Sugini, Pengrajin 'Opak Mak Nik' |
Selasa, 14 Maret 2017 langit kota Sawahlunto, Sumatera Barat cerah. Siang itu, Penulis, berjalan menuju Gunuang Timbago, Kelurahan Saringan Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, menemui pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pengrajn Kerupuk Ubi Kayu 'Opak Mak Nik'. Jalan berliku dan padatnya rumah menduduk dilereng bukit butuh kehati-hatian melewati gang sempit rumah warga.
Siang itu, kediaman Sugini, 55, Warga Gunuang Timbago, RT 01 RW II, Kelurahan Saringan Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto, Sumatera Barat tampak duduk lesehan di ruang tamu rumah. Sembari memandang kerupuk ubi (Singkong) yang masih basah terjemur di atas 'rigen' terbuat dari bambu. Ibu paruh baya ini tampak lesu duduk lesehan beralaskan tikar di dalam rumah.
Ibu dua orang anak ini baru saja selesai membuat 50 kilo ubi kayu untuk dijadikan kerupuk. Ia mulai star membuat kerupuk sepulang dari pasar Sawahlunto membeli bahan baku ubi kayu. Sesampai di rumah ubi kayu dikupas lalu dicucu dan dibarut. Sampai pada proses mengukusan dan penggilingan hingga di cetak lalu dijemur diatas rigen terbuat dari ayaman bambu.
Pekerjaan rutin ini dilakoninya setiap hari untun menambah penghasilan keluarga. Ia tampak lelah setelah bekerja sejak pukul 08 pagi hingga waktu zduhur tiba. Ia mampu menyelesaikan kerupuk ubi sebanyak 600-700 biji perhari. Kalau ia tenaga masih kuat dan bekerja seharian bisa selesai 1000 biji ubi sehari. Meskipun keuntungan yang didapatkan pun tidak seberapa, karena harga bahan baku terus naik.
Ia menyebutkan bahwa mengolah ubi kayu menjadi keruouk harus dengan ubi kayu baru yang masih segar. Selanjutnya, ubi yang kupas tersebut di kukus kemudian digiling dan lalu di buang tulang ubi kayu tersebut. Selanjutnya dicampuri bumbu dan dikukus, kemudian masuk pada tahap penggilingan dan dicetak.
"Setelah di cetak, kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan menggunakan sinar matahari. Kalau cuaca cerah maka untuk penjemuran hingga mengering memakan selama dua atau tiga jam. Jika cuca mendung maka memakan waktu selama sehari," ujar nenek enam orang cucu ini.
Ia menyebutkan bahwa membuat kerupuk dibantu oleh suaminya, Partam, 60. Karena ia tidak lagi bekerja sebagai K3 Kota Sawahlunto karena tersangkut umur. Tenaga Partam semakin dimakan usia tidak lagi diperbolehkan bekerja. Sehingga ia membantu istri untuk membuat kerupuk. Jika membuat kerupuk bekerja berdua, maka pekerjaan akan lebih ringan. Kemudian produksinya pun akan bertambah. Jika dikerjakan sendiri, kerupuk bisa dikerjakan 700 biji, namum jika dikerjakan berdua maka dalam sehari bisa diselesaikan 1000 biji lebih kerupuk. Hal itu pun jika dikerjakan sejak pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 sore.
"Tapi karena bahan baku ubi sulit dan harganya mahal, maka kerjaannya pun menjadi berkurang. Karena tidak dapat membeli ubi banyak karena harganya mahal," ujarnya.
Sembari bersandar didinding rumah, perempuan yang mengenakan baju lengan pendek ini pun melanjutkan ceritanya. Ia mengaku, keberadaan ubi kayu saat ini sangat langka sehingga harga ubi kayu menjadi mahal. Harga ubi kayu saat ini sebesar Rp225 ribu perkarung. Artinya harga ubi kayu Rp5 ribu perkilogram kalau membeli banyak bisa Rp4 ribu perkilogram. Dalam satu karung ubi kayu tersebut bisa memperoleh hingga 1000 biji kerupuk ubi.
Menurutnya, membuat kerupuh ubi tidak lah sulit dan bisa dikerjakan di rumah. Namun yang menjadi kendala saat ini adalah kesulitan mendapatkan ubi kayu. Biasanya pembelian ubi kayu tersebut langsung dari penjual yang menjadi langganannya dari Batu Sanka. Ubi kayu tersebut diantar sampai kerumah. Karena, sulitnya ubi kayu tersebut, saat ini langganannya tidak lagi berjualan. Akibatnya, ia harus kepasar membeli ubi kayu setiap harinya.
"Kalau kita membeli ubi berkarung dipasar dikhawatirkan ubinya kecil-kecil. Kemudian ada pula ubi yang keras dan pahit. Maka, harus datang ke pasar untuk membeli ubi dan memilih ubi yang besar. Kalau ubinya kecil, tentu setelah diparus dan dijadikan kerupuh hasilnya pun sedikit. Akibatnya, yang ditemukan setelah penjualannya hanya balik modal dan tidak ada untungnya kecuali lelahnya saja," tutur ibu yang suka bercanda ini.
Ia menyebutkan bahwa usaha kerupuk ubi "Opak Mak Nik" telah ditekuninya sejak tahun 1992. Usaha kerupuk ini telah mengantsr kedua orang anaknya sampai tamat SMA. Karena suaminya bekerja sebagai K3 dengan gaji yang diterima paspasan. Sehingga ia melajar membuat Kerupuk diberinama Opak Mak Nik. Kerupuk ini telah memiliki sertifikat hal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan BPOM.
Satu kotak ubi dalam kemasan berisi 50 biji kerupuk dijual Rp20 ribu. Namun, pelanggan banyak yang membeli dengan kemasan plastik. Pelanggan beranggapan dengan kemasan plastik tidak banyak memakai tempat saat membawa. Kemudian, untuk kemasan plastik yang berisi 100 biji kerupuk dijual Rp35 ribu.
"Kalau Opak Mak Nik telah sampai ke Singapura, Sulawesi, Kalimantan pangsa pasarnya. Karena setiap perantau yang pulang kampung kemudia balik lagi, mereka memesan Opak Mak Nik sebagai oleh-oleh," ujarnya.
Meskipun belum ia beluk banyak bekerja sama dengan mini market untuk menitipkan Opak Mak Nik. Pesanan kerupuk ubi dari pelanggannya banyak langsung kerumahnya. Karena kerupuk Opak Mak Nik ini telah banyak dikenal masyarakat. Kemudian pembeli juga ada yang memesan kerupuk secara langsung datang kerumah.
"Setiap hari ada pembeli yang datang untuk membeli kerupuk ubi. Berapa biji pun kerupuk bisa bibuatkan setelah kering pembelinya sudah ada. Kalau, dalam seminggu bisa menyelesaikan 7000 biji kerupuk, semua telah habis terjual. Saat ini produksi ubi kayu berkurang karena kesulitan mendapatkan bahwa baku," katanya.
Selanjutnya, upaya yang dilakukan oleh pemerintah berupa pembinaan dengan memberikan pelatihan, termasuk manajemen pasar dan pembukuan. Namun, setelah pelatihan tersebut diberikan bantuan berupa mesin barut ubi kayu, kukus, bungkus kemasan dan kompor gas.
"Kemasan yang diberikan oleh pemerintah agar tampilannya menarik dan lebih elegan. Namun, banyak pula pembeli yang memesan kerupuk dengan kemasan plastik karena lebih ringan," ujarnya.
No comments:
Post a Comment