Yulia Fera (Y.F) Songket Pelaku Home Industri |
Selasa, 7 Maret 2017 siang langit kota Sawahlunto, Sumatera Barat, cerah. Jalan menuju Desa Lunto Timur, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, menurun dan berkelok. Udara yang sejuk dan pemandangan alam serta perbukitan yang alami menyejukan mata. Desa Lunto Timur, Dusun Koto Tuo melewati pendakian yang curan serta jalanan yang kecil. Maka, untuk melewati jalan tersebut harus ekstra hati-hati menempuh jalan semen berukuran sekitar 80 cm tersebut.
Siang itu, Penulis menjambangi rumah pengrajian Songket Yulia Fera, Dusun Kota Tuo, Desa Lunto Timur, untuk menyaksikan langsung proses pembuatan songket. Sesampai dirumah Yulia, terlihat ia sedang sibuk menyelesaikan songket pesanannya. Ibu muda ini terlihat piawai memintal benang dan merajutnya menjadi motir dari benang emas. 'Turak' yang mondar-mandir dimasukan ke lorong dan bagian benang lantai yang akan menjadi motif.
Ruang produksi songket Yulia Fera (Y.F) terlihat masih sederhana. Ia memanfaatkan flapon rumah bagian belakang yang ditutup kayu seadanya. Dindingnya tidak utuh tertutup kayu dan banyak yang bolong. Sedangkan lantainya masih tanah. Pandangan mengarah pada sawah berjenjang di lereng perbukitan, sebagai bentuk rileksasi mata di celah dinding yang bolong. Ruang Produksi ini pun menyatu dengan kapur yang digunakan untuk memasak.
Yulia Fera belajar pada orang tua membuat songket tahun 2007 silam, sebagai anak tenun. Kemudian pada tahun 2010 barulah mandari menenun songket dengan modal sendiri. Pada tahun 2010 tersebut memiliki satu pelantai songket, kamudian dengan penjualan dan pesanan bisa mempekerjaan satu oranh karyawan anak songket.
Songket yang telah dibuat bermacam motif yang dibuat seperti motif Pucuak Rabuang, Bungo Tulip, Tampuak Manggis, Rankiang, Cantik Manis, Lansek Manih, Itiak Pulang Patang, Menara dan sebagainya.
"Saat ini saya membuat songket betdasarkan pasanan orang. Mereka menginginkan motifnya seperti apa, maka barulah dibuatkan. Karena saya bisa membuat sesuai dengan motif yang diinginkan. Berkat, pengalaman dan lamanya menenun, maka telah banyak motif yang terlahir, seperti motif manara yang tidak dimiliki penenun lainnya," ujar ibu satu orang putri ini mempragakan rajutan benang yang telah diap dibuat sendiri.
Ia mengaku bahwa untuk memulai menenun dengan membeli peralatan lantai songket seharga Rp3 juta. Berkat ketekunan dan keyakinan menenun telah mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi yang lain. Meskipun, anak tenunnya belum bisa untuk membuat motif sesuai dengan pesanan.
"Saya yang membuat motif rajutan, Silvia Delvi (anak tenun) karena belum bisa membuat motif sendiri. Sebetulnya untuk motif-motif yang mudah Silvia telah bisa namun masih butuh bimbingan saja. Buktinya Silvia bisa menyelesaikan selembar songket selama dua hari, karena telah bepengalaman menenun selama tiga tahun," akunya sembari mengamati tiap detail benang emas untuk motif.
Ia mengaku bahwa harga perlembar songket Rp350 ribu dengan ukuran sehelai baju atau 2,75 meter. Harga bergantung pada kualitas benang dan tingkat kesulitan dalam pembuatan motif. Kemudian songket untuk Kain Sarung dijual dan Selendang harganya tentu tidaklah sama. Harga relatif berbeda karena berdasarkan tingkat kesulitan dalam pembuatan songket.
"Selama dua hari kita bisa menyelesaikan dua lembar kain songket. Selama seminggu penjulan sebesar Rp600 ribu jual beli Songket, maka sebulan sebesar Rp2,4 juta. Sedangkan modal dalam pembuatan songket untuk 5 kg benang 'Lenan Togak' seharga Rp1,1 juta. Kemudian, semua bahan pokok pembuatan Songket ada di Sikungkang. Dalam 5 kg benang menghasilkan 28 lembar bahan baju, 30 kain sarung dan 30 salendang," ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa jika tidak ada pesanan maka menenun tetap dilanjukan. Maka, hasil songket yang tersebut telah ada tempat penampungan yang membeli songket seperti Silungkang. Berapapun produksi songket yang dihasilkan, pengusaha songket Silungkang di beli. Namun tentu harga yang relatif murah dibandingkan penjualan sendiri. "Pengumpul dan pengusaha tentu akan mengambil untung pula deri songket yang kita jual ke padanya," akunya sembari meluruskan posisi duduknya.
Yulia, mengaku belum pernah mengikuti pelatihan dan pembinan dari pemerintah untuk membuat songket. Belum pernah ikut pelatihan, kemudian, tidak ada bantuan dari pemerintah untuk modal. Memulai menenun karena bisa menenun dan memodali untuk membeli lantai tenun sebesar Rp3 juta.
"Karena seperti jaman sekarang ini tidak melulu mengharapkan pendapatan suami. Karena tidak jamannya dengan kehidupan semakin sulit dan mencari pekerjaan pun susah. Sehingga dengan menenun maka, dapat membantu biaya anak sekolah dan terbantunya biaya hidup rumah tangga. Apalagi seperti saat sekarang ini, suami saya udah sebulan menganggur tidak bekerja. Maka, untuk menanggulangi biaya hidup harian adalah hasil menenun," ungkapnya sembari senyup percayaa diri.
Ia menyebutkan bahwa Desa Lunto Timur adalah produksi terbesar Songket sebagai produksi rumah tangga. Ibu-ibu baya dan muda telah bisa menenun songket dikenal banyak orang sebagai songket Silungkang. Karena, hasil tenunan songket di Desa Lunto Timur tersebut di jual dan dipasarkan di Silungkang.
"Lambat-laun pengrajin songket ini telah banyak mendapat pesanan. Namun, karena kekurangan modal sehingga pesanan dibatasi. Sebab, pesanan dari konsumen harus terjadwal kapan tenunan tersebut disiapkan oleh penenun. Untuk meningkatkan hasil produksi tentu butuh modal, namun saat ini kita tidak memiliki modal. Mayarat disini termasuk saya sendiri berharap ada pihak bank yang dapat memberikan bantua modal. Karena sebelumnya bank yang datang untuk memberikan bantuan pinjaman, namun setelah survei kelapangan pihak bank tidak lagi muncul," katanya
No comments:
Post a Comment