Temu Manten' dalam istilah Minang disebut juga menjemput 'Marapulai' atau mempertemukan 'Anak daro jo marapulai'. Maka, dalam kegiatan mempertemukan 'anak daro jo marapulai' tersebut disambut dengan tarian galombang serta petatah petitihnya dan seterusnya sampai 'anak daro jo mara pulai' duduk di pelaminan. Kemudian, dalam adat istiadat Jawa digunakan 'Janur' sebagai simbol 'manusia yang ditemukan pasangannya.

Selanjutnya, 'temu manten' tersebut ada tatacara yang disebut 'Pawiwahan Panggeh Temu Manten' artinya antara pengantin pria dan wanita di pertemukan. Setelah mereka menikah dan masuk pada prosesi 'Temu Manten' untuk duduk di pelaminan, tentu melewati rangkaian atau prosesinya. Maka, disana dibutuhkan, karena adat istiada, adat yang diadatkan dipakailah yang namannya 'kembar mayang'.

'kembar mayang' itu sendiri dibutuhkan adalah simbol dari mempertemukan manusia dengan manusia atau pasangan atara pria dan wanita. Tetapi dalam pembuatan 'kembar mayang' itu sendiri dalam adat pada 'Janur' terbuat dari daun kelapa yang muda dilengkapi dengan Keris, Walang, Pecut (cambuk) dan Burung.

"Keempat simbol tersebut menjadi penting dan dilengkapi dengan hiasan lain seperti daun-daun dan bunga. Karena ada tumbuh-tumbuhan yang dianggap memiliki nilai 'megis' dan memiliki kekuatan. Maka janur itu sendiri syarat akan falsafah seperti Keris merupakan sejata yang pada umumnya digunakan untuk membunuh. Namun, pada Janur ini keris menjadi simbol dari  dari pertahanan diri. Jika diartikan lebih luas, senjara itu sendiri diartikan adalah sebuah ilmu. Maka, manusia harus memiliki ilmu dan dalam agama pun dijelaskan bahwa setiap orang Islam memiliki ilmu," ungkapnya sembari mengiris daun dengan pisau.

Selanjutnya orang yang ber-ilmu sering diasumsikan dengan orang yang memiliki kekuatan gaib. Maka, dalah hal ini keris menjadi simbol sebagai ilmu pengetahuan untuk melangkah pada kehidupan 'baru' (setelah menikah) dibutuhkan pengetahuan dalam membina rumah tangga. Sehingga apapun kebutuhan dalam membina rumah tangga dalam berjalan dengan baik.

Sekalipun simbol yang harus dipertahankan serta diperjuangkan harus tetap dipelihara oleh individu, sosial bermasyarakat dan bernegara. Maka, dalam hal ini dibutuhkan 'senjata' (keris) atau ilmu pengetahuan untuk membina rumah tangga.

Kemudian, Walang atau Bilalang, merupakan simbol dari pekerja keras. Sehingga dalam membina rumah tangga harus bekerja keras. Cambuk, merupakan simbol dari pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Maka, cabuk adalah spirit yang lahir dari seseorang untuk terus bergerak maju. Sebab, dalam membina rumah tangga dalam adat Jawa dikatakan bahwa memenuhi Sandang (pakaian), Pangan (makanan), Papan (rumah).

Burung merupakan simbol dari pelambangan cinta-kasih yang penuh kesetiaan dan pantang menyerah serta setia. Meskipun secara sifikasi tidak disebutkan jenis burungnya apa. Burung tersebut meskipun terbang kemana-kemari untuk mencari makan namun tetap kembali pulang kepada anak-anaknya. Karena ada rasa tanggungjawab terhadap kaluarga dan tidak gampang menyerah.

Maka, jika dibolehkan berandai-andai simbol burung yang banyak digunakan adalah merpati, sebab merpati tidak pernah ingkar janji. Suprianto, menganalogikan kisah sepasang burung dara (merpati) pasangannya meninggal. Lalu, merpati tersebut berbang kehutan hingga pada dahan pohon. Setiap saat perpati tersebut selalu hinggap pada dahan pohon tersebut. Tanpa disadari dahan pohon tersebut berdekatan dengan mawar putih. Karena merpati berduka ditanyakan oleh mawar putih. Lalu, merpati menceritakan bahwa ia telah kehilangan pasangannya.

Karena, selalu dan selalu bersama dan berdekatan sehingga perpati pun jatuh cinta keada mawar. Mawar dengan berat hati menerima cinta merpati. Namun, karena selalu didesak menikah oleh merpati tersebut, akhirmanya mawar membuat syarat. Jikalau merpati mencintai aku kata mawar, bisa tidak menjadikan aku menjadi merah. Maka disanggupi oleh merpati sehingga merpati melukai tubuhnya dan lakukan untuk mawar sehingga mawar tersebut merah oleh darah merpati. Artinya, untuk menunjukan merpati rela berkorban hingga mati karena kehabisan darah.

"Maka, makna yang dapat diambil adalah merpati memperlihatkan kesetiaannya, sehingga ia rela berkorban meskipun nyawanya diambil," tuturnya.

Ia menyebutkan bahwa kegiatan Semalam di soedoet Kampoeng tersebut merupakan kegiatan sosial. Sehingga peserta penampil pun tidak dalam kegiatan tersebut tidak dibayar. Sehingga kegiatan tersebut dari masyarakat untuk masyarakat. "Kegiatan ini adalah bentuk memupuk dan menjaga keakraban dan silaturrahmi antar sesama. Sehingga siapa pun dan dari group lain pun boleh tampil di panggung pada kegiatan selama di soedout kampoeng karena tidak membayar dan tidak pula dibayarkan oleh penyelenggara. Ini murni semangat bersama dan kebersamaan," katanya.

No comments:

Post a Comment