Desa Pasar Kubang Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto, Sumatera Barat memiliki potensi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) home industri kerupuk. Ada sebanyak 80 Kepala Keluarga yang memproduksi kerupuk ubi dikenal Kerupuk Kubang. Namun, saat ini masyarat terkendala dengan bahan baku ubi yang sulit didapatkan.
"Saat ini untuk mendapatkan ubi kayu tersebut sulit, karena tingginya permintaan konsumen terhadap kerupuk kubang. Sebab, selama ini masyarakat yang memproduksi kerupuk kubang, mereka menanam sendiri ubu kayu tersebut di kebun. Kemudian, di panen dan diolah sendiri menjadi kerupuk," ujar Burhanuddin Muhammad Rani, Kepala Desa Pasar Kubang, Kecamatan Lembah Segar, kepada Penulis Rabu, 1 Maret 2017.
Ia menyebutkan kekurangan lahan perkebunan untuk menanam ubi kayu mengakibatkan produksi kerupuk menurun. Sehingga pendapatan masyarakat pun menjadi berkurang. "Saat ini banyak permintaan pasar terhadap kerupuk kubang. Namun, saat ini masyarakat yang memproduksi banyak dikalangan yang memiliki kebun ubi kayu dan bisa di panen sendiri. Sehingga tidak perlu lagi membeli ubi kayu yang menambah biaya produksi," katanya.
Kemudian lanjut dia, bagi masyarakat yang tidak memiliki kebun sendiri harus membeli ubi untuk di oleh menjadi kerupuk. Harga untuk saru karung ubi kayu sebesar Rp150 ribu. Sementara, untuk 50 kilo gram ubi kayu setelah di olah menjadi kerupuk hasilnya menjadi 18 kilogram.
"Untuk satu kilo kerupuk di jual kepada pengumpul sebesar seharga Rp13 ribu perkilogram. Kemudian, kerupuk yang telah ada kemasannya Rp25 ribu perkilo gram. Jadi tidak seberapa untung penjualan kerupuk jika bahan baku ubi kayu di beli di pasaran. Kebanyakan masyarakat menam ubi kayu dan mengolah sendiri sehingga menambah pendapatan keluarga," ujarnya.
BM Rani menyebutkan bahwa untuk mengolah ubi kayu menjadi kerupuk membutuhkan waktu selama dua hari. Karena proses pembuatan kerupuk tersebut harus ubi kayu baru yang masih segar. Kemudian, di kupas dan diendapkan selama semalam dengan tujuan untuk menghilangkan getah ubi. Selanjutnya, ubi yang kupas tersebut di kukus kemudian digiling dan lalu di buang tulang ubi kayu tersebut dan masuk pada tahap menggilingan dan dicetak.
"Setelah di cetak, maka masuk pada proses pengeringan menggunakan sinar matahari. Kalau cuaca cerah maka untuk penjemuran hingga mengering memakan waktu sehari. Jika cuca mending maka membutuhkan waktu penjemuran memakan waktu selama dua hari. Karena kerupuk yang di jual kiloan ukurannya lebih tebal sehingga keringnya pun lama," katanya.
Kemudian, lanjut dia, untuk mengurangi biaya produksi yang lebih mahal maka berkebun di ladanya sendiri bagi yang memiliki kebun dan lahan. Selanjutnya, jika yang tidak memiliki lahan untuk berkebun ubi, maka masyarakat menyewa kebun nagari sebelah.
"Lahan kita tidak ada lagi untuk bercocok tanam untuk berkebun menam ubi kayu. Kemudian, lahan perkebunan petani telah dibati oleh kawasan hutan lindung. Maka, tidak boleh dijadikan lahan pertania oleh masyarakat," katanya.
Ia mengaku saat ini masyarakat sebagian menyewa tanah perkebunan warga masyarakat Pianggu Kabupaten Solok, karena berbatasan dengan Kabupaten Solok. Sementara itu, desa kubang ini memiliki tiga dusun dengan jumlah Kepala keluarga 281 terdiri dari 1031 jiwa.
"Masyarakat berkebun ke nagari Pianggu untuk bercocok tanam, karena desa pasar kubang tidak memiliki lahan perkebunan yang cukup. Karena kondisi alam yang berbukit dan sehingga tidak banyak lahan untuk berkebun dan sebagian lahan juga telah menjadi sawah," sebutnya.
No comments:
Post a Comment