Monday, November 20, 2017

Sawahlunto International Musik Festival (SIMFes) 2017 Ke 8 Mengalami Pergeseran Nilai dan Makna Musik Etnik

"Dari tahun ke tahun penyelenggaraan SIMFes selalu ada pergeseran makna dan nilai. Mulai dari pilihan musik hingga item kegiatan yang dilaksanakan selama SIMFes. Meskipun kegiatan SIMFes terus menerus dilakukan setiap tahun dan item kegiatannya pun terus bertambah. Kemudian pengelolaan penonton yang beransur membaik dan pedagang kaki lima yang tertib. Namun, kualitas SIMFes semakin menurun dari tahun ketahun dimulai dari jumlah hari penyelenggaraan, Negara yang hadir terus berkurang,"




Sabtu, 4 November 2017 malam langit kota Sawahlunto tampak mendung dan gelap gulita. Kawasan taman bermain Lapangan Segitiga telah di padati pengunjung sejak sore hingga malam dalam pagelaran musik klass Internasional. Sawahlunto International Musik Festival (SIMFes) 2017 bertema 'Fullmoon Heritage Wonderland' yang akan berikan sensasi lain untuk di nikmati pada saat pagelaran musik berlangsung. Namun, purnama terbesar sepanjang tahun 2017 itu tidak menampakkan diri dan berdiam diri dibalik kepulan awan hitam. 

Sebelum pertunjukan musik dimulai, sore hari di awali dengan workshop tenun Silungkang, untuk menambah semaraknya SIMFes dari Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Sawahlunto. Sengujung disajikan proses pembuatan 'Hendy craft' khas Kota Sawahlunto “Songket Silungkang" di areal venue SlMFes. Selain mendapatkan pengetahuan kekayaan khasanah budaya pengunjung juga bisa mendapatkannya sebagai oleh oleh khas Kota Tua Sawahlunto. Lalito Coffee Bar dari Padang yang pernah menjadi finalis “lndonesia Aero Press Championship 2016” hadir dengan racikan kopi ala Lalito special untuk Simfes 2017. 

Selanjutnya, workshop musik dengan pemateri dari musisi SlMFes, Daood Debu dengan materi perkusi khas Turki Darabuka. Daood Debu, memperkenalkan tempo dan ritem alat musik Darabuka dihadapan puluhan peserta didepan panggung SIMFest dengan santai. Darabuka adalah jenis alat musik perkusi yang dimainkan dengan jari telunjuk dan jari manis sebagai tempo. Sebagai pemain pemula perlu mempelajari tempo musik perkusi khas Turki tersebut dengan jari telunjuk kanan dan telunjuk kiri dengan ketukan 1/1. Kemudian, dilanjutkan pengembangan dengan ketukan 3/1 dan seterusnya. 

Malam pertama Simfes diawali penampilan Lalang Band yang merupakan band asal kota Padang, Sumatera Barat. Band yang beraliran Echo Folk tersebut dibentuk sejak tahun 2014 dengan formasi Ranggon (Gitar/Vokal), Hakim (Acordeon/Flute), Arif (Gitar), Eko (Bass) yang mengusung aliran Folk Indie. Lalang Band pun sudah merilis single yang berjudul ASA pada tahun 2015 dan termasuk didalam Album kompilasi "Andalas 5 Sore. 

Ketika tampil, group ini mendapat sorakan dari penonton pojok kanan panggung untuk turun. Group ini tampil dengan beberapa buah lagu dan terbilang lama. Artinya, ada yang salah dari SIMFest di usianya yang ke 8 cara memanajemeni hal teknis pertunjukan. Atau siapa yang patut dan tidak patut sebagi penampil pertama, penampil kedua dan seterusnya. Hal ini harus menjadi perhatian bersama sesuai dengan konsep yang telah ada. Manajemen panggung seolah-olah tidak memberikan limit waktu berapa lama diatas panggung sepertinya masih samar. 

Hari beranjak malam juga, baru satu group yang tampil, lalu pemusik ditinggalkan penontonnya padahal jarum jam menunjukkan 21.50. Sorak penonton kecewa dan menyuruh pemain turun dari panggung. Padahal ini Sawahlunto International Musik Festival (SimFes) 2017 adalah musisi berklas internasional. Hal itu, bukan perkara bagus atau tidak dalam bermain musik dan menjadi kepercayaan tersendiri bahwa musik tergantung selera yang mendengar dan sangat relatif. Namun yang jelas musik dapat merobah suasana hati menjadi sedih, riang, melayang-layang. Musik dapat mengantarkan imajinasi bagi penikmatnya sesuai irama dan tema musik yang ditampilkan.

Tidak hadirnya imajinasi penonton saat mendengar musik, hal ini tentu tidak terlepas dari unsur-unsur lain dipentas, seperti lighting, setting panggung dan sound yang enak didengar sesuai dengan kehendak alat musik yang dimainkan. Ada kebocoran rencana teknis konsep lighting nya mungkin yang terjadi selama pertunjukan berlangsung. lighting atau tata cahaya tidak dapat terpisahkan dengan penggung. Tata cahaya panggung tidak hanya memberikan pukauan dan daya tarik tersendiri bagi penontonnya, namun lighting juga menjadi bagian dari tema SIMFest itu sendiri yang melakat. Mendukung para pemain yang memainkan komposisi musik dan lighting ikut serta mendukung jiwa musik yang dimainkan diatas panggung. 

Hal ini yang menjadi ke alpaan dalam mengonsep tata cahaya seni musik pertunjukan di panggung SIMFes 2017. Sebab, lighting pengarahannya cenderung pada penonton dan dapat menyilaukan mata. Karena diarahkan ke penonton sehingga skenere nya tidak muncul untuk mempertajam kedudukan panggung. Konsep lighting ini dapat dipakai namun sebaiknya tidak dipanggung SIMFest atau pada acara lainnya yang lebih cocok dan berimbang dengan musiknya. 

Selanjutnya, sampailah pada penampilan dari Daood Abdullah, salah seorang personil Debu. Daood tampil sendirian di panggung menampilkan musik perkusi Darbuka jenis alat musik khas Turki. Daood merupakan seorang penabuh Darbuka yang mempopulerkan alat musik Darbuka pada event Jazz Populer "Nyayogjass" di tahun 2014 dan mendapat apresiasi dari penikmat musik jazz tanah air. 

Usai penampilan perkusi alat musik Darbuka dilanjutkan dengan komposisi musik Gendang Kampung Sumatera Utara. Gendang Kampung menginterpretasikan kehidupan sosial dipelabuhan atau muara yang ada dipantai pesisir sumatera utara. Komposisi musik yang menceritakan orang pesisir di muara atau pelabuhan dan terjadilah perilaku sosial. Kehidupan orang pesisir adalah laut dengan perahu layar hingga menuju laut samudera lepas dalam bentuk musik.

Gendang Kampung sebuah komposisi musik tencana yang matang dengan konsep komposisi musik gendre melayu yang ditampilkan. Kelompok ini menjadi rosotan bagi penikmat musik pada perhelatan SIMFes, meskipun alat musik Didgeridu yang dimainkan group asal Sumatera Utara membawakan Gendang Kampung tidak berbuyi karena salah teknis sound. Sontak Wakil Walikota Sawahlunto Ismed pun bersorak agar mik dapat dihidupkan secara profesional. 

Selanjutnya, Sisir Tanah asal Bantul Yogyakarta tambil dengan musikalitas dengan jendre indi yang solo gitar dan tarik suara. Sisir Tanah merupakan proyek musik asal Bantul Yogyakarta yang didirikan tahun 2010. Sisir Tanah dibuat untuk mewadahi karya-karya Bagus Dwi Danto. Lagu-lagu Sisir Tanah berawal dari catatan-catatan yang ditulis Bagus Dwi Danto sebelum maupun sesudah tahun 2010. 

Sisir Tanah mengeksplorasi catatan Bagus Dwi Danto disuguhkan dalam bentuk musik, sebab, setiap catatan adalah perasaan-perasaan yang tersusun dari berbagai watak. Ada optimisme, sarkasme, humor, kegembiraaan, kekecewaan, dan juga kemarahan. Sejumlah lagu bicara soal-soal personal, beberapa lainnya berisi kritik sosial. Dalam rentang tema yang luas itu, benang merah yang menghubungkan pesan dalam lagu-lagu Sisir Tanah adalah cinta dan damai. 

Nama Sisir Tanah sendiri diambil dari nama perkakas pertanian yang biasa dipakai untuk mengolah tanah, yakni garu. Bagi petani, garu berfungsi menghancurkan bongkahan tanah dan menggemburkannya sebelum ditanami. Sisir Tanah adalah padanan bahasa Indonesia untuk garu. Namun, Sisir Tanah ketika tampil meminta agar lighting nya dimatikan karena lampunya terlalu liar yang menyilaukan mata. 

Permintaan agar lampu panggung dimatikan di iyakan sorak penonton, karena semua lampu diarahkan ke penonton dab kesalahan teknis yang fatal dari tatacaya penggung seni musik pertunjukan. Lalu Sisir Tanah kembali meminta dihidupkan lagi lampu ke arahnya wajahnya dari atas kepala dan apa yang diharapkan tidak tersedia. Sehingga tampilan akan terlihat dan karakter wajak pemain lebih tampak jelas dengan adanya tatacahaya. Artinya, Sisir Tanah mengharapkan tatacaya yang elegan dengan konsep yang terukur bagi tatacaya seni pertunjukan musik.  

Kemudian, menyusul penampilan The Cigar Man Blues merupakan band yang terbentuk di Bandung oleh Duff dan Stew pada tahun 2007. The CigarMan Blues pada awalnya bernama 'Bitehin' Tattoo Project' dimana band ini mengusung jenis music blues dan rock and roll sebagai influence music mereka. The CigarMan Blues dibentuk oleh Dufftattoo, Vocal, Guitar, Cigar Box Guitar, Harmonica. Selanjutnya, Stew, Vocal, Guitar serta saat ini dibantu oleh Alfathir yang duduk di posisi drum. 

Selain beberapa single The CigarMan Blues yang sudah ada seperti My Immortal Tattoo, Beer Girl and Blues, Diamond Road dan lainnya, The CigarMan Blues sedang menyelesaikan beberapa single lagu dan akan diluncurkan akhir tahun 2017 ini. Kemudian dilanjutkan dengan menampilan Hototo merupakan sebuah band yang bermain musik dengan genre "Ska" (Jamaican Music). Hototo terbentuk pada tahun 2011 yang atraktif ini kerap kali bertemu di suatu ruangan kecil di sudut kota dan akhirnya terbentuklah band Hototo ini.

Minggu, 5 November 2017 malam kedua SIMFes berlangsung, penonton mulai mencari posisi berdiri yang lebih strategis. Penampilan pertunjukan musik dibuka oleh 
Sawahlunto New Ansamble. Materi repertoar Sawahlunto new ansamble, menyuguhkan dua karya komposisi musik berjudul 'Night Run Sawahlunto' dan Javrajiwa. 

Musisi dari Sawahlunto sebagai Host of Event SIMfes menampilkan kelompok musik gabungan dari perwakilan musisi Sawahlunto dengan nama Sawahlunto New Ansamble. Sawahlunto New Ansamble membawakan beberapa garapan musik komposisi baru yang berangkat dari Spirit Pariwisata Sawahlunto dengan tajuk Night Run of Sawahlunto dan Java Jiwa. Keragaman etnis di Sawahlunto coba digambarkan kedalam bentuk instrumen pendukung garapan komposisi musik serta pengolahan ritme ritme khas kedaerahan, sehingga menunjukan keharmonisan masyarakat Sawahlunto dalam budaya multicultural.

Night Run Sawahlunto merupakan salah satu event olah raga lari malam yang di selenggarakan di kota sawahlunto tiap tahunnya. Biasanya Night Run Sawahlunto diselenggarakan pada perayaan hari jadi kota Sawahlunto. Atas dasar inilah para musisi muda Sawahlunto memilih tema Night Run Sawahlunto dengan komposisi yang menggambarkan tentang semangat, persaingan, dan suasana kemenangan dalam perlombaan lari yang di tuangkan lewat musik. 

Sawahlunto New Ansamble mengawali komposisi musik dimulai dengan pluit star dengan tempo cepat (rock). Kemudian di pertengahan lagu berubah menjadi tempo yg lambat (blues) yang menggambarkan fisik pelari sudah terkuras habis. Selanjutnya di bagian akhir kembali pada tempo cepat yg menggabarkan pelari seolah-olah sudah mendekati dan melihat titik finish. Ending pada komposisi tersebut dengan nada yang diminis. Nada ini dipilih dari sudut pandang peserta lari yang tidak menang dalam lomba maraton. 

Kemudian, komposisi musik kedua berjudul Javrajiwa yang berdurasi sekitar 10 menit. Komposisi Javrajiwa  merupakan komposisi alunan musik Jawa yang dikemas dalam bentuk musik dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diawali suasana alam dengan tempo pelan yg memakai sukat yang beragam. Kemudian Pada bagian kedua komposisi Javrajiwa memakai tempo alergo dengan sukat 5/4. Ending komposisi ini memadukan melodi pentatonik Jawa dari berbagai instrumen seperti Talempong, Saron, Guitar, Biola, dan Keyboard. Sukat merupakan hitaungan ketukan dalam 1 birama. Sukat 5/4   adalah 5 ketuk not 1/4 dalam 1 birama.

Sawahlunto New Ansambel dengan pemain musik 12 orang pemain musik yakni, Bara Oktrama (Drum), Yoga Febriansyah (Tambur), Frisky Tria Sapta (Saxophon), Galih Raka Shiwa (Keyboard), Jessi Prima (Talempong Melodi), Rivon Ardy Pratama (Gendang Sunda dan Jimbe), Adha Meifirul (Bass), Martin Noval (Biola), Alfri Zalmi (Guitar), Edi Sartono (Talempong), Yogi Ramon Setiawan (Tambur), Prasetyo Utomo (Tambur). 

Komposisi musik yang dimainkan Sawahlunto New Ansamble mampu mengikat penonton. Penonton yang semula melihat dari jauh mulai mendekat menyaksikan. Komposisi musik yang dihantarkan pun berpadu dengan musikalitas musik Minang dan Jawa. Sehingga lokalitas Sawahlunto yang hidup berdampingan dan berbaur dari berbagai etnis terlihat dari penggarapan komposisi musik dihadirkan di pentas SIMFes. 

Kemudia, Jesse Larson dan Renda Pangestu yang tampail kolaborasi Gitar dan Marimba. Jesse Larson adalah perempuan yang bermain alat musik Marimba (bergaya khas Zimbabwe) berasal dari Kota Boulder, Colorado, Amerika Serikat. Jesse pertama kali belajar musik Zimbabwe ketika dirinya berumur 11 tahun, di Kutandara Marimba Center yang berada di kota asalnya yaitu Boulder. Pada saat yang samapun, Jesse langsung berobsesi terhadap alat musik Marimba. 

Jesse kemudian melanjutkan studinya mempelajari dan mendalami alat musik Marimba dengan berkeliling Amerika Serikat dan belajar serta bekerja sama dengan berbagai macam instuktur musik Zimbabwe. Ketika berumur sekitar 14 tahun, Jesse mulai mengajar pada Kutandara Marimba Center. Sekarang Jesse membagi waktunya untuk mengajar musik Marimba di Colorado, Alaska, dan bahkan di Bali Indonesia.

Jesse juga membuka kelas untuk mengajarkan band seluruh dunia. Jesse telah mempunyai beberapa album yang bekerja sama dengan band dari Kutandara Center, Chris Berry dan Ande Marimba, Polyphony Marimba, dan Tamba. Mereka telah tur keliling Amerika Setikat dalam tiga musim panas terakhir. 

Sementara itu, Renda Pangestu adalah seorang "finger-style" gitaris yang lahir di Kutai, Kalimantan, Indonesia. Ketika remaja, Renda memulai belajar menekuni alat musik gitar. Renda menghabiskan waktu dengan berkeliling Indonesia dan melanjutkan studi bermain gitar dan sampai sekarang ini Renda menjadi seorang yang dikenal sebagai salah satu dari gitaris unggulan di Bali. 

Jesse Larson menampilkan Habbana Habba, Afrika (Sedikit demi sedikit lama lama jadi bukit) dalam album pertama alat musik Marimba. Pemusik begitu hikmat dengan tarik suara pemain yang mendayu. Alat musik tradisional Afrika, Marimba merupakan alat musik perkusi yang dimainkan komunitas di Bali ada 9 orang pemain. Alat musik Marimba terdiri dari berbagai ukuran besar dengan berat lebih dari 100 kilogram. Sehingga tidak semua alat musik Marimba yang dibawa untuk ditampilkan. Marimba yang dimainkan Jessica merupakan peralatan musik tradisional Afrika dengan ukuran sedang. 

Antraksi musik pertunjukan yang dibawakan Jesse memukau penikmatnya. Jesse dan Renda Pangestu menciptakan komposisi musik yang terinspirasi dari musik Marimba dengan Gamelan musik Bali dengan tempo musik Jawa. Irama dan dinamisasi musik yang dihadirkan membawa ruang imajinasi tersendiri bagi penikmatnya, sehingga riuh tepuktangan ponton tanpa basabasi bentuk apresiasi kegaguman penonton. 

Disambung penampilan selanjutnya, Adien Fazmail dan Angela Lopez. Adien Fazmail, pria kelahiran Jakarta, 1981 ini menempuh pendidikan musikologi di IKJ dan juga lulusan Farabi (Lembaga Pendidikan Musik). Sejak tahun 2014 Adien memfokuskan karirnya di Flamenco Guitar, dan belajar di Spanyol dengan Carlos Gomez. Kini ia telah di endorse oleh Vincente Carrillo's guitars, salah satu luthier terbaik di dunia. 

Angela Lopez, wanita asal Spanyol yang lahir 38 tahun silam ini adalah seorang pianis, penyanyi, dan juga penari. Dari tahun 2010-2012 1a mendapatkan beasiswa di Indonesia untuk mempelajari tari Bali. Angela Lopez yang interaktif serta menghibur para penonton dengan memberikan Workshop musik dan tari. Angela Lopez memperkenalkan Flamenco, sebuah pertunjukan musik tari yang berasal dari Spanyol. Penonton di ajak mengikuti gerakan tarian dan tempat musik dengan bertepuk tangan yang lebih atraktif. 

Suasana lebih mencair karena penari Flamenco mementaskan tarian dengan gerakan penuh semangat untuk menciptakan pertunjukan yang energik dan menari. Pertunjukan tari meliputi gerakan kaki yang cepat, gerakan tangan yang gemulai, menepuk tangan dan menjentikaan jari. Tarian yang mengenal tubuh dan melengkungkan punggung serta menggerakan kaki secara ritmik. Namun, suasa menjadi tegang karena lip on mik Angela Lopez yang tidak hidup, lagi masih pemain bermasalah dengan sound. Karena Angela Lopez ingin menyanyi dan menari sehingga gerakannya lebih rilek. 

Akhirnya kru sound mengurut kabel-kabel sound hingga sampai depan panggung untuk mengecek. Lagi-lagi masalah teknis sound kembali terjadi pada malam kedua SIMFes. Meskipun sound klip on telah berhasil hidup namum masing putus nyambung. Sebagai penari yang profesional Angela Lopez masih tetap bersemangat untuk menari dan menyanyi dengan hentakan sepatu serta tepuk tangan hingga berakhir penampilan. 

Kemudian, dilanjutkan dengan penampilan On and On adalah salah satu band yang mengusung genre Rockabi ly yang ada di kota Padang. Filosofi dari nama On and On itu seperti saklar, atas hide dan bawah juga hidup. Jadi walaupun kita sedang berada diatas atau dibawah, On and On akan tetap hidup dan selalu hidup. On and On, dengan pemain Cacing (Gitar dan Voca), Busra (Upright Bass) dan Chemenk (Drum dan Back Vocal). 

Pemain yang menjadikan panggung hiburan SIMFes 2017 dalam perjalanan menjadi los kontrol. Sebab, musik rok yang tampil jikrak menaiki drub dengan aksi panggungnya hingga membuka baju dan hisapan rokok dipentas. Panggung SIMFes yang elegan dan bergengsi diipikan terkesan cacat keluar dari konsep serta cita-cita SIMFes yang diharapkan. Kemudian di tutup dengan Diskopantera adalah seorang DJ sekaligus MC yang memainkan hits dari era 80 dan 90. Diskopantera menjadi ikon untuk kembalinya musik-musik 80 an dan 90 an. 


SIMFes sejak awal festival musik ini memang ingin memperlihatkan keragaman musik dunia yang sangat jarang tampil di media televisi. Sehingga keberagaman etnik musik dunia tersebut dapat ditampilkan dalam sebuah wadah atau iven bernama SIMFes. Adanya keberagaman etnik musik dunia tersebut Sawahlunto berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan etnik musik dunia di mulai dari Sawahlunto. Sehingga dimasa mendatang anak muda Sawahlunto dapat mengenali jenis musik etnik dunia dan memiliki kemampuan musikalitas yang tinggi pula dan bernilai. Hal ini sesuai dengan realitas kebudayaan dan kehidupan masyarakat kota Sawahlunto yang multi etnik dan multikultur tersebut. 

SlMFes telah di laksanakan sejak tahun 2010 dan menampilkan berbagai musisi dunia untuk menyemarakan panggung musik tahunan tersebut. Negara yang hadir adalah Afrika seperti Sinegal dan Abijan, ada dari Mexico, Hawai, Mongolia, Taiwan, Malaysia, Jepang dan sejumlah musisi terkemuka dari Indonesia. Peserta SIMFes tersebut diharapkan terdiri dari lima benua, sehingga tercapailah semangat dan cita-cita SIMFes menyelamatkan etnik musik dunia. 

Kemudian, kegiatan SIMFes diharapkan dapat mendorong perkembangan Kota Sawahlunto sebagai kota wisata sejarah dan budaya. Melalui SIMFes tercipta multiplayer effect perekonomian dari pelaksanaan event tersebut seperti di bidang Akomodasi, rumah makan, pedagang jajanan pasar, sektor transportasi, souvenirshop dan lainnya. 

Selanjutnya, SIMFes 2017 menawarkan suasana perpaduan Heritage City yang indah. Musik yang bergelora dan kehangatan interaksi antara musisi serta penonton yang membuat SIMFes selalu ditunggu oleh penikmat musik setiap tahunnya. Selain memanjakan hati dan jiwa serta mata dan membawa nuansa yang berbeda dalam dunia seni pertunjukan musik, SIMFes juga menjadi ajang untuk mencintai kearifan Kota Tambang Batu Bara menuju Kota Warisan Dunia dan meningkatkan apresiasi terhadap musik etnik kontemporer di tanah air.

Selain menikmati pertunjukan musik, pengunjung SlMFes juga terlibat dengan dalam rangkaian event tersebut seperti program Zero Waste atau kampanye bebas sampah dengan melibatkan siswa/i Sekolah Menengah Pertama. Zero Waste bagi penggerak di program ini tersebut diikuti oleh komunitas komunitas serta pengunjung. Program ini dimaksudkan untuk mendukung Pengghargaan Kota Layak Anak dan Penghargaan Adi Pura. Kemudian workshop musik, dan dilanjutkan dengan disajikan pembuatan handy craf khas Sawahlunto Songket Silungkang di areal venue SIMFes. Selain mendapatkan khasanah budaya pengunjung bisa mendapatkan sebagi oleh-oleh khas kota Tua Sawahlunto. 


Lalito Coffee Bar dari Padang pernah menjadi finalis Indonesia Aero Press Championship 2016 hadir dengan racikan kopi ala Lalito spesial untuk SIMFes. Kemudian panita SIMfes 2017 juga menggandeng k giatan Lomba Foto untuk lebih mempopulerkan kota tua Sawahlunto melalui bingkai bingkai lensa yang dibidik saat Event Berlangsung. Untuk lomba foto dibagi kedalam 2 (dua) kategori, kategori Pariwisata (Kota Tua) dan kategori Event SlMFes memperebutkan total hadiah Rp25 juta.  


Disaat yang bersamaan juga akan dilaksanakan Penandatanganan MOU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Kota Sawahlunto dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dalam bidang pengembangan Seni Budaya dan Ekonomi Kreatif. Diharpkan melalui kerjasama ini Kota Sawahlunto akan semakin menjadi destinasi utama di Sumatra barat selain didukung oleh alam dan kawasan Kota Tua, juga akan sertai dengan kemajuan Seni dan Budaya daerah yang akan didukung langsung oleh ISI Padangpanjang dimana kegiatan ini juga sejalan dengan visi dan misi ISI Padangpanjang. 

Dari tahun ke tahun penyelenggaraan SIMFes selalu ada pergeseran makna dan nilai. Mulai dari pilihan musik hingga item kegiatan yang dilaksanakan selama SIMFes. Meskipun kegiatan SIMFes terus menerus dilakukan setiap tahun dan item kegiatannya pun terus bertambah. Kemudian pengelolaan penonton yang beransur membaik dan pedagang kaki lima yang tertib. Namun, kualitas SIMFes semakin menurun dari tahun ketahun dimulai dari jumlah hari penyelenggaraan, Negara yang hadir terus berkurang. 

Musik yang dimainkan musik tidak lagi memperkenalkan musik etnik, melainkan musik kontemporer. Selanjut, tatacahaya yang tidak dipegang oleh profesional seni pertunjukan musik demukian pula sound. Meskipun sound yang telah berstandar nasional namun tenaga teknis sound seni pertunjukan harus digarap oleh ahli dibidangnya. Sebab, sound tidak hanya sebagai pengeras bunyi tetapi juga menghadirkan keaslian bunyi alat musik sesuai dengan kebutuhan. Kemudian jangan sampai alat musik pemain yang memainkan musik tidak berbunyi. Maka pada akhirnya kualitas SIMFes 2017 dengan penyajian yang berbeda tersebut perlu di evaluasi kembali demi cita-cita SIMFes itu sendiri. Sehingga SIMFes di tahun mendatang benar-benar menyuguhkan performance yang bagus dan berkesan bagi penikmatnya. 

No comments:

Post a Comment